Tanya : Benarkah, demokrasi harus dibayar dengan harga sangat mahal?
Jawab: Tanyakan saja kepada para Bapak Hansip yang sedang menjaga dan mengamankan TPS!
Jika saja, Louis XVI mampu meredam ambisinya dalam memberikan bantuan keuangan terhadap gerakan besar bernama Revolusi Amerika, andai saja Marie Antoniette tidak bersikap korup dan menghabiskan kas kerajaan Prancis atas nama kebangsawanannya, Jika saja kaum bangsawan Prancis tidak haus terhadap sanjungan dan mengakarkan hak-hak istimewanya di atas kelas sosial lain, sudah dupastikan Revolusi Prancis 11 Juli 1789 hampir tidak akan terjadi.
Kerajaan Prancis sejak kekuasaan Louis XV hingga Louis XVI mengalami krisis keuangan akut. Krisis keuangan kerajaan itu disebabkan oleh, kas Negara telah disulap menjadi keuangan yang harus dikuasai oleh kerajaan dan dipergunakan demi kemakmuran salah satu kelompok; Kaum Bangsawan. Acara-acara kerajaan demi mendulang decak kaum jelata sebenarnya telah menciptakan rasa mual dan mual berlebihan terhadap para bangsawan dari rakyat jelata.
Untuk menutupi kebangkrutan kerajaan, Louis XVI alih-alih mengeluarkan kebijakan yang populis, malah mencetuskan ide sangat diskriminatif. Rakyat diberi beban harus membayar pajak di luar batas yang harus dipenuhi. Uang pajak masuk ke dalam kas kerajaan, kemudian dengan hanya membutuhkan waktu satu minggu, kas kerajaan langsung digunakan untuk memamerkan acara pesta pora kaum bangsawan. Ketika di atas meja makan para bangsawan tersaji berbagai maca buah-buahan dan aneka hdangan mewah, di kolong-kolong jembatan, di penjara Bastille, dan di dalam rumah-rumah lapuk, rakyat hidup dengan segudang pertanyaan, kenapa nasip selalu memihak kaum bangsawan.
Kegelian lain yang dilakukan oleh Kerajaan adalah menjadi pendonor Revolusi Amerika. Bantuan berupa persenjataan perang diberikan melebihi kadar kemampuan kerajaan. Pertanyaan mendasar keluar dari lubuk seorang Necker, Monarki Absolut, sebuah pemerintahan di bawah pimpinan seorang raja telah melemahkan nilai dan martabat kemanusiaan? Kegatalan pikiran Necker ini menjadi satu penyebab, Necker didepak dari jabatannya sebagai seorang menteri. Pihak kerajaan demi alasan melakukan reformasi besar-besaran terhadap kementrian menyingkirkan Necker.
Virus Necker menulari isi kepala sebagian besar rakyat. Mereka tidak ingin hidup di bawa sistem monarki absolute, sebuah sistem yang telah menawarkan kebaikan namun pada pelaksanaannya telah menyulap hampir seluruh aspek kehidupan, membungkus kemunafikan dengan kemuliaan. Agamawan diberi kekuasaan memunguti uang-uang pajak demi alasan pemenuhan kas-kas Tuhan. Kristenisasi bukan sekedar menularkan ide-ide kerasulan kecuali telah menyentuh ranah-ranah profane, ranah ketidak abadian. Dan rakyat mulai bosan, jenuh dengan kepalsuan-kepalsuan sistem monarki. Dan sayap-sayap revolusi pun dikembangkan. Bastille dibakar, pertempuran selama empat jam. Kaum Republikan mengambil alih kekuasaan.
Revolusi Prancis telah membumikan pemikiran persamaan hak dan martabat manusia, dilakukannya dekristenisasi – para pastor bukan actor pemungut pajak-, pengehentian bantuan kepada para penggagas Revolusi Amerika, dan penghukuman terhadap para pendosa, para bangsawan Prancis dihukum pancung di bawah gilletin. Rakyat menaruh harapan penuh kepada kaum legislative, rakyat menaruh harap, mereka akan membawa kembali Prancis ke masa-masa kejayaan.
Fajar revolusi Prancis menapaki Ufuk Timur saat gelar-gelar kebangsawanan yang disertifikatkan di bakar oleh pemiliknya sendiri dan feodalisme dihapus. Berbanding lurus dengan dibakarnya status sosial rigid, di berbagai wilayah di Prancis berdiri berbagai kelompok sosial baru, faksi-faksi baru, partai-partai baru. Para pemimpin faksi merasa telah menjadi para pemegang kendali lahirnya Revolusi Prancis. Sela dua tahun kurang, faksi-faksi tersebut telah memasukkan diri mereka ke dalam lembaga-lembaga politik. Kelompk Jacobin menjadi klub paling digandrungi untuk dimasuki oleh para pemilik kepentingan.
Alih-alih membawa Prancis kepada perubahan sesuai arah, Prancis telah jatuh ke dalam perebutan kue-kue kecil oleh para pemimpin faksi tersebut. Rakyat diberi pilihan, pilihan itu dalam pandangan beberapa pengamat- merupakan intrik dan jebakan palsu- agar para pemimpin faksi mendapatkan dukungan dari rakyat. Sebab, dalam iklim legislasi, para pemimpin faksi harus bertindak atas nama dan demi mewakili rakyat yang telah melegislasikan hak, pendapat, dan partisipasi mereka kepada para legislative. Negara sama sekali tak kunjung menyentuh ufuk peradaban. Sebaliknya, kebiadaban sudah sampai melebihi batas kewajaran. Keuangan Negara habis, hanya untuk memenuhi hasrat para pemimpin faksi dengan mengatasnamakan mewakili pemilik kedaulatan tertinggi, rakyat.
Monarki atau republic sebenarnya tidak akan ditebus dengan harga cukup mahal jika diposisikan pada tempat sebenarnya, sebab tujuan dibentuknya sebuah Negara adalah untuk memberi kesejahteraan kepada seluruh warga Negara. Bukan menghasilkan ketidak seimbangan sosial hingga neraca kesejahteraan hanya dicicipi oleh sebagian kelompok saja.
John Maynard Keyness menganalisa lebih mendalam; kebangkrutan sebuah Negara- entah itu republic atau monarki- disebabkan oleh ketidak seimbangan antara belanja pegawai dengan belanja Negara yang seharusnya dirasakan oleh rakyat. Multatuli dalam Max Havelarnya memberi gambaran jelas, ketidak ajegan kehidupan di bawah monarki tidak hanya terjadi di Prancis di abad ke-16, juga di alami oleh rakyat Hindia Belanda. Penderitaan harus ditanggung oleh rakyat Lebak ketika Bupati bersama keluarganya dengan leluasa menghabiskan kas kerajaan. Rakyat menanggung ketidak adilan dengan harus bekerja di kebun dan ladang tanpa upah. Tidak aneh, Jika Douwes Dekker menuliskan kepada ratu: Nun jauh di sana, di Hindia Belanda, sebanyak 30 juta manusia ditindas atas nama Yang Mulia!
Apakah Demokrasi harus dibayar dengan harga cukup mahal? Pada dasarnya, apa pun memang harus dibayar dengan sebuah harga. Namun, demokrasi dan sistem pemerintahan apa pun tidak harus dibayar dengan harga mahal. Seorang petugas Pertahanan Sipil (Hansip), para petugas KPPS pun bisa menngiyakan, jika demokrasi memang tidak harus dibayar dengan harga cukup mahal.
Negara ini berdiri, memang harus dibayar dengan ribuan raga meregang nyawa, berbagai pengorbanan, namun ada hal yang penting dicatat. Mereka, para pahlawan, sama sekali tidak berjuang atas nama uang. Mereka berjuang demi membawa negaranya ke alam di mana Negara benar-benar menghormati hak-hak warganya.
Tentang demokrasi yang tidak harus dibayar dengan harga mahal, lima hari pasca kemerdekaan, 22 Agustus 1945 , pemerintahan Republik Indonesia mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Badan ini merupakan para-militer Republik Indonesia. Mereka terdiri dari para pemuda yang pernah dididik secara militer ( Heiho, Keibodan, Pembela Tanah Air, dan KNIL). Negara tidak perlu mengeluarkan anggaran lebih demi memenuhi logistic para-militer ini.
Dan di era Orde-Baru, Hankamrata (Pertahanan dan Keamanan Rakyat Sementa) bisa dikatakan menjadi primadona upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan negara, di mana tanggung jawab pembelaan Negara merupakan kewajiban seluruh rakyat. Pertahanan Sipil (Hansip) dibentuk. Mereka adalah para-militer berbasis kemasyarakatan, dididik semi militer oleh militer, diberi "senjata". Di setiap pedesaan, hasip-hansip ini diciptakan, tanpa diberi gaji tentu saja. Mereka hanya diberi seragam hijau-hijau. Memang ada pergeseran signifikan, jika di era awal kemerdekaan, para-militer ini didominasi oleh para pemuda, sementara di era Orde Baru, di awal tahun 1980-an, para militer ini didominasi oleh generasi 40-50an. Tanpa diberi gaji pun, hanya karena tersisa dalam diri para hansip itu semangat perjuangan, mereka rela mengikuti acara baris –berbaris di lapangan Komando Rayon Militer di tiap Kecamatan, juga mengikuti upaca Agustusan di Halaman Balaidesa.
Hansip meski pun di era reformasi telah diubah menjadi Linmas, namun mereka siap mengamankan demokrasi, seperti tugas mereka saat ini di Tempat Pemungutan Suara di setiap Kelurahan. Jika kita kembali bertanya, apakah demokrasi harus dibayar dengan harga mahal? Maka, tanyakanlah kepada Bapak-bapak Hansip/Linmas yang siap menjaga serta mengamankan Tempat Pemungutan Suara! [ ]
KANG WARSA – MEDIA CENTER
Jawab: Tanyakan saja kepada para Bapak Hansip yang sedang menjaga dan mengamankan TPS!
Jika saja, Louis XVI mampu meredam ambisinya dalam memberikan bantuan keuangan terhadap gerakan besar bernama Revolusi Amerika, andai saja Marie Antoniette tidak bersikap korup dan menghabiskan kas kerajaan Prancis atas nama kebangsawanannya, Jika saja kaum bangsawan Prancis tidak haus terhadap sanjungan dan mengakarkan hak-hak istimewanya di atas kelas sosial lain, sudah dupastikan Revolusi Prancis 11 Juli 1789 hampir tidak akan terjadi.
Kerajaan Prancis sejak kekuasaan Louis XV hingga Louis XVI mengalami krisis keuangan akut. Krisis keuangan kerajaan itu disebabkan oleh, kas Negara telah disulap menjadi keuangan yang harus dikuasai oleh kerajaan dan dipergunakan demi kemakmuran salah satu kelompok; Kaum Bangsawan. Acara-acara kerajaan demi mendulang decak kaum jelata sebenarnya telah menciptakan rasa mual dan mual berlebihan terhadap para bangsawan dari rakyat jelata.
Untuk menutupi kebangkrutan kerajaan, Louis XVI alih-alih mengeluarkan kebijakan yang populis, malah mencetuskan ide sangat diskriminatif. Rakyat diberi beban harus membayar pajak di luar batas yang harus dipenuhi. Uang pajak masuk ke dalam kas kerajaan, kemudian dengan hanya membutuhkan waktu satu minggu, kas kerajaan langsung digunakan untuk memamerkan acara pesta pora kaum bangsawan. Ketika di atas meja makan para bangsawan tersaji berbagai maca buah-buahan dan aneka hdangan mewah, di kolong-kolong jembatan, di penjara Bastille, dan di dalam rumah-rumah lapuk, rakyat hidup dengan segudang pertanyaan, kenapa nasip selalu memihak kaum bangsawan.
Kegelian lain yang dilakukan oleh Kerajaan adalah menjadi pendonor Revolusi Amerika. Bantuan berupa persenjataan perang diberikan melebihi kadar kemampuan kerajaan. Pertanyaan mendasar keluar dari lubuk seorang Necker, Monarki Absolut, sebuah pemerintahan di bawah pimpinan seorang raja telah melemahkan nilai dan martabat kemanusiaan? Kegatalan pikiran Necker ini menjadi satu penyebab, Necker didepak dari jabatannya sebagai seorang menteri. Pihak kerajaan demi alasan melakukan reformasi besar-besaran terhadap kementrian menyingkirkan Necker.
Virus Necker menulari isi kepala sebagian besar rakyat. Mereka tidak ingin hidup di bawa sistem monarki absolute, sebuah sistem yang telah menawarkan kebaikan namun pada pelaksanaannya telah menyulap hampir seluruh aspek kehidupan, membungkus kemunafikan dengan kemuliaan. Agamawan diberi kekuasaan memunguti uang-uang pajak demi alasan pemenuhan kas-kas Tuhan. Kristenisasi bukan sekedar menularkan ide-ide kerasulan kecuali telah menyentuh ranah-ranah profane, ranah ketidak abadian. Dan rakyat mulai bosan, jenuh dengan kepalsuan-kepalsuan sistem monarki. Dan sayap-sayap revolusi pun dikembangkan. Bastille dibakar, pertempuran selama empat jam. Kaum Republikan mengambil alih kekuasaan.
Revolusi Prancis telah membumikan pemikiran persamaan hak dan martabat manusia, dilakukannya dekristenisasi – para pastor bukan actor pemungut pajak-, pengehentian bantuan kepada para penggagas Revolusi Amerika, dan penghukuman terhadap para pendosa, para bangsawan Prancis dihukum pancung di bawah gilletin. Rakyat menaruh harapan penuh kepada kaum legislative, rakyat menaruh harap, mereka akan membawa kembali Prancis ke masa-masa kejayaan.
Fajar revolusi Prancis menapaki Ufuk Timur saat gelar-gelar kebangsawanan yang disertifikatkan di bakar oleh pemiliknya sendiri dan feodalisme dihapus. Berbanding lurus dengan dibakarnya status sosial rigid, di berbagai wilayah di Prancis berdiri berbagai kelompok sosial baru, faksi-faksi baru, partai-partai baru. Para pemimpin faksi merasa telah menjadi para pemegang kendali lahirnya Revolusi Prancis. Sela dua tahun kurang, faksi-faksi tersebut telah memasukkan diri mereka ke dalam lembaga-lembaga politik. Kelompk Jacobin menjadi klub paling digandrungi untuk dimasuki oleh para pemilik kepentingan.
Alih-alih membawa Prancis kepada perubahan sesuai arah, Prancis telah jatuh ke dalam perebutan kue-kue kecil oleh para pemimpin faksi tersebut. Rakyat diberi pilihan, pilihan itu dalam pandangan beberapa pengamat- merupakan intrik dan jebakan palsu- agar para pemimpin faksi mendapatkan dukungan dari rakyat. Sebab, dalam iklim legislasi, para pemimpin faksi harus bertindak atas nama dan demi mewakili rakyat yang telah melegislasikan hak, pendapat, dan partisipasi mereka kepada para legislative. Negara sama sekali tak kunjung menyentuh ufuk peradaban. Sebaliknya, kebiadaban sudah sampai melebihi batas kewajaran. Keuangan Negara habis, hanya untuk memenuhi hasrat para pemimpin faksi dengan mengatasnamakan mewakili pemilik kedaulatan tertinggi, rakyat.
Monarki atau republic sebenarnya tidak akan ditebus dengan harga cukup mahal jika diposisikan pada tempat sebenarnya, sebab tujuan dibentuknya sebuah Negara adalah untuk memberi kesejahteraan kepada seluruh warga Negara. Bukan menghasilkan ketidak seimbangan sosial hingga neraca kesejahteraan hanya dicicipi oleh sebagian kelompok saja.
John Maynard Keyness menganalisa lebih mendalam; kebangkrutan sebuah Negara- entah itu republic atau monarki- disebabkan oleh ketidak seimbangan antara belanja pegawai dengan belanja Negara yang seharusnya dirasakan oleh rakyat. Multatuli dalam Max Havelarnya memberi gambaran jelas, ketidak ajegan kehidupan di bawah monarki tidak hanya terjadi di Prancis di abad ke-16, juga di alami oleh rakyat Hindia Belanda. Penderitaan harus ditanggung oleh rakyat Lebak ketika Bupati bersama keluarganya dengan leluasa menghabiskan kas kerajaan. Rakyat menanggung ketidak adilan dengan harus bekerja di kebun dan ladang tanpa upah. Tidak aneh, Jika Douwes Dekker menuliskan kepada ratu: Nun jauh di sana, di Hindia Belanda, sebanyak 30 juta manusia ditindas atas nama Yang Mulia!
Apakah Demokrasi harus dibayar dengan harga cukup mahal? Pada dasarnya, apa pun memang harus dibayar dengan sebuah harga. Namun, demokrasi dan sistem pemerintahan apa pun tidak harus dibayar dengan harga mahal. Seorang petugas Pertahanan Sipil (Hansip), para petugas KPPS pun bisa menngiyakan, jika demokrasi memang tidak harus dibayar dengan harga cukup mahal.
Negara ini berdiri, memang harus dibayar dengan ribuan raga meregang nyawa, berbagai pengorbanan, namun ada hal yang penting dicatat. Mereka, para pahlawan, sama sekali tidak berjuang atas nama uang. Mereka berjuang demi membawa negaranya ke alam di mana Negara benar-benar menghormati hak-hak warganya.
Tentang demokrasi yang tidak harus dibayar dengan harga mahal, lima hari pasca kemerdekaan, 22 Agustus 1945 , pemerintahan Republik Indonesia mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Badan ini merupakan para-militer Republik Indonesia. Mereka terdiri dari para pemuda yang pernah dididik secara militer ( Heiho, Keibodan, Pembela Tanah Air, dan KNIL). Negara tidak perlu mengeluarkan anggaran lebih demi memenuhi logistic para-militer ini.
Dan di era Orde-Baru, Hankamrata (Pertahanan dan Keamanan Rakyat Sementa) bisa dikatakan menjadi primadona upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan negara, di mana tanggung jawab pembelaan Negara merupakan kewajiban seluruh rakyat. Pertahanan Sipil (Hansip) dibentuk. Mereka adalah para-militer berbasis kemasyarakatan, dididik semi militer oleh militer, diberi "senjata". Di setiap pedesaan, hasip-hansip ini diciptakan, tanpa diberi gaji tentu saja. Mereka hanya diberi seragam hijau-hijau. Memang ada pergeseran signifikan, jika di era awal kemerdekaan, para-militer ini didominasi oleh para pemuda, sementara di era Orde Baru, di awal tahun 1980-an, para militer ini didominasi oleh generasi 40-50an. Tanpa diberi gaji pun, hanya karena tersisa dalam diri para hansip itu semangat perjuangan, mereka rela mengikuti acara baris –berbaris di lapangan Komando Rayon Militer di tiap Kecamatan, juga mengikuti upaca Agustusan di Halaman Balaidesa.
Hansip meski pun di era reformasi telah diubah menjadi Linmas, namun mereka siap mengamankan demokrasi, seperti tugas mereka saat ini di Tempat Pemungutan Suara di setiap Kelurahan. Jika kita kembali bertanya, apakah demokrasi harus dibayar dengan harga mahal? Maka, tanyakanlah kepada Bapak-bapak Hansip/Linmas yang siap menjaga serta mengamankan Tempat Pemungutan Suara! [ ]
KANG WARSA – MEDIA CENTER
Posting Komentar untuk "Tanya Pada Hansip"