Dua hari lalu, seorang teman mengatakan kepada Saya, “ Dalam segi kemajuan, di era ini harus Saya akui, teknologi dan informasi begitu melesat sulit terbendung, semakin maju. Tapi, beberapa segmentasi kehidupan seperti nilai spiritualitas semakin menurun drastis.”
Dalam pandangan Saya, kemunduran nilai spiritualitas dalam kehidupan diakibatkan oleh nilai yang bersifat transenden ini selalu ingin dipublikasikan dalam bentuk realitas. Alih-alih menumbuhkan nilai malah kehidupan ini pada akhirnya mengikuti pola yang telah didesain oleh orang lain.
Hasil beberapa penelitian, ada kebanggaan dari negara-negara dengan penganut atheism; tingkat kepuasaan dan keamaan warga negara di beberapa negara yang mengejawantahkan agama dalam bentuk realitas lebih kecil disbanding dengan negara-negara dengan penganut atheism. Friksi dan perpecahan di berbagai negara yang ingin mengejawantahkan nilai transcendental ke dalam kehidupan lebih tinggi karena munculnya semangat primordialisme.
Maksud perkataan teman Saya tentang kemerosotan nilai spiritualitas dalam kehidupan adalah hilangnya bentuk kontemplatif dalam hidup yang dilakukan baik oleh orang perorang atau oleh kelompok sosial masyarakat. Di negara-negara berkembang baik Asia, Afrika, atau Amerika Latin, ketika nilai transenden diaplikasikan dalam kehidupan kemudian dimaknai dengan tidak tepat justru telah menghasilkan perpecahan kelompok. Baik di negara dengan jumlah maoritas Muslim atau pun Kristen.
Jika sejarah kehidupan dijadikan rujukan, semangat kontemplatif sebetulnya telah dilakukan oleh para leluhur bangsa ini. Semangat kontemplatif ini telah memancarkan nilai-nilai moral dan norma dalam kehidupan. Implementasi nilai spuritualitas bukan diwujudkan dengan harus ditegakkannya hukum berdasarkan semangat keagamaan secara serampangan kecuali sebagai akibat dari tingginya semangat kontemplatif para leluhur bangsa ini.
Beberapa perang besar dan bencana kemanusiaan didominasi oleh salahnya cara pandang dan penerapan pemikiran dalam menegakkan hukum-hukum dalam agama. Padahal, jika dicerna secara mendalam, ketika manusia semakin dekat dengan Alloh sebahrusnya nilai-nilai ilahiah dan saling asah-asih-dan asuh yang muncul, bukan saling baku hantam dan saling bunuh.
Maka sangat wajar, di berbagai negara yang menganut atheisme, kehidupan seolah lebih teratur dan tertata dari negara-negara yang menginginkan agar agama benar-benar diaplikasikan dalam bentuk hukum positif. Sejarah sebenarnya telah banyak mengajarkan kepada kita, ketika agama dilembagakan oleh manusia kehidupan terus terkungkung dalam kecamuk perang, gelimang darah, dan permusuhan.
Apakah dalam benak kita merasakan yakin, Alloh memerintahkan kepada umat manusia berperang satu sama lain? Apakah Alloh memerintahkan kepada umat manusia bertikai? Lalu, dimana letak ‘KeMaha pengasihan dan Pemurahan-Nya’ ketika manusia berani membunuh manusia lainnya? Dimana nalar, ketika pada abad pertengahan dan kegelapan Kelompok Gereja menghukumi para saintis dengan bentuk penyiksaan yang belum ada sebelumnya dengan mengatasnamakan perintah Tuhan? Dimana nalar, ketika Zionis membantai warga Palestina dengan mengatasnamakan perintah Yahweh yang terdapat dalam Torah dan Talmud? Dimana nalar, ketika ISIS membunuh penduduk Iraq hanya karena berbeda keyakinan? Dimana nilai spiritualitas manusia saat ini?
Demi melihat berbegai peristiwa di sudut-sudut dunia ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh teman Saya, nilai spiritualitas memang telah mengalami kemunduran karena kita selalu salah kaprah. Selalu memiliki keinginan agar nilai spiritualitas yang bersifat transenden harus diejawantahkan dalam bentuk hukum positif. Kita lupa pada satu hal, saat nilai spiritualitas telah memenuhi diri manusia maka tanpa diaplikasikan dalam bentuk hukum positif pun, dengan sendirinya alam akan terang dan bersinar. Bukankah kita memiliki keyakinan, jika kita telah dekat dengan Alloh tidak akan satu hal pun yang akan bisa menyakiti dan menakuti diri kita?
Kesalahan terbesar sebagian dari kita adalah; kita meyakini Alloh namun banyak keraguan terhadap pertolonganNya. Malah sebaliknya, kita memiliki pikiran aneh; ingin menolong Tuhan, ingin membela agama Tuhan, mengharapkan Tuhan bersama kita. Aneh, bukankah kita yang seharusnya bersama dengan Tuhan? Pikiran kita masih terkungkung oleh mitologi-mitologi peradaban kuno, seolah Tuhan adalah dzat yang sering merengek-rengek seperti dewa-dewi di bukit Olympus, maka harus diberi sesaji dan persembahan baik makanan atau darah suci.
Saya memiliki keyakinan, ketika dalam Surat Alfatihah ayat pertama berbunyi; Dengan menyebut Alloh yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka harus tidak ada lagi tafsir lain dalam memaknai Pengasih dan Penyayang. Derivasi dari ayat ini sudah jelas, tidak harus ada kontradiksi antara kemaha pemurahan Alloh dengan sikap-sikap manusia.(*)
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Melemahnya Spiritualitas Dalam Kehidupan"