Membaca berita di berbagai media, hari ini bertepatan dengan hari Pahlawan, 10 Nopember. Untuk warga Sukabumi, ada rasa sesak, saat KH Ahmad Sanusi tidak dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Namun rasa sesak tersebut, bagi Saya pribadi tidak menjadi soal, sebab kepahlawanan tidak sekadar label serta titel, kepahlawanan adalah nilai. Saya pun begitu yakin, banyak diantara para pahlawan yang telah membawa negara ini kepada alam kemerdekaan tidak tercamtumkan namanya sebagai pahlawan nasional. Tidak penting bagi para pahlawan gambarnya tercantum di deretan nama-nama pahlawan nasional.
Kecuali itu, di hari pahlawan ini ada juga demonstrasi yang dilakukan oleh FPI menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebetulnya tidak satu dua kali ormas ini melakukan aksinya. Banyak alasan, salah satunya, seperti dalam orasi pimpinan FPI; Ahok musuh Islam, kafir, pemakan daging babi, tidak pantas memimpin Jakarta. Nadanya memang sangat sarkas.
Dalam tulisan ini, Saya akan mengorelasikan nilai kepahlawanan dengan semangat demonstrasi penolakan ahok oleh FPI, tentu pada dua kutub yang begitu berbeda. Jangan diartikan, demonstrasi merupakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan kemunkaran, seperti semangat juang para pahlawan yang telah memerdekakan negara ini. Para pejuang memang telah melontarkan ungkapan “Belanda Kafir” kepada kaum penjajah, namun dalam konteks yang tepat. Konteks “Kafir” sebagai sekelompok manusia serakah yang telah merampas kemerdekaan dan sumber daya alam strategis.
Jika melihat kepada berbagai referensi: kata kafir sendiri sering identic dengan kata makar, mufsidun/pembuat kerusakan di muka bumi. Maka wajar, penggunaan kata kafir dalam konteks yang tepat ini dibolehkan. Namun ketika konteksnya sudah bertolak belakang dengan fakta dan realitas maka penyebutan kafir kepada orang lain harus dipikir ulang kembali.
Islam tidak sekadar hokum-hukum dan nilai-nilai tekstual yang tertulis dalam Quran. Nilai-nilai tekstual ini merupakan saripati yang harus menghiasi kehidupan dalam beragam konteks. Misalkan; seseorang telah mengaku sebagai muslim sejati, maka dalam tiga komponen kehidupan: niat, ucapan, dan perbuatan harus memperlihatkan nilai-nilai keselamatan. Saat salah satu komponen ini rusak, maka sudah kontradiktif –bukan hanya secara konteks juga secara tekstual – dengan kata Islam tadi.
Saat para pahlawan berjuang mengusir penjajah; Saya sangat yakin, tidak semua mengucapkan Allohu Akbar, pada saat-saat tertentu sudah pasti ada pejuang yang mengucapkan: Sikaatt belanda kafir, Iblis, anjing, asu, koplok, kehed, bebel. Sangat sarkastik namun pada konteks yang tepat. Ketepatan itu terlihat dari hengkangnya para penjajah dari negara ini. Ada ukuran manusiawi, saat tanah bangsa ini dirampas, para wanita diperkosa tiada ampun, kekesalan akan membuncah pada saatnya, namun hal itu sama sekali tidak berlarut-larut, sebab kemerdekaan telah diraih, dan hampir semua orang di negara ini melupakan: ratusan tahun lalu, bangsa kita dihina dan dilecehkan oleh Bangsa Eropa.
Lantas bagaimana dengan seorang tokoh agama yang melakukan orasi kemudian terjebak dalam caci maki kasar? Konteksnya jelas telah begitu berbeda. Apalagi ungkapan caci maki dan hinaan tersebut dilatari oleh pengucapan Allohu Akbar, sangat kontras sekali dengan perintah-perintah Alloh agar membuat ketertiban di muka bumi ini. Amar ma’ruf nahyi munkar memang harus dilakukan namun jangan sampai melahirkan kemunkaran dan kejahatan baru.
Jika kita percaya – kelak kita akan dimasukkan ke dalam surga – maka, jangan coba-coba kita menciptakan neraka di dunia ini. Ada yang berpendapat, hukum di negara ini bukan hukum Alloh yang ditegakkan. Benarkan seperti itu? Saat manusia berusaha untuk mewujudkan ketertiban sosial (sosial order) hakikatnya manusia telah berusaha mewujudkan hukum Alloh di muka bumi. Sebab salah satu point dari hukum Alloh adalah mewujudkan ketertiban dan keteraturan. Hukum dan ayat-ayatNya tidak hanya tertulis di dalam Quran sebagai ayat-ayat Qauliyyah saja.
Sebaliknya, ketika manusia melakukan kemakaran, kejahatan, keruskan, dan ketimpangan sosial, secara hakikat manusia tersebut telah melanggar hukum-hukum Alloh. Terlalu naif, jika kita membicarakan hukum Alloh hanya sebatas pada lembaran-lembaran yang tertuang di dalam Quran, saat Quran sendiri merupakan rangkuman nilai yang bersifat substantif. Buktinya? Petunjuk operasional ayat-ayat Quran sendiri dilengkapi oleh Hadits, Ijtihad, Ijmak, Qiyash.
Saya selalu berpegang teguh pada wasiat dari buyut saya: hirup mah sing bener, singer, jeung bageur. Tekad, ucap, jeung lampah sing hade. Dengan begitu, kamu akan selamat (Islam). Walaupun, sangat sulit sekali mewujudkan hal tersebut…
Kang Warsa
Kecuali itu, di hari pahlawan ini ada juga demonstrasi yang dilakukan oleh FPI menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebetulnya tidak satu dua kali ormas ini melakukan aksinya. Banyak alasan, salah satunya, seperti dalam orasi pimpinan FPI; Ahok musuh Islam, kafir, pemakan daging babi, tidak pantas memimpin Jakarta. Nadanya memang sangat sarkas.
Dalam tulisan ini, Saya akan mengorelasikan nilai kepahlawanan dengan semangat demonstrasi penolakan ahok oleh FPI, tentu pada dua kutub yang begitu berbeda. Jangan diartikan, demonstrasi merupakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan kemunkaran, seperti semangat juang para pahlawan yang telah memerdekakan negara ini. Para pejuang memang telah melontarkan ungkapan “Belanda Kafir” kepada kaum penjajah, namun dalam konteks yang tepat. Konteks “Kafir” sebagai sekelompok manusia serakah yang telah merampas kemerdekaan dan sumber daya alam strategis.
Jika melihat kepada berbagai referensi: kata kafir sendiri sering identic dengan kata makar, mufsidun/pembuat kerusakan di muka bumi. Maka wajar, penggunaan kata kafir dalam konteks yang tepat ini dibolehkan. Namun ketika konteksnya sudah bertolak belakang dengan fakta dan realitas maka penyebutan kafir kepada orang lain harus dipikir ulang kembali.
Islam tidak sekadar hokum-hukum dan nilai-nilai tekstual yang tertulis dalam Quran. Nilai-nilai tekstual ini merupakan saripati yang harus menghiasi kehidupan dalam beragam konteks. Misalkan; seseorang telah mengaku sebagai muslim sejati, maka dalam tiga komponen kehidupan: niat, ucapan, dan perbuatan harus memperlihatkan nilai-nilai keselamatan. Saat salah satu komponen ini rusak, maka sudah kontradiktif –bukan hanya secara konteks juga secara tekstual – dengan kata Islam tadi.
Saat para pahlawan berjuang mengusir penjajah; Saya sangat yakin, tidak semua mengucapkan Allohu Akbar, pada saat-saat tertentu sudah pasti ada pejuang yang mengucapkan: Sikaatt belanda kafir, Iblis, anjing, asu, koplok, kehed, bebel. Sangat sarkastik namun pada konteks yang tepat. Ketepatan itu terlihat dari hengkangnya para penjajah dari negara ini. Ada ukuran manusiawi, saat tanah bangsa ini dirampas, para wanita diperkosa tiada ampun, kekesalan akan membuncah pada saatnya, namun hal itu sama sekali tidak berlarut-larut, sebab kemerdekaan telah diraih, dan hampir semua orang di negara ini melupakan: ratusan tahun lalu, bangsa kita dihina dan dilecehkan oleh Bangsa Eropa.
Lantas bagaimana dengan seorang tokoh agama yang melakukan orasi kemudian terjebak dalam caci maki kasar? Konteksnya jelas telah begitu berbeda. Apalagi ungkapan caci maki dan hinaan tersebut dilatari oleh pengucapan Allohu Akbar, sangat kontras sekali dengan perintah-perintah Alloh agar membuat ketertiban di muka bumi ini. Amar ma’ruf nahyi munkar memang harus dilakukan namun jangan sampai melahirkan kemunkaran dan kejahatan baru.
Jika kita percaya – kelak kita akan dimasukkan ke dalam surga – maka, jangan coba-coba kita menciptakan neraka di dunia ini. Ada yang berpendapat, hukum di negara ini bukan hukum Alloh yang ditegakkan. Benarkan seperti itu? Saat manusia berusaha untuk mewujudkan ketertiban sosial (sosial order) hakikatnya manusia telah berusaha mewujudkan hukum Alloh di muka bumi. Sebab salah satu point dari hukum Alloh adalah mewujudkan ketertiban dan keteraturan. Hukum dan ayat-ayatNya tidak hanya tertulis di dalam Quran sebagai ayat-ayat Qauliyyah saja.
Sebaliknya, ketika manusia melakukan kemakaran, kejahatan, keruskan, dan ketimpangan sosial, secara hakikat manusia tersebut telah melanggar hukum-hukum Alloh. Terlalu naif, jika kita membicarakan hukum Alloh hanya sebatas pada lembaran-lembaran yang tertuang di dalam Quran, saat Quran sendiri merupakan rangkuman nilai yang bersifat substantif. Buktinya? Petunjuk operasional ayat-ayat Quran sendiri dilengkapi oleh Hadits, Ijtihad, Ijmak, Qiyash.
Saya selalu berpegang teguh pada wasiat dari buyut saya: hirup mah sing bener, singer, jeung bageur. Tekad, ucap, jeung lampah sing hade. Dengan begitu, kamu akan selamat (Islam). Walaupun, sangat sulit sekali mewujudkan hal tersebut…
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Pahlawan dan Demonstrasi FPI"