Parodi Politik Negara Dunia Ketiga

Politik berada di sekitar kita, ini berlaku untuk negara ini. Hampir di setiap stasiun televisi pemberitaan mengupas persoalan-persoalan politik. Stasiun ini menayangkan debat para politisi, di stasiun itu menampilkan diskusi para politisi 'tandingan'. Ditonton oleh rakyat, baik perkotaan, perdesaan, dan pinggiran. Imbasnya, semua -seolah- larut dalam ingar-bingar perpolitikan, para petani memperbincangkan kabinet 'blusukan' Jokowi, para pedagang mempersoalkan kekisruhan partai-partai politik di pusat. Politik seolah telah menjadi panglima tertinggi dalam setiap kata-kata di berbagai media sosial.

Media massa -terlebih televisi - memiliki peran penting dalam mengubah paradigma, lebih tepat struktur komunikasi, mayoritas rakyat di negara ini. Namun tetap tidak bisa dipersalahkan sebab peran media hanya menjembatani informasi agar diterima oleh komunikan atau pemirsa. Otak di balik media massa lah yang berperan penting terhadap maraknya tayangan 'kekacauan politik' di negara ini. Hanya saja, acap kali para Think Tank media ini mengelak dengan dalih: tayangan di televisi tidak bisa lepas dari kebutuhan penonton. Pemirsa haus dengan tayangan-tayangan yang didesain sedemikian rupa oleh dalang stasiun televisi. Tanpa kecuali tayangan "parodi politik" di negeri ini.

Di era Orde Baru, media massa seperti televisi dan radio memiliki peran sebagai 'corong' pemerintah. Pemberitaan dimaksudkan untuk menayangkan kesuksesan pembangunan, panen raya petani, kunjungan Presiden ke pelosok, citra pemerintah ditampilkan sehalus mungkin, tanpa cacat dan cela. Rakyat menerima ini sebagai sinyal bagus, negara sedang benar-benar dalam keadaan tenteram, damai. Dampak baik dari penggunaan media massa sebagai 'corong' pemerintah adalah: struktur politik hanya berlangsung di ranah atas. Pembahasan politik di ranah bawah atau kelompok akar rumput dipandang sebagai sebuah ketabuan. Jika ada seorang anak kecil berbicara masalah partai, orang tua mereka akan langsung melerainya dengan kalimat, " Hush... Anak kecil jangan berbicara masalah politik."

Orde Baru berhasil menggiring rakyat pada sebuah opini umum dan common sense bernegara: negara akan aman, repeh rapih, gemah ripah loh jinawi jika rakyat berada pada bidangnya masing-masing. Petani jadi petani, pegawai jadi pegawai, dan pedagang jadi pedagang. Idealisasi negara seperti ini adalah sebuah keharusan, partikularisasi rakyat pada sektor-sektor yang tepat merupakan syarat mutlak akan berjalan ke arah mana negara ini. Rakyat tidak tumpang tindih dalam beropini, misalkan para petani ya membicarakan persoalan-persoalan pertanian saja, tidak perlu mengupas Alat Kelengkapan DPR, lembaga-lembaga negara, juga isu-isu politik di negara ini.

Berbeda dengan era sebelumnya, di era keterbukaan dan kemerdekaan berpendapat ini, televisi dan radio tidak lagi berperan sebagai corong pemerintah. Mereka telah menjadi corong kelompok pemegang kepentingan, corong politisi, dan corong 'Invisible Hand',  para dalang negeri ini. Karena dikendalikan oleh beragam kelompok dengan bermacam varian, struktur informasi yang disampaikan oleh media massa bersifat massif dan berpola zigzag. Benturan informasi pun sering terjadi, misalkan pada kasus perbedaan hasil Quick Count Pilpres 2014 antara Metro TV dengan TV One. Benturan informasi seperti ini sudah pasti mengakibatkan perang pandangan di kelompok akar rumput. Subyektifitas informasi lahir karena telah keroposnya kejujuran media dan menipisnya 'Check and Balance' media.

Perubahan struktur informasi yang ditayangkan oleh media massa (Televisi) seperti; ketabuan membahas politik menjadi sebuah kebiasaan telah menyulap negara dari kondisi beku dan sepi ke sebuah hura-hura besar, euphoria dan ledakan pandangan. Sangat celaka, benturan informasi ini telah mengakibatkan lahirnya penggunaan akal dan nalar jalanan. Kelompok akar rumput cenderung bersuara kasar dan sumbang terhadap kebijakan pemerintah - apa pun jenis dan bentuk kebijakan tersebut -. Arus informasi dipenuhi oleh gelombang politik. Hampit tidak ada ruang dan sudut yang tidak diisi oleh pembahasan per-politikan.

Bagi negara-negara di dunia ke-3, hal ini bisa disebut sebagai sebuah kewajaran. Pembahasan politik menjadi hiburan rakyat, karena beberapa hal; 1) Negara di dunia ke-3 belum memiliki infra struktur yang ajeg dalam mengembangkan seni dan budaya. Gedung-gedung opera dan taman budaya sangat minim dimiliki. Bahkan, Sukabumi sendiri sampai saat ini belum memiliki kembali bioskop. Maka, pelampiasan hasrat hiburan dialihkan ke tayangan televisi, perdebatan politik pun dijadikan sebuah hiburan.

2) Regulasi pemerintah dalam meningkatkan citra budaya semakin melemah. Pemerintah memang banyak mendirikan lembaga-lembaga, ormas, OKP, namun jarang sekali lembaga-lembaga yang didirikan oleh pemerintah memiliki orientasi kepada peningkatan budaya minimal menggali budaya dan kearifan lokal.

3) Kurangnya sarana hiburan rakyat. Negara-negara dunia ke-3 sangat serba kekurangan dengan saraya hiburan rakyat. Rakyat tidak memiliki alternatif untuk memilih 'hiburan apa yang akan mereka tonton' di setiap akhir pekan. Tidak heran, setiap akhir pekan, pusat-pusat perbelanjaan dan sentra-sentra kuliner lah yang dipadati oleh masyarakat. Karnaval jarang sekali dimiliki oleh negara-negara di dunia ke-3. Sudah pasti, hal ini akan kembali kepada pembenahan tata ruang perkotaan. Kesemrawutan lalu-lintas, persoalan pedagang di bahu jalan, tidak akan mendukung dengan baik terhadap sebuah perayaan bernama karnaval.

Kondisi di atas tidak serta merta berbuah kejelekan saja. Di negara-negara dunia ke-3 pun telah banyak bermunculan kelompok 'budaya' yang memiliki mainstream jelas. Meskipun kurang diminati, setidaknya dengan kelahiran kelompok-kelompok kecil ini bisa berdampak pada lahirnya kekuatan baru sebagai pengimbang arus zigzag hiburan yang ditayangkan oleh televisi. Kelompok dengan mainstream tertentu ini harus mewacanakan dan membahasakan bukan persoalan politik, namun segmen-segmen lain dalam kehidupan ini. Hal paling penting dalam membangun karakter dalam kelompok seperti ini adalah reduksi antipati terhadap kelompok lain. Jelas sekali, kelompok berandal motor berada di luar ini. [ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Parodi Politik Negara Dunia Ketiga"