Tidak terbantahkan, saat ini kita sedang hidup di dalam masyarakat yang sedang didominasi oleh informasi. Apa yang berada di luar diri kita, melalui papan reklame, videotron, smart-phone, radio, dan televisi telah akrab dengan kehidupan kita saat ini. Empat sampai tiga dekade sebelumnya untuk mendengarkan informasi dari radio saja, orang harus berjalan sampai satu kilometer. Radio hanya dimiliki oleh kantor desa dan kecamatan atau kantor-kantor pemerintah. Informasi saat ini, seolah menyodor-nyodorkan diri kepada diri kita tanpa mengenal lelah. Jika manusia tidak diberi fasilitas beristirahat, bisa dipastikan mereka akan menangkap informasi selama 24 jam tanpa jeda.
Tentang informasi yang diterima, entah benar atau tidak sudah jarang memerdulikannya. Arusnya begitu kuat dan mengalir dari dan ke setiap penjuru, tidak memiliki tempat persinggahan. Beberapa tahun lalu, tersebar berita: Jokowi, Presiden Indonesia sekarang menikah dengan Iriana dan di dalam Surat Nikah tersebut tercantum nama asli Sang Presiden sebagai keturunan Tionghoa. Informasi menyebar dengan sangat cepat, maka tanpa sensor dan filter apapun informasi itu ditangkap sebagai sebuah sinyal kebenaran.
Informasi lain dan ini telah berkembang sejak sekian lama, Lelaki Sunda merupakan para lelaki yang suka berpoligami. Maka, informasi ini ditafsirkan baik oleh para Lelaki Sunda juga oleh perempuan dari suku lain, satu pihak mengklaim sebagai hal benar dan wajar, di satu pihak (para perempuan) ini merupakan potret menakutkan, perempuan dari suku selain Sunda takut dinikahi oleh para Lelaki Sunda. Pembenaran terhadap tindakan tersebut sering disangkutpautkan dengan nilai sakral keagamaan. Poligami telah diyakini selama berabad-abad sebagai sunnah atau tuntunan Rosulullah. Poligami merupakan salah satu cara untuk menjauhkan para wanita dari jurang prostitusi.
Kedua informasi di atas tidak dipandang pada sudut benar atau hanya sebatas hoax (kabar bohong), tetapi diterima begitu saja. Lambat laun, diterima sebagai sebuah kebenaran. Sementara, dalam pandangan nalar sehat, informasi meskipun telah berlangsung dan berkembang sekian lama tidak lantas bahwa hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang benar. Menurut Janet M Ruane, Berlalunya waktu tidak dengan sendirinya menetapkan bahwa sesuatu itu benar.
Dalam masyarakat tradisional telah sekian lama berkembang informasi: di saat gerhana matahari masyarakat diwajibkan memukul kentongan demi alasan untuk menakut-nakuti Naga yang akan menelan bulat-bulat matahari. Otoritas tertinggi yang dianut oleh masyarakat waktu itu adalah ucapan para tetua kampung, jika kebiasaan yang telah dilakukan oleh leluhur ketika terjadi gerhana matahari diabaikan akan mendatangkan bencana.
Fakta sebenarnya tidak demikian, di zaman ini ketika nalar telah mampu menafsirkan ‘siloka-siloka’ yang tersembunyi di dalam kebiasaan para leluhur kita, ternyata gerhana matahari bukan disebabkan oleh Naga yang akan menelan matahari. Penjelasan ilmiah dan alamiah malahan telah mendekatkan manusia dengan persitiwa alam tersebut. Segalanya berubah drastis dari memukul kentongan menjadi mengabadikannya dengan cara dijepret oleh ponsel dan kamera.
Beberapa bulan lalu muncul kembali hoax, banyak sekali orang menuliskan status dan pikiran di media sosial bahwa bumi ini memang datar. Disampaikan oleh si penulis status, NASA telah banyak berbohong dan membodohi umat manusia dengan klaim bumi berbentuk bulat.
Perdebatan mengenai heliosentris dan geosentris ini sebenarnya telah menemui titik kulminasi di abad ke-15 ketika Galileo menyodorkan gambar sistim tata surya kepada gereja. Otoritas yang telah lama berkembang dan diyakini sebagai kebenaran karena upaya penafsiran kitab suci hanya dimiliki oleh gereja menyatakan bahwa bumi ini datar dan planet ini sebagai pusat tata surya. Gereja tidak rela melepaskan otoritas pandangannya hanya karena seorang ilmuwan - seperti Galileo - mengajukan peta sistim tata surya.
Geraja malah bertanya: Jika kami harus mengakui gambar ini, dan pusat tata surya adalah matahari, apakah kami juga harus mengapus wahyu dan menggantikannya dengan dalil yang baru? Sikap otoritatif tidak mengenal relevansi dan konteks yang terus berkembang. Pandangan yang jelas dan nyata adalah jika di dalam kitab suci tertera A maka maksud dari wahyu tersebut adalah A, tidak yang lainnya. Ketika ada pandangan berbeda hal tersebut dikategorikan bid’ah –sesat-. Benar atau tidaknya? Hal tersebut berbanding lurus dengan keimanan.
Didengungkan kembali geosentrisme melalu media sosial ternyata hanya dilakukan oleh segelintir orang dengan tujuan iseng. Ada juga yang memposting geosentrisme dengan tujuan memancing saja. Ketika ditanyakan fakta akurat tentang pandangan ‘bumi datar’ dan tidak bulat, mereka berlalu begitu saja, hanya menyodorkan ayat-ayat atau wahyu yang tercantum di dalam kitab suci. Apa peran kitab suci hanya terbatas untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat konyol.? Dan ketika ayat atau wahyu dalam kitab suci tersebut disodorkan, jarang sekali orang mau menyanggahnya dengan nalar yang jernih agar posisi wahyu benar-benar lebih bermakna.
Beberapa hari lalu, di Kota Sukabumi saat para guru honorer melakukan audiensi dengan DPRD Kota Sukabumi, Walikota Sukabumi membuat pernyataan, kenaikan guru honorer ini harus melihat kemampuan daerah dulu. Kalau masalah tandatangan itu hal mudah, tapi dari mana anggarannya dulu. Fakta sebenarnya , jumlah guru honorer sangat banyak di Kota Sukabumi namun kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah, padahal pendidikan tanpa adanya keterlibatan guru baik PNS maupun Non PNS kemungkinan besar tidak akan pernah berhasil.
Fakta kedua dari pemberitaan ini, pihak berwenang atau lembaga otoritatif yang ada di Kota Sukabumi belum serius memikirkan kesejahteraan para guru honorer. Kemampuan daerah untuk menyelesaikan ‘rintihan’ para guru honorer masih belum terlihat. Ini membuktikan bahwa hidup kita selalu bergantung kepada otoritas, sama sekali tidak memerhatikan benar atau tidaknya. Fakta lainnya, Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) dalam APBD Kota Sukabumi yang akan digunakan dalam APBD tahun berikutnya bisa memenuhi tuntutan para guru honorer.
Sejatinya , informasi yang sampai kepada kita di era digital ini harus dipandang bukan merupakan secangkir kopi yang siap diminum. Paling tidak, jika informasi tersebut ditelaah dan didalami dengan nalar sehat akan mengecilkan kekeliruan yang akan terjadi. Dan tentu saja harus diakui, pada saat itu kita pun telah terjerumus ke dalam otoritas akal.
Kang Warsa
Tentang informasi yang diterima, entah benar atau tidak sudah jarang memerdulikannya. Arusnya begitu kuat dan mengalir dari dan ke setiap penjuru, tidak memiliki tempat persinggahan. Beberapa tahun lalu, tersebar berita: Jokowi, Presiden Indonesia sekarang menikah dengan Iriana dan di dalam Surat Nikah tersebut tercantum nama asli Sang Presiden sebagai keturunan Tionghoa. Informasi menyebar dengan sangat cepat, maka tanpa sensor dan filter apapun informasi itu ditangkap sebagai sebuah sinyal kebenaran.
Informasi lain dan ini telah berkembang sejak sekian lama, Lelaki Sunda merupakan para lelaki yang suka berpoligami. Maka, informasi ini ditafsirkan baik oleh para Lelaki Sunda juga oleh perempuan dari suku lain, satu pihak mengklaim sebagai hal benar dan wajar, di satu pihak (para perempuan) ini merupakan potret menakutkan, perempuan dari suku selain Sunda takut dinikahi oleh para Lelaki Sunda. Pembenaran terhadap tindakan tersebut sering disangkutpautkan dengan nilai sakral keagamaan. Poligami telah diyakini selama berabad-abad sebagai sunnah atau tuntunan Rosulullah. Poligami merupakan salah satu cara untuk menjauhkan para wanita dari jurang prostitusi.
Kedua informasi di atas tidak dipandang pada sudut benar atau hanya sebatas hoax (kabar bohong), tetapi diterima begitu saja. Lambat laun, diterima sebagai sebuah kebenaran. Sementara, dalam pandangan nalar sehat, informasi meskipun telah berlangsung dan berkembang sekian lama tidak lantas bahwa hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang benar. Menurut Janet M Ruane, Berlalunya waktu tidak dengan sendirinya menetapkan bahwa sesuatu itu benar.
Dalam masyarakat tradisional telah sekian lama berkembang informasi: di saat gerhana matahari masyarakat diwajibkan memukul kentongan demi alasan untuk menakut-nakuti Naga yang akan menelan bulat-bulat matahari. Otoritas tertinggi yang dianut oleh masyarakat waktu itu adalah ucapan para tetua kampung, jika kebiasaan yang telah dilakukan oleh leluhur ketika terjadi gerhana matahari diabaikan akan mendatangkan bencana.
Fakta sebenarnya tidak demikian, di zaman ini ketika nalar telah mampu menafsirkan ‘siloka-siloka’ yang tersembunyi di dalam kebiasaan para leluhur kita, ternyata gerhana matahari bukan disebabkan oleh Naga yang akan menelan matahari. Penjelasan ilmiah dan alamiah malahan telah mendekatkan manusia dengan persitiwa alam tersebut. Segalanya berubah drastis dari memukul kentongan menjadi mengabadikannya dengan cara dijepret oleh ponsel dan kamera.
Beberapa bulan lalu muncul kembali hoax, banyak sekali orang menuliskan status dan pikiran di media sosial bahwa bumi ini memang datar. Disampaikan oleh si penulis status, NASA telah banyak berbohong dan membodohi umat manusia dengan klaim bumi berbentuk bulat.
Perdebatan mengenai heliosentris dan geosentris ini sebenarnya telah menemui titik kulminasi di abad ke-15 ketika Galileo menyodorkan gambar sistim tata surya kepada gereja. Otoritas yang telah lama berkembang dan diyakini sebagai kebenaran karena upaya penafsiran kitab suci hanya dimiliki oleh gereja menyatakan bahwa bumi ini datar dan planet ini sebagai pusat tata surya. Gereja tidak rela melepaskan otoritas pandangannya hanya karena seorang ilmuwan - seperti Galileo - mengajukan peta sistim tata surya.
Geraja malah bertanya: Jika kami harus mengakui gambar ini, dan pusat tata surya adalah matahari, apakah kami juga harus mengapus wahyu dan menggantikannya dengan dalil yang baru? Sikap otoritatif tidak mengenal relevansi dan konteks yang terus berkembang. Pandangan yang jelas dan nyata adalah jika di dalam kitab suci tertera A maka maksud dari wahyu tersebut adalah A, tidak yang lainnya. Ketika ada pandangan berbeda hal tersebut dikategorikan bid’ah –sesat-. Benar atau tidaknya? Hal tersebut berbanding lurus dengan keimanan.
Didengungkan kembali geosentrisme melalu media sosial ternyata hanya dilakukan oleh segelintir orang dengan tujuan iseng. Ada juga yang memposting geosentrisme dengan tujuan memancing saja. Ketika ditanyakan fakta akurat tentang pandangan ‘bumi datar’ dan tidak bulat, mereka berlalu begitu saja, hanya menyodorkan ayat-ayat atau wahyu yang tercantum di dalam kitab suci. Apa peran kitab suci hanya terbatas untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat konyol.? Dan ketika ayat atau wahyu dalam kitab suci tersebut disodorkan, jarang sekali orang mau menyanggahnya dengan nalar yang jernih agar posisi wahyu benar-benar lebih bermakna.
Beberapa hari lalu, di Kota Sukabumi saat para guru honorer melakukan audiensi dengan DPRD Kota Sukabumi, Walikota Sukabumi membuat pernyataan, kenaikan guru honorer ini harus melihat kemampuan daerah dulu. Kalau masalah tandatangan itu hal mudah, tapi dari mana anggarannya dulu. Fakta sebenarnya , jumlah guru honorer sangat banyak di Kota Sukabumi namun kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah, padahal pendidikan tanpa adanya keterlibatan guru baik PNS maupun Non PNS kemungkinan besar tidak akan pernah berhasil.
Fakta kedua dari pemberitaan ini, pihak berwenang atau lembaga otoritatif yang ada di Kota Sukabumi belum serius memikirkan kesejahteraan para guru honorer. Kemampuan daerah untuk menyelesaikan ‘rintihan’ para guru honorer masih belum terlihat. Ini membuktikan bahwa hidup kita selalu bergantung kepada otoritas, sama sekali tidak memerhatikan benar atau tidaknya. Fakta lainnya, Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) dalam APBD Kota Sukabumi yang akan digunakan dalam APBD tahun berikutnya bisa memenuhi tuntutan para guru honorer.
Sejatinya , informasi yang sampai kepada kita di era digital ini harus dipandang bukan merupakan secangkir kopi yang siap diminum. Paling tidak, jika informasi tersebut ditelaah dan didalami dengan nalar sehat akan mengecilkan kekeliruan yang akan terjadi. Dan tentu saja harus diakui, pada saat itu kita pun telah terjerumus ke dalam otoritas akal.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Candu Otoritas"