ADA dua sumpah yang pernah diucapkan baik secara
perorangan juga oleh sebuah kelompok sosial dan ini ditetapkan sebagai sumpah
fenomenal, yaitu Amukti Palapa, sumpah seorang Gajahmada untuk membebaskan nusantara
dari pengaruh kekuasaan asing sebelum dia lengser atau purna dari jabatan
sebagai seorang patih Majapahit. Sumpah Palapa ini diucapkan pada tahun 1336 M,
saat Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit berada di puncak kejayaan. Dalam versi
Babad Tanah Jawi, Amukti Papala ini
diucapkan oleh Gajahmada pada tahun 1334 M.
Beberapa ahli sejarah masih memiliki penafsiran
berbeda terhadap makna di balik Amukti
Palapa serta peristiwa yang terjadi saat
Gajahmada mengucapkannya. Secara bahasa, sejarahwan ada yang menafsirkan Amukti Palapa diucapkan oleh Gajahmada setelah
ia meminum air kelapa, penafsiran kelapa ini merujuk pada arti Palapa. Namun sumber lain menyebutkan,
arti dari Amukti Palapa adalah purna
tugas, atau selesai memegang jabatan. Dengan kalimat sederhana dapat
ditafsirkan, Gajahmada tetap akan mempersatukan nusantara sampai ia selesai
menunaikan tugas sebagai seorang patih.
Upaya Gajahmada –menurut Babad Tanah Jawi – dapat dikatakan
cukup berhasil, pada tahun 1365 M, 31 tahun setelah Amukti Palapa diucapkan,
hampir seluruh kepulauan di nusantara dapat dikuasi oleh kerajaan Majapahit
(Majapait, versi Babad Tanah Jawi), antara lain; Tanah Jawa Wétan lan Tengah, Sumatra, wiwit Lampung tekan Acih
(Perlak), Bornéo (Banjarmasin), Sélebes (Banggawai, Salaiya, Bantaiyan), Florès
(Larantuka), Sumbawa (Dompo), saparoning Malaka lan sabageyaning Nieuw Guinéa (Van Rijkevorsel, 1925:17).
Hanya Tanah Sunda yang tidak pernah ditaktlukkan
oleh Majapahit sebagaimana termaktub di dalam buku tersebut: “Tanah Sundha ora ditelukaké. Kang jumeneng ratu ana ing
tanah Sundha mau ajejuluk Prabu Wangi, putrané putri dilamar Prabu Ayam Wuruk
iya dicaosaké, ananging Prabu Wangi banjur pasulayan karo Patih Gajahmada,
nganti dadi perang.” (Tanah Sunda tidak dapat ditaklukkan. Strategi yang dilakukan oleh
Hayam Wuruk adalah dengan melamar putri Prabu Wangi. Raja Tanah Sunda itu tidak menerimanya
kemudian ditafsirkan oleh Gajahmada bahwa penaklukkan Sunda harus diakhiri
dengan perang). Sampai saat ini, sejarah tentang Perang Bubat bahkan keberadaan
Gajahmada sendiri masih merupakan hal yang samar.
Dua versi yang saling bertolak belakang
terhadap sikap Gajahmada itu tidak hanya berlangsung saat ini, di akhir abad
ke-19, tepatnya pada tahun 1894, Sejarahwan Hindia Belanda, Biegman menulis - di
dalam buku Hikajat Tanah Melajoe - bahwa upaya Kerajaan Majapahit untuk
memperluas wilayah kekuasaannya itu disebut sebagai bentuk penjajahan atas
kerajaan-kerajaan lain yang telah ada di nusantara. Kalau orang Madjapahit
singgah di tanah jang asing, maka atjap kali diboetnja kampoeng disitoe,
diantara kampoeng itoe ada jang mendjadi Bandar jang ramai, sebab itoe djadjahan Madjapahit
bertambah-tambah loeas (Biegman, 1894: 11). Tentu saja kalimat yang ditulis
dalam pandangan seorang Hindia Belanda berbeda dengan sudut pandang kaum aristokrat
pra kemerdekaan. Dalam pandangan kaum terpelajar Indonesia, penaklukkan oleh Gajahmada
merupakan upaya untuk menyatukan nusantara, dengan konteks saat itu telah
datang orang-orang asing ke wilayah ini.
Sumpah kedua yang sangat fenomenal
yaitu Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, diikrarkan saat kongres
pemuda se-Indonesia ke II di Jakarta. Sumpah itu berisi; para pemuda mengaku
bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan berbahasa yang satu, bahasa Indonesia. Ketiga unsur yang
dicantumkan dalam Sumpah Pemuda itu merupakan dua dari empat syarat berdirinya sebuah negara, adanya tempat dan
rakyat. Sumpah Pemuda merupakan tekad dari para pemuda untuk merdeka dan lepas
dari pemerintahan Belanda. Pesan kepada dunia tentang tunas negara baru telah
mulai tumbuh.
Kita bukan merupakan pelaku sejarah
saat itu, tetapi dengan membaca dan meneliti fakta-fakta sejarah tentang
Kongres Pemuda di Jakarta dapat membuat diri kita –terutama para pemuda –
sangat merinding sebagai tanggapan terhadap tekad mereka untuk lebih
mengedepankan semangat persatuan dan tujuan bersama dari sekadar egosentrisme
kelompok dan keakuan, rasa bangga terhadap golongan. Para pemuda waktu itu
menyadari, persatuan dan kesatuan merupakan hal berbeda, sebab persatuan merupakan
sebuah proses yang harus dijalani. 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, tekad
persatuan ini telah mengilhami para founding father negara ini dengan
menempatkannya pada sila ke-3 dari Pancasila, Persatuan Indonesia.
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928
merupakan tonggak sejarah semangat inklusivitas dengan mengabaikan
eksklusivitas masing-masing kelompok. Jong Java tidak merasa lebih agung dari
Jong Celebes, Jong Islamieten Bond yang didirikan di Batavia pada tahun 1925 tidak
merasa lebih suci dari Perkumpulan Pemuda Kristen. Para veteran Jong Islamieten
Bond seperti Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syafrudin Prawiranegara, dan
Mohammad Natsir merupakan pemuda-pemuda yang memiliki andil di dalam merumuskan
ideologi negara ini.
Kesadaran baru dari para pemuda dan
kelompok-kelompoknya terbuka pada dekade kedua di abad ke-20. Pemerintah Hindia
Belanda pada dekade pertama memberikan keleluasaan terhadap pendirian berbagai
organisasi kepemudaan tidak sekadar untuk menggali potensi pemuda Hindia
Belanda saja, kecuali itu dilatarbelakangi juga untuk menunbuhkan sikap eksklusif para pemuda atas etnisitasnya.
Jong Java merasa bangga dengan kesukuannya terjebak dalam romantisme kejayaan
leluhur mereka. Jong Sumatera pun demikian, mereka merasa diri sebagai pemuda
superior karena bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa pergaulan di nusantara
merupakan bahasa milik mereka. Pada tahun 1925, barulah kesadaran baru lahir,
sebuah kesadaran ideologis untuk mempersatukan seluruh unsur pemuda dari
berbagai latar belakang, agama, suku, dan golongan.
Sumpah Pemuda merupakan ikrar suci
tentang satu ikatan, satu tumpah darah, satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa. Dengan sikap rendah hati, Jong Sumatera tidak merasa kecewa bahasa
Melayu diganti dengan sebutan baru, Bahasa Indonesia. Di dalam A Short
History of Indonesia disebutkan:
The language that the Congress called ‘Indonesian’ was a modernized
form of a much older language, Malay,
originating from the Riau area of Sumatera and the southern part of the Malay
Peninsula. It was the first language of
only a small proportion of the inhabitants of the Indies. However, Malay was
widely spoken throughout the archipelago, being the language of inter-ethnic
trade and of Islam. It was also largely a non-hierarchical language, and thus
one that appealed to the spirit of modernity and democracy which inspired many
of those who attended the Youth Congress (Collin Brown, 2003:107). Bahasa yang
disebutkan dalam kongres itu yaitu bahasa Indonesia, merupakan bentuk modern
dari bahasa lama, Melayu, bahasa yang bersumber atau berasal dari Riau dan
Sumatera, dan bagian selatan Malaya. Bahasa ini telah banyak dilafalkan dari
pulau ke pulau, telah menjadi bahasa antar etnis di dalam dunia perdagangan dan
Islam, bahasa ini menunjukkan semangat kemajuan dan demokrasi kemudian menjadi landasan
berpijak penyelenggaraan Kongres Pemuda.
Pemuda-pemuda bersama
lembaga-lembaganya telah mewujud menjadi manusia-manusia terbuka. Apalagi jika
kita membaca isi pertama dari Sumpah Pemuda, mengaku bertumpah darah satu,
tanah air Indonesia. Syair dalam lagu Indonesia Pusaka akan membuat kita termenung,
Kenapa Ismail Marzuki menuliskan: Di sana tempat lahir beta (?) Tidak menggunakan
kata tunjuk dekat: di sini? Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan tempat dengan
cakupan yang lebih luas, tidak sekadar di sini sebagai tempat dengan cakupan
yang lebih kecil.
Untuk hal tersebut, sesuai dengan
penggalan sejarah yang dituliskan di atas, menjadi keniscayaan, para pemuda di
zaman sekarang dengan berbagai organisiasi, kelompok, dan golongan harus membuang
sikap eksklusif atas kelompoknya. Seperti halnya pemuda-pemuda di negara ini
yang telah membuang sikap keakuan-nya pada tahun 1928. Mereka diakui bukan
hanya oleh kita, juga oleh dunia. Maka sangat benar, pemuda-pemuda yang dihasilkan
oleh pergolakan sejarah pada dekade ke dua abad 20 merupakan sosok-sosok
seperti unggakapan Bung Karno: “Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku
guncangkan seluruh dunia”.
Posting Komentar untuk "Tafsir Kontekstual Sumpah Pemuda"