SETELAH lima tahun lulus dari sebuah perguruan tinggi, tidak banyak pekerjaan yang aku lakukan. Dalam otakku ada sekelebat pikiran, tidak perlu susah-susah melamar pekerjaan, toch pada akhirnya hidup manusia akan selalu mengalami masa akhir, kematian. Padahal menurut penuturan seorang teman melalui kalimat-kalimat bijaknya berkata kepadaku, " Semua orang memang sudah pasti akan berhenti dalam kehidupan ini, tetapi kita diharuskan berikhtiar. Berpangku tangan saja malah akan mempercepat akhir hidup ini!" Aku tanggapi saja dengan enteng, jangan mengatur. Temanku hanya bergumam demi merespon sikapku itu bahwa aku telah berubah menjadi manusia paling egois se-jagat raya. Terlalu berlebih-lebihan guyonan temanku itu, begitu pikirku.
Pengangguran. Begitulah julukan yang diberikan oleh orang-orang kepada seorang lulusan perguruan tinggi yang lulus dengan predikat sangat memuaskan. Orang-orang di sekelilingku, apalagi teman-teman sekampung halaman pernah bertanya-tanya sampai menyimpulkan tentang diriku, " Mengapa tidak melamar pekerjaan? Bukankah setiap perusahaan dapat dengan mudah menerimamu, kamu khan lulusan perguruan tinggi terkenal?" Di hari-hari berikutnya mereka menyimpulkan bahwa aku manusia yang tidak pernah bersyukur, tidak memiliki keinginan, hingga mereka mengatakan tentu saja dengan berbisik-bisik, manusia tidak tahu diuntung, lulusan sekolah tinggi kok kalah oleh seorang lulusan sekolah kejuruan seperti Si Empep, satu bulan lulus dari sebuah SMK dia langsung membuka bengkel.
Kedua orangtuaku pernah memanggil orang pintar. Orang pintar itu merapalkan jampi-jampi pada segelas air bening. Persyaratan yang dibutuhkan dicukupkan oleh kedua orangtuaku. Ada minyak wangi pada sebuah botol kecil, kemenyan, dan bunga-bunga. Kata orang pintar , aku telah dirasuki oleh jin malas. Harus diusir. Orang pintar itu meminta disiapkan beberapa persyaratan pengusiran jin malas yang bersemayam di dalam tubuhku. Buhur dari Arab dan minyak cap Keraton Solo. " Untuk memudahkan, kalian siapkan saja uang dua juta rupiah, barang-barang yang dibutuhkan untuk prosesi pengusiran jin malas ini biar saya yang membelanjakannya.." Kedua orangtuaku, karena mereka mengharapkan jin malas keluar dari tubuhku mengiyakan saja. Uang sebesar dua juta rupiah dengan sangat cepat dan begitu cekatan direbut oleh orang pintar itu.
Tiga hari kemudian, prosesi pengusiran jin malas pun dilakukan oleh orang pintar. Memang aneh, baru sepuluh menit berlangsung, orang pintar itu malah menjadi kalap, dia meraung-raung seperti orang sedang kesurupan, bergulingan di lantai, kemudian berdiri dan berlari menghambur keluar rumah sambil berteriak-teriak. Aku bergeming. Kedua orangtuaku duduk melongo. Orang pintar itu sudah tidak pintar lagi, bisa jadi telah menjadi gila. Saat kecil aku pernah mendengar orang-orang di kampung mengatakan jika seseorang yang diobati –karena mahluk halus yang merasukinya lebih hebat atau sakti dari orang pintar – biasanya energi atau kekuatan mahluk halus itu justru yang akan mengalahkan dan menguasai si penyembuh. Entahlah, aku sama sekali tidak terlalu menggubris masalah-masalah yang berbau klenik. Aku diajarkan oleh guru ngaji di kampung jangan membesarkan masalah khurafat, bisa jatuh ke dalam jurang kemusyrikan.
Saat desas-desus bahwa diriku sedang dirasuki oleh jin malas justru di saat itulah muncul di dalam benakku untuk melawan fitnah itu. Orangtuaku mengatakan kepada tetangga, jin malas itu telah benar-benar kuat memengaruhi diriku. Tetanggaku menyebarkan kembali berita itu di warung dan kedai kopi. Sampai satu kampung tahu semua, aku dirasuki oleh jin malas. " Pantes saja tidak mau bekerja, tidak pernah melamar pekerjaan ke perusahaan manapun, ternyata dia telah mengabdi kepada jin.." Begitulah desas-desus orang sekampung yang telah dibumbui aroma ini dan itu, meluber ke sana-sini. Brengsek mereka, batinku. Akan aku lawan tuduhan keji itu, akan aku buktikan kalau sikap bermalas-malasan diriku ini tidak disebabkan oleh jin malas sialan. Aku tidak melamar pekerjaan bukan karena aku kerasukan dan ditunggangi dedemit kecuali memang sikapku saja: percuma bekerja di perusahaan besar, seperti robot saja!
Hari ini aku memutuskan untuk jalan-jalan ke kota. Sepatu yang biasa aku gunakan saat masih kuliah meskipun dikatakan tidak layak dipakai lagi aku bersihkan. Setelan pakaian rapi, padahal bukan hari lebaran atau hari-hari penting lainnya. Syukurlah, bisik ibuku. Kedua orangtuaku tentu saja sangat berbahagia, dalam pikiran mereka mungkin terbersit, sikap malasku mulai pudar. Mereka memberikan uang, katanya untuk ongkos ke kota. Orang-orang mengerling, ada juga yang bertanya, " Mau melamar pekerjaan, ya?" Aku jawab singkat saja dengan gelengan kepala. " Mau cari suasana baru, mungkin?" Mereka menghajarku dengan pertanyaan-pertanyaan murahan itu, sekadar basa-basi, mau tahu saja urusan orang lain. Udik. Ada juga yang berbisik-bisik, jin malas itu rupanya telah pindah badan, dia merasuki orang pintar yang tempo hari berusaha menyembuhkanku. Pada akhirnya aku telah sembuh.
Kumuh sekali kota ini. Trotoar disesaki oleh para pejalan kaki, mereka berhimpitan dengan para pedagang. Segala apapun dijual. Kendaraan secara bergantian membunyikan klakson dengan nada kekesalan. Pada bahu jalan ini para pedagang menghamparkan barang dagangan. Sampah memadati setiap meter jalan yang aku lalui. Bangunan-bangunan toko telah tampak kusam dan mulai menua, bagian atas tepat pada setiap rolling door toko dipenuhi oleh papan nama toko dan bermacam iklan. Poster-poster iklan pembesar alat vital lengkap dengan nama tabib dan kontaknya ditempel pada tembok setiap toko. Ada juga semacam pengumuman penerimaan lowongan pekerjaan dan jasa pemasangan CCTV. Gila. Persaingan di zaman modern ini memang telah berlangsung sampai merambah tembok, berhimpitan, berdesak-desakan, tiap poster dan sticker yang ditempel pun saling tumpang tindih. Kesannya tidak memberikan kesempatan kepada poster atau sticker lain agar leluasa terbaca oleh orang-orang. Main tutup, sikat, dan hajar saja. Namun masih untung, kota ini memiliki alun-alun yang ditumbuhi pepohonan besar. Itu saja.
Seorang lelaki, dapat aku terka, usianya sekitar tujuh puluh tahun. Lebih tepat aku sebut seorang kakek mendekatiku saat aku duduk dan menyandarkan badan pada dinding sebuah toko. Terus terang, orang-orang sama sekali tidak akan memerdulikan orang lain secara serius di kota ini. Mereka telah larut dalam pikiran dan urusannya masing-masing. Perhatian mereka kepada orang lain, seperti aku yang duduk bersandar pada dinding toko cukup dengan melihat sebentar. Orangtua yang menghampiriku menawarkan sesuatu yang masih tertutup rapat bungkusan. Dia menyuruhku mengambilnya. Bungkusan aku buka, o.. kue? Orang itu meminta agar aku memakannya. Saat aku tawarkan uang ribuan beberapa lembar, dia menggelengkan kepala tanda menyampaikan pesan penolakan. " Makan saja kue ini, aku tahu kamu lapar.." Benar, sejak berangkat dari rumah hingga siang ini aku belum memakan apapun. Saking semangat aku harus ke kota. Kue aku makan dengan lahap. Orang itu tersenyum.
" Ini kue atau obat haram, heh?" Tanyaku. Ada kejanggalan setelah beberapa menit memakannya tubuhku seperti melayang terbang sangat tinggi, kota kusam dan kotor ini tiba-tiba menjadi cerah, bersih, dan indah. Orang-orang juga terlihat tersenyum kepadaku.
" Kue biasa.." Kata orang itu.
" Tapi…" Belum selesai aku berbicara, orang itu bergegas pergi meninggalkanku. Tidak aku susul, aku telah larut dalam kebahagian batin yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Kue ajaib, bisikku. Tenagaku bertambah menjadi beberapa kali lipat. Tidak ada kata malas dalam hidup ini. Semangatku mulai tumbuh. Dalam pikiranku, aku harus menyadarkan orang-orang agar memiliki semangat dan etos kerja seperti orang-orang Jepang di sana. Dengan cara apa? Tentu saja dengan memberikan kue kepada mereka seperti yang telah diberikan oleh orang tadi kepadaku. Ah, untung saja ada sisa kue, akan aku teliti, bahan baku kue ini. Harus aku produksi ulang dan diperbanyak, bisa laku keras kalau dijual. Perusahaan-perusahaan kue raksasa di dunia ini pada akhirnya akan memesan resep kue ini kepadaku. Huh, enak saja mereka, begitu batinku.
Orang yang pertama kali memakan kue hasil olahanku ada bapakku. Beberapa menit kemudian, beliau tersenyum bahagia. Bahkan tertawa terbahak. Katanya, " Kue edan, tenagaku jadi berlipat ganda seperti ini!" Beliau memelukku, kemudian melanjutkan pekerjaannya membuat barang-barang rumah tangga, kursi meja hingga lemari. Setelah mengonsumsi kue buatanku, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan berjam-jam dan berhari-hari ini dapat diselesaikan dalam waktu satu hingga dua jam saja. Ibuku yang kurang pandai memasak, setelah mengunsumsi kue tiba-tiba dapat membuat makanan yang lebih enak dari restoran atau warung nasi manapun. " Tidak usah repot-repot aku harus membeli makanan enak di restoran!" Kata bapak sambil memukul pantat ibuku. " Aww, genit!". Padahal, sebelumnya jarang sekali mereka bercanda, malahan lebih sering memperlihatkan sikap murung.
Warga satu kampung berterima kasih kepadaku. Setelah mengonsumsi kue, kampungku menjadi kampung yang dipenuhi oleh semangat hidup. Warga kampung dengan penuh semangat membersihkan sampah-sampah setiap hari, memotong rerumputan di halaman rumah dan pinggir jalan. Hanya dalam hitungan tiga hari, kampung kelahiranku telah menyulap dirinya menjadi kampung paling ideal untuk ditempati oleh manusia di muka bumi ini.
Tidak ada transaksi apapun dalam hidup. warung-warung buka dan secara sukarela para pemiliknya memberikan barang dagangan kepada siapa pun tanpa harus dibayar. Tidak ada percekcokan apalagi pertengkaran. Semua tertawa bahagia. Perkataan yang sering diucapkan saat mereka bertemu adalah, " Teman, semangatttt!" Mereka mengucapkannya sambil mengepalkan tangan. Tidak ada kata tunggu dulu atau nanti saja, semua pekerjaan dilakukan pada hari itu juga dan diselesaikan pada saat yang sama. Orang yang terlihat murung dan bermalas-malasan dipaksa memakan kue buatanku, atau warga kampung akan membopong si pemalas, kemudian dengan suasana bahagia mereka melempar-lempar tubuh si pemalas ke atas sebelum menyumpal mulut si pemalas dengan kue. Kemudian mereka berteriak, " Horaiiiiiii.. selamat datang di dunia para pemilik kebahagiaan sejati!" Satu persatu mereka memeluk pendatang baru sambil menepuk-nepuk bahunya.
Tiga aparat kepolisian mendatangi rumahku. Awalnya berwajah ketus. Aku akan diinterogasi, mungkin. Wajah mereka itu, bahkan mendekati sinis. Tiga kue aku hidangkan. Tanpa berpikir panjang, mereka mengambil dan memakannya.
" Mantap!" Kata seorang polisi sambil mengacungkan jempol. Dua menit setelah makan kue.
" Hebat!" Kata seorang lagi, dia memutar-mutar pistolnya seperti di film-film koboy.
Satu persatu para petugas itu menceritakan pengalaman kerjanya. Tertawa riang tanpa basa-basi. Setelah seorang polisi menyelesaikan cerita, disusul oleh gelak tawa yang lainnya.
" Bro, kami pamit dulu, okay!" Kata mereka kepadaku.
Aku balas dengan senyum hangat.
" Adios, bro!"
" Adios!"
Setahun kemudian bahan baku yang biasa aku gunakan untuk membuat kue sudah hampir habis. Mula-mula hanya beberapa orang yang tidak kebagian, sikap mereka kembali menjadi pemurung, tenaga mereka melemah. Saat tubuh mereka dilempar-lempar ke atas oleh orang-orang yang masih mengonsumsi kue terlihat ketus, cenderung masa bodoh. Hari-hari berikutnya, setengah warga kampung tidak mendapat jatah kue. Sifat mereka kembali menunjukkan manusia biasa. Pedagang tidak lagi menggratiskan dagangannya. Orang-orang mulai membuang sampah sembarangan. Setengah kampungku mulai terlihat kusam. Diledek dengan gelak tawa oleh sebagian warga kampung yang masih mengonsumsi kue.
" Semangat, brooooo!" Kata orang yang masih mengonsumsi kue.
" Hhh!" Hanya dijawab ketus oleh mereka yang tidak lagi mengonsuminya.
Berikutnya, semua orang tidak lagi mendapat jatah kue dariku. Hanya aku yang mengonsumsinya. Dengan penuh semangat aku secara terus-menerus mengingatkan mereka agar tetap memperlihatkan semangat hidup meskipun tanpa harus memakan kue. Aku yang selalu bahagia berusaha menghibur warga kampung. Aku berusaha sekuat tenaga melempar-lempar tubuh mereka ke atas dengan cara mendekapnya dari belakang. Merela belingsatan, berlari setiap aku datang dan berusaha meneriakkan semangat hidup.
" Gila!" Teriak mereka.
Suatu pagi, aku bergegas menuju mesjid. Langkahku terlalu cepat jika dibandingkan dengan cara manusia berjalan. Tanpa sungkan aku mengambil microphone mesjid. Kemudian ku katakan dengan cukup keras. " Teman-teman, warga kampung, hidup kalian jangan dipenuhi oleh kekalutan, ayooo semangattttt!" Di pagi buta itu, halaman mesjid disesaki oleh warga. DKM Mesjid memapahku, wajahnya lesu, sama sekali tidak memiliki semangat hidup.
" Sudahlah, Nak.. jangan bertingkah semakin gila!" Bisik DKM masjid.
" Kasihan, dia telah stress…" Bisik orang-orang.
Namun dengan tidak menggubris ocehan mereka aku tetap berteriak, " Kalian harus tetap memiliki semangat, dengan atau tanpa memakan kue itu!" Tubuhku dipegang kuat oleh warga kampung. Anak-anak dengan tatapan nyinyir menyeringai. "Orang gila.. orang gila..!" Kata mereka. Aku digiring oleh warga kampung, dibawa ke rumahku. " Hahaha…" Aku tertawa dan baru sadar, ternyata hanya celana dalam yang aku pakai sebagai penutup tubuh. Aku semi telanjang. Tetapi, tetap saja aku sangat berbahagia, dikatakan gila atau macam apa pun aku tetap tersenyum dan tertawa. Di depan rumah, kedua orangtuaku terlihat lesu dan mengiba.
" Ibu, Bapak… jangan bersedih, besok atau lusa, kalian akan aku berikan lagi kue itu…!" Kataku saat warga setelah melemparkan tubuhku ke hadapan kedua orangtuaku. Kemudian mereka meninggalkan tempat ini satu persatu.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Cerpen:Kue"