Rahwana, Opisisi Baik dan Jahat dalam Pikiran Manusia


Rahwana, sumber gambar: medium

Dalam sebuah permainan tidak ada individu atau kelompok yang baik dan jahat, semua tampil sebagai pemain. Dalam pentas kehidupan, kita bukan seorang wasit yang dapat menghakimi siapapun, kita adalah para pemain dalam kehidupan ini.

Kenapa rata-rata orang Indonesia menggemari aplikasi penyunting wajah? Selain alasan keindahan sebagai konsep abstrak, alam bawah sadar kita memang telah banyak menyimpan berkas-berkas yang diinfiltrasikan melalui persepsi baik dan bagus dalam memandang ras Arya, manusia berkulit putih, bertubuh tinggi, dan berwajah cantik serta tampan. Bukan hanya make-up pemoles wajah yang laris manis di pusat-pusat perbelanjaan, di era digital, beragam aplikasi penyulap wajah juga mengalami peningkatan unduhan.

Kita tidak perlu lagi merias wajah terlebih dahulu sebelum dipotret, tinggal klik, sunting, perhalus gambar wajah, bila kurang putih beri sedikit efek cahaya, unggah ke berbagai platform media sosial, selesai. Tampillah sosok baru, diri kita yang begitu berbeda hampir 75 persen dengan sosok di dunia nyata. Majalah-majalah kelas dunia pun memperlakukan model sampul depannya seperti apa yang biasa kita kerjakan, jadi jangan merasa bersalah.

Berkas-berkah di dalam alam bawah sadar itu telah sekian puluh tahun tertanam di dalam diri kita. Kenisbian “sarira” lapisan tubuh manusia paling luar, kulit, dan daging yang mudah terurai itu telah diabsolutkan harus berwarna putih bersih, kenyal, dan kencang. Kulit kusam apalagi hitam dicerca habis-habisan dalam berbagai iklan produk kosmetik. Pada akhirnya, dalam memandang -seolah lapisan luar tubuh manusia merupakan hal absolut- telah melupakan kita bahwa tubuh manusia memiliki lapisan lain, hingga tujuh lapisan.

Saat kita diberi pilihan, Rama atau Rahwana sebagai tokoh atau sosok baik dan jahat, alam bawah sadar yang telah terkontaminasi berkas Aryaisme sudah tentu memilih Rama sebagai sosok baik dan Rahwana sebagai sosok jahat karena buruk rupa. Kita sering terjebak dalam dualitas pikiran, memberi penilaian baik dan buruk hanya melalui bentuk ragawi. Kita jarang menihilkan atau memosisikan diri sebagai mahluk netral tanpa memberikan penilaian apapun kepada orang lain.

Rama dipandang baik karena begitu setia kepada Shinta, dia mati-matian menyelamatkan istrinya dari raksasa jahat bernama Rahwana yang telah menculik Shinta. Itu sudah dapat menjadi alasan siapa sosok baik dan jahat, begitu pikiran sederhana kita menyimpulkan fenomena tersebut. Benarkah Rama merupakan sosok ideal yang selalu kita pandang sangat pantas dijadikan panutan? Benarkah Rahwana telah menculik Shinta atas alasan kecantikan dan akan memperistri wanita yang telah bersuami?

Rama dan Rahwana merupakan dua sosok dengan dua latar belakang dari peradaban yang berbeda. Rama dilahirkan dari ras Arya yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal, dominasi laki-laki begitu kuat dalam kehidupan. Sedangkan Rahwana berasal dari ras Dakhsa atau Yaksha, orang Alengka yang memiliki sistem kekerabatan matreilineal, dominasi laki-laki dihempaskan demi menghormati perempuan.

Kekerabatan yang Berbeda

Dalam buku Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto disebutkan Rama merupakan penganut patrilineal, dia menganggap bahwa kaum laki-laki berkedudukan lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan. Saat orang-orang Ayodya berdesas-desus tentang kedekatan Shinta setelah diculik Rahwana, Rama memperlakukan sewenang-wenang istrinya. Untuk membuktian kesucian istrinya dari sentuhan Rahwana, Shinta dipaksa menjatuhkan diri ke dalam api.

Rama juga mengatakan bahwa tindakannya menyelamatkan Shinta hanya untuk melakukan darmanya sebagai wangsa ksatria. Rama bahkan mengusir istrinya saat Shinta sedang hamil tua karena ia tidak tahan dengan omongan rakyat yang menganggap bahwa Shinta mengandung anak Rahwana . Sedangkan wangsa Raksasha, yang di dalamnya termasuk juga Rahwana menganut sistem matrilineal yang meninggikan dan menghormati perempuan. Terbukti saat Rahwana menculik Shinta, ia sangat menghormati Shinta dengan cara memperlakukan Shinta dengan baik.

Rahwana tidak pernah sekalipun menodai Shinta , ia memberikan makanan enak dan semua dayang diperintahkan untuk menuruti Shinta. Oleh karena itu, Rahwana sangat marah ketika adik perempuannya dilukai dan dipermalukan oleh Rama dan Laksmana. Kemarahan Rahwana itulah yang menyebabkan ia menculik Shinta .

Bahkan sistem kekerabatan yang berbeda tersebut menimbulkan pertengkaran karena suku bangsa raksasha merasa tidak dihargai atas perlakuan Rama dan Laksmana terhadap Surpanakha, adik Rahwana.

Laksmana yang memiliki pandangan sama dengan Rama terheran-heran melihat perilaku Surpanakha yang dianggapnya tidak wajar. Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mengungkapkan perasaan cintanya begitu terbuka kepada laki-laki. Merasa dipermainkan, Surpanakha sangat marah. Selama hidup belum pernah ia menyaksikan ada perempuan dihina sedemikian rupa oleh laki-laki.

Surpanakha merasa bahwa perempuan dibangsanya selalu dihargai, dihormati dan diagungkan, oleh sebeb itu iapun bisa menjadi seorang raja. Perbedaan itulah yang membuat Surpanakha berani mengutarakan cintanya, tetapi hal itu menimbulkan kemarahan pada Laksmana.

Peradaban Rahwana Lebih Maju dari Rama

Perbedaan peradaban juga terjadi antara suku bangsa Arya dan suku bangsa Daksha. Asal usul suku bangsa Arya merupakan suku bangsa pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Peradabannya pun rendah karena mereka tidak memiliki tempat tinggal yang layak, sehingga mereka hidup berdampingan dengan hewan-hewan yang dianggap kotor dan menjijikkan.

Suku bangsa Arya juga buta huruf, sehingga tidak memiliki budaya baca tulis. Mereka memiliki kebiasaan untuk menjarah apa saja yang dilaluinya tanpa perasaan bersalah dan tanpa takut dengan dosa. Mereka awalnya tidak memiliki sesembahan, hingga pada akhirnya indra yang sakti dan menaklukkan berbagai wilayah itulah yang mereka sembah.

Sebagaimana ciri-ciri bangsa-bangsa pengembara yang berperadaban rendah, puak-puak wangsa keturunan Mannu dan wangsa keturunan dewa-dewa yang menyebut diri Arya itu pada dasarnya adalah kawanan suku-suku pengembara biadab yang hidup bersama hewan-hewan ternaknya: kuda, lembu, domba, keledai, ayam, kutu, dan lalat.

Mereka adalah bangsa buta huruf berperadaban rendah. Mereka tidak memiliki budaya baca dan tulis. Hidup mereka diliputi takhayul yang dicipta oleh dukun-dukun shaman. Mereka tidak mengenal ilmu pengetahuan, arsitektur, pemerintahan, hukum, apalagi filsafat.

Suku bangsa Daksha yang memiliki ilmu pengetahuan dan mendalami kitab serta ajaran Siva dengan baik. Harta benda sangat pelimpah karena mereka telah mengenal sistem pertanian, arsitektur serta telah mengenal budaya baca tulis. Perbedaan peradaban itulah yang akhirnya membuat suku bangsa Arya berhasrat untuk menempati wilayah benua Jambhudvipa.

Setelah kemenangan bangsa Arya atas wangsa-wangsa keturunan Daksha di Jambhudvipa, mereka justru terperangah kagum dengan ketinggian peradaban bangsa yang mereka kalahkan.

Tanpa sadar dalam ketakjuban luar biasa, mereka berkeinginan meniru-niru kehidupan bangsa yang yang mereka taklukan. Mereka tertegun-tegun menyaksikan kemegahan dan keindahan bangunan yang sebelumnya belum pernah mereka saksikan. Mereka tercengang-cengang menyaksikan gedung-gedung pustaka yang menyimpan kepustakaan bangsa beradab.

Meskipun telah ditulis, karena kita memang merupakan keturunan Mannusa, akan tetap memandang Rahwana sebagai sosok jahat dan keji, Si Buruk Rupa penculik Shinta. Begitulah pikiran kita yang selalu mengabsolutkan kenisbian, bukan sebaliknya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Rahwana, Opisisi Baik dan Jahat dalam Pikiran Manusia"