Sunda Wekasan


Tempo

“ Sunda bukan sekadar penampilan fisik (raga badag dan tagog) saja, namun harus utuh bersama spiritualitasnya” – Salah satu penggalan obrolan penulis dengan Kang Gultom-

Beberapa tahun setelah reformasi, tidak dimungkiri, setelah selama tiga dekade kebudayaan daerah difusikan dalam bingkai budaya nasional versi Orde Baru, mulai bermunculan kembali gerakan dari bawah untuk memunculkan budaya daerah yang diklaim sebagai warisan murni dari leluhur. Bermunculan kembali budaya-budaya yang sebelumnya –seperti dibekukan ke dalam satu lemari bernama budaya nasional- dapat dikatakan merupakan angin segar.

Dengannya, budaya-budaya daerah dan kearifan lokal mulai dikenal kembali. Rata-rata anak-anak Indonesia di daerah, sebelumnya hanya mengetahui keragaman budaya di setiap daerah tanpa mengenal bentuk atau wujud asli kebudayaan lokal tersebut. Tidak sekadar unsur kebudayaan seni saja yang bermunculan di awal reformasi ini, unsur lainnya seperti sistem religi atau keyakinan lokal juga ikut mewarnai wacana kebudayaan.

Mayoritas orang Sunda tidak mengenal keyakinan “Sunda Wiwitan” karena sebutan ini tidak pernah muncul dalam topik perbincangan para penutur Sunda. Hanya samar-samar saja di beberapa daerah Jawa Barat dibahasakan istilah Jati Sunda, dan ini berlangsung di kelompok tertentu. Daerah-daerah pemilik keyakinan Sunda Wiwitan yang mengamalkan ajarannya secara telaten menghibahkan kebiasaan dan tata cara hidup yang selaras dengan ajaran leluhur atau karuhun dalam praktik kehidupan.

Harus diakui, sebagian dari kebiasaan yang diklaim warisan leluhur ini sebetulnya tidak lepas dari proses percampuran dengan kebudayaan lain, mulai dari asimilasi, adaptasi, hingga infiltrasi. Artinya, di daerah dan di pelosok mana pun, kebudayaan merupakan suatu piranti kehidupan yang terus berkembang dan tidak dapat ajeg secara mandiri meskipun diklaim habis-habisan sebagai budaya asli suatu daerah.

Keyakinan-keyakinan di Nusantara yang dicoba dikategorikan menjadi suatu agama tetap saja menghadapi jalan terjal agar mendapatkan pengakuaan secara nasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, terutama ketidaklengkapan keyakinan lokal untuk memenuhi syarat suatu ajaran dimasukkan ke dalam agama secara administratif yaitu memiliki kitab suci.

Tidak hanya terjadi di Indonesia, di setiap negara, ketika ada keinginan mengadministrasikan keyakinan lokal agar menjadi agama resmi suatu negara sering menghadapi kesulitan karena tidak mampu menyodorkan alasan kuat tentang keberadaan kitab suci bagi keyakinan lokal. Untuk memenuhi syarat tersebut, para penganut keyakinan lokal berusaha mencari-cari, mengkodifikasi, dan mereka-reka ulang petuah dan pitutur para leluhur untuk dijadikan kitab suci. Sebuah tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh para leluhur atau karuhun.

Bukan hanya kita suci saja, sebanding dengan legalitas administratif sebuah paguyuban, setiap keyakinan dan agama tentu memiliki pendiri, nabi, orang suci, dan rasul. Agar “Sunda Wiwitan” dapat diklasifikasikan sebagai agama resmi, pertanyaan krusial siapakah pendiri atau pembawa ajaran Sunda Wiwitan harus terjawab berdasrkan fakta sejarah. Persoalan pelik ini tentu saja dihadapi bukan hanya oleh penganut Sunda Wiwitan, juga oleh para penganut keyakinan lokal di setiap daerah. Pada akhirnya penganut keyakinan lokal mengahadapi dilema.

Di saat mereka telah mendapatkan jawaban tentang hal di atas pun tetap saja harus berhadapan dengan keyataan bahwa pengakuan tokoh tertentu sebagai pembawa atau pendiri keyakinan lokal hanya sebatas klaim. Misalnya, ketika para penganut Sunda Wiwitan mengeklaim Mad Rais sebagai pembawa atau pendiri keyakinan Sunda Wiwitan, pengakuan ini telah gugur saat dihadapkan pada kata “Wiwitan” yang berarti permulaan atau awal. Sangat musykil sesuatu yang dikatakan paling awal ,berdasarkan penuturan beberapa pihak keyakinan Sunda Wiwitan ini telah ada sejak semula alam ini tercipta, namun dilahirkan sekitar akhir abad ke-19.

Apakah para leluhur atau karuhun Sunda menciptakan sistem keyakinan agar dilembagakan oleh anak cucunya di masa depan menjadi pertanyaan yang harus dijawab melalui penelitian, bukan sekadar klaim sepihak. Para leluhur Sunda merupakan komunitas verbal di mana proses komunikasi disampaikan melalui penuturan yang mudah dipahami namun tersembunyi dalam silib atau siloka (metafora).

Dalam komunitas tradisi lisan, akan jarang ditemui hasil kebudayaan dalam bentuk buku, kitab, dan simbol. Simbol-simbol yang mengarah kepada kasundaan saja baru mucul beberapa dekade lalu, misalnya harimau untuk Siliwangi. Lantas, kenapa para karuhun Sunda tidak memformulasikan ajaran-ajaran mereka ke dalam kitab , aksara, dan simbol? Hal ini disebabkan oleh sikap visioner para leluhur Sunda, kudu bisa nganjang ka pagéto, harus bisa berkunjung ke masa depan. Para leluhur tidak menginginkan ajaran-ajaran mereka bersifat autotektual. Mereka tidak mengharapkan keturuannya berjibaku pada dalil-dalil tekstual, memperdebatkan ayat, dan saling tikam hanya demi saling klaim kebenaran.

Karuhun Sunda tidak pernah memiliki keyakinan kebenaran tunggal, untuk mendapatkan kebenaran dan pencerahan dapat ditempuh melalui beragam jalan dan cara, benar menurut kita belum tentu dipandang benar oleh pihak lain, itulah konsep kebenaran yang sering diwasiatkan oleh leluhur Sunda. Dalil-dalil verbal para leluhur Sunda bersifat fleksibel, dan ayat-ayat dalam setiap kitab suci pun sebetulnya harus demikian, agar satu kalimat dapat dimaknai secara luas dan berlaku umum.

Pentas sejarah di Tatar Pasundan tidak diwarnai oleh pertikaian dan perang atas nama agama dan Tuhan. Agama-agama lain masuk dan menyebar di wilayah ini tidak pernah mengalami gangguan dari para karuhun Sunda. Leluhur Sunda hanya mengamanatkan kepada anak cucunya tentang keharusan menjaga dan melestarikan budayanya sendiri, seperti termaktub dalam Amanat Galunggung: leuwih alus kulit lasun tibatan jalma anu ngapilainkeun kana budayana: lebih baik kulit musang daripada orang yang tidak memerdulikan budayanya sendiri.

Tidak heran, dengan sikap akomodatif inilah setiap agama dan keyakinan memiliki hak yang sama dapat menyebar di Bumi Pasundan. Pada masa formatif agama Islam di Bumi Pasundan terjadi asimilasi dan percampuran darah antara para penganut ajaran buhun dengan orang Muslim tampa percekcokan. Sikap ini tertuang dalam pribahasa atau paribasa: pindah cai pindah tampian, manusia dituntut pandai beradaptasi dengan lingkungan di mana mereka hidup. Substasi ajaran Sunda dengan Islam tidak memiliki persinggungan secara diametral termasuk dalam persoalan teologis atau ketuhanan, hal ini menjadi alasan Islam begitu mudah diterima di Tatar Sunda.

Tidak berbeda dengan proses penyebaran Islam di Mekkah oleh Rasulullah SAW, jalan tengah dalam bentuk akomodasi terhadap tradisi leluhur Mekah benar-benar dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dalam beragam hal yang kemudian dikenal sebagai syariat. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah selayaknya mengakomodir tradisi-tradisi yang telah berkembang di suatu tempat tanpa harus mengintervensi dan menghakimi tradisi dengan sebutan sesat, bidah, khurafat, atau tidak sesuai dengan Islam. Jika tradisi-tradisi yang telah berkembang di suatu daerah kemudian dibenturkan dengan Islam hanya dengan alasan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka akan menimbulkan ambivalensi tentang keuniversalan (kekaffahan) Islam itu sendiri. Kesempurnaan satu ajaran dikatakan benar ketika mampu mengakui hal-hal detail dalam hidup.

Pada akhirnya, rata-rata penganut setiap agama dan keyakinan terjebak pada pikiran yang salah tentang kesempurnaan agamanya masing-masing. Sikap seperti ini menular juga kepada para penganut keyakinan lokal di Nusantara akhir-akhir ini. Penganut agama lain misalnya (Islam, Kristen, dll) dijuluki sebagai penganut agama-agama impor. Pernak-pernik yang ada di dalam agama juga pada akhirnya disebut sebagai kebudayaan luar yang tidak sejalan dengan tradisi leluhur. Klaim-klaim seperti inilah yang telah melahirkan fanatisme, primordialisme, dan rasa saling curiga dalam kehidupan. Hanya karena seseorang menggunakan hijab kemudian diberi label meninggalkan budaya sendiri karena perempuan Sunda sudah sepantasnya berkebaya. Di lain pihak, hanya karena seseorang membakar kemenyan (ngukus) disebut penganut ajaran sesat dan musyrik. Pada akhirnya setiap penganut keyakinan telah memosisikan diri mereka sebagai Tuhan dan hakim yang semena-mena memfatwakan pihak lain salah. Padahal, peran kita di dunia ini hanya sebagai pemaian bukan wasit dalam kehidupan.

Kehidupan merupakan ladang perubahan dan dinamika belum berujung. Awal dan akhir terus berlangsung. Orang Sunda kontemporer merupakan komunitas regional Sunda Wekasan (Sunda Terkini), meskipun secara bahasa kata wekasan berarti “yang akhir”, walakin secara faktual tidak pernah ada kata akhir dalam fase kehidupan ini. Sunda Wekasan merupakan kumpulan orang-orang Sunda dalam satu milieu yang diikat dalam beragam keyakinan, pandangan hidup, jalan hidup, dan budaya tradisi. Bukan merupakan sebuah kesalahan ketika orang Sunda beragama Islam berkeinginan memadukan tradisi Sunda dengan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan, berbanding lurus dengan tidak salah orang-orang Sunda berkeinginan mengamalkan ajaran para leluhur mereka di rumahnya sendiri.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sunda Wekasan"