Mana yang Lebih Baik, Tertutup atau Terbuka?


Ilustrasi Pemilu Serentak: ANTARA

Mahkamah Konstitusi sedang melakukan uji materi terkait sistem pemilihan umum serentak tahun 2024. Sebagian besar masyarakat, sebenarnya, tidak terlalu memerdulikan apakah sistem Pemilu serentak nanti proporsional daftar tertutup atau sebaliknya? Harapan masyarakat tentu saja dalam hal ini rakyat, pesta demokrasi mendatang benar-benar akan melahirkan wakil rakyat berkualitas dan mewakili aspirasi rakyat melalui regulasi-regulasi yang pro-rakyat. Bahkan, bisa saja, mayoritas dari sebagian besar rakyat yang saya sebut tadi, bersikap apatis, yang penting nanti mencoblos, pesta, dan kecipratan rezeki para calon legislatif.

Respon rakyat sudah tentu berbeda dengan partai politik dan orang-orang yang merasa mewakili rakyat atau para legislator dan eksekutif. Sistem pemilihan umum bagi partai politik seolah-olah benar-benar harus dikaji dampak baik dan buruknya. Tentu saja, atas dasar kepentingan mereka. Meskipun kedua sistem ini pernah dipraktikkan di Indonesia, walakin partai politik menghadapi situasi berbeda dari satu Pemilu ke Pemilu lainnya.

Misalnya, sistem proporsional tertutup pada Pemilu tahun 1999 dipandang merugikan partai-partai yang baru saja mengikuti kontestasi politik lima tahunan. Tak ayal, pada Pemilu lima tahun berikutnya mereka tidak dapat lagi mengikuti pesta demokrasi karena tidak memiliki anggota legislatif sebagai entitas penting dari eksistensi partai politik. Partai-partai besar sangat diuntungkan oleh sistem tertutup karena mereka dapat leluasa menghidupkan mesin partai dengan bahan bakar yang disiapkan oleh para calon legislatifnya. Partai politik juga tidak takut kehilangan kader terbaik mereka yang akan ditentukan sebagai anggota legislatif dalam penyelenggaraan Pemilu.

Menengok kembali sejarah pesta demokrasi Indonesia, sistem tertutup telah mengakar dalam dunia perpolitikan Indonesia. Orde Lama dan Orde Baru menggunakan sistem ini. Pengamat politik kontemporer era reformasi sering memandang sistem tertutup dalam Pemilu hanya menghasilkan ketertiban dan keharmonisan semu saja. Praktik money politic memang tak kasat mata, namun praktik-praktik culas justru terjadi di dalam internal partai politik. Pesta demokrasi dalam sistem tertutup hanya dinikmati oleh orang-orang yang berada di dalam partai politik, pemilih hanya diposisikan sebagai titian tangga untuk memuluskan perjalanan para caleg sampai di kursi gading gilang kencana. Rakyat hanya berpesta di saat masa kampanye, kebagian kaos tipis, menyaksikan organ tunggal dan dangdutan, kemudian pawai dan konvoi memadati jalanan.

Sisi baiknya, sistem tertutup dapat meminimalisasi polarisasi atau pengutuban sosial. Dalam beberapa Pemilu selama Orde Lama dan Orde Baru, polarisasi sosial melalui politik identitas tidak menggunakan entitas sensitif misalnya agama dan etnis. Orang beragama apapun memiliki hak memilih partai apa saja, menjatuhkan pilihannya pada partai mana pun. Tetapi pemilih dalam Pemilu tertutup selalu terjebak pada situasi seperti membeli kucing dalam karung. Partai politik justru bersaing secara sehat melalui program unggulan yang dapat memikat hati pemilih.

Apalagi Pemilu di era Orde Baru benar-benar menggunakan sistem tertutup serapat-rapatnya. Pemilih sama sekali tidak mengenal siapa sebenarnya yang mereka pilih? Mereka hanya tahu memilih partai saja, secarik surat suara bergambar bintang, pohon beringin, dan kepala banteng. Meskipun telah disebutkan, sistem tertutup selalu dekat dengan ungkapan “bagai membeli kucing dalam karung”, walakin hal ini sebetulnya tidak tepat. Bagaimana pun, pemilih mempunyai hak untuk mengalihkan pilihannya pada partai politik lain jika partai yang sebelumnya mereka usung tidak mereka sukai lagi.

Pemilu di era reformasi pada tahun 1999 diharapkan menjadi Pemilu paling bersih, jujur, dan adil pada saat itu. Tidak terlalu tertutup mengingat kelompok sosial masyarakat dapat mendaftarkan diri sebagai partai peserta Pemilu hingga disahkan sebanyak 48 partai politik berhak mengikuti Pemilu dengan berbagai platform ideologi dan azas yang digunakannya. Panitia pemilihan umum pun dibentuk atas inisiatif partai politik, para anggota PPD (Panitia Penitipan Daerah) berasal dari orang-orang parpol atau mereka yang menerima mandat dari partai politik untuk menjadi anggota panitia pemilihan.

Setiap partai politik menganggap, dengan sistem ini, Pemilu akan lebih jujur karena diawasi langsung oleh peserta Pemilu. Memang janggal, sebagai peserta sekaligus bertindak menjadi penyelenggara dan wasit. Ini terjadi, mengingat Pemilu 1999 dilakukan di masa transisi ketika kondisi negara benar-benar masih terjerat dalam krisis multidimensi.

Lima tahun berikutnya, Pemilu telah menggunakan sistem proporsional daftar terbuka (masih setengah-setengah karena meskipun nama caleg ditampilkan dalam surat suara tetapi untuk peraih kursi masih ditentukan oleh nomor urut calon). Peserta Pemilu yang sebelumnya membludak hingga surat suara juga harus dicetak berukuran sebesar kertas koran, pada tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik peserta Pemilu. Perhelatan pesta demokrasi meskipun menggunakan sistem proporsional tertutup, namun setiap partai politik membuka pintu lebar-lebar kepada siapapun untuk menjadi calon legislatif bagi partainya.

Nama-nama dari mulai yang saya kenal dan tidak saya kenal terpampang dalam dokumen daftar calon legislatif. Penyematan nama-nama caleg pada daftar calon tetap dan surat suara ini dilakukan agar Pemilu 2004 tidak sekadar membeli kucing dalam karung. Pemilih harus tahu luar dan dalam calon yang akan dipilihnya. Bagi partai politik, menempatkan orang-orang sebagai calon legislatif tersebut sebagai strategi dalam mendulang suara. Padahal para calon legislatif yang menempati nomor urut 3,4,5, dan seterusnya sudah tahu betul, tidak akan menjadi calon terpilih meskipun meraih suara terbanyak dari calon pada nomor urut 1 dan 2.

Sistem proporsional diberlakukan ketika di satu wilayah atau daerah pemilihan memiliki kursi legislatif lebih dari satu. Maka setiap partai politik berhak menempatkan calon-calonnya semaksimal mungkin sejumlah jumlah kursi di satu daerah pemilihan. Memang mustahil dalam satu daerah pemilihan, seluruh kursi dapat direbut oleh satu partai politik saja. Maka dalam Pemilu 2004 yang menggunakan sistem proporsional daftar setengah terbuka ini, kursi-kursi di DPRD Kota Sukabumi (saya ambil contoh) diisi oleh kader-kader terbaik partai politik. Kehadiran kader-kader terbaik ini berimbas pada dua hal; pertama, kualitas regulasi dan peraturan yang diterbitkan lebih baik dan teruji. Kedua, fungsi-fungsi anggota wakil rakyat berjalan sebagaimana mestinya, mulai dari legislasi, anggaran, pengawasan, dan interpelasi hingga fungsi-fungsi ini berjalan maksimal.

Sistem proporsional daftar terbuka baru terlihat pada penyelenggaraan Pemilu 2009. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai politik. Walakin, setiap daerah tidak serta-merta menempatkan ke-38 partai politik tersebut untuk meraih kursi DPRD mengingat ada sejumlah partai lokal yang khusus untuk D.I Aceh dan tidak semua partai memiliki perwakilan di daerah. Teknik pencoblosan diganti oleh pemberian tanda centang (ceklis) pada surat suara menjadi hal paling baru dalam sejarah Pemilu. Tetap saja, terma pencoblosan disebutkan oleh siapapun terhadap Pemilu 2009. KPU melakukan sosialisasi lebih gencar agar pemilih benar-benar mengerti bagaimana tata cara pemberian tanda centang pada surat suara.

Kemungkinan perolehan suara tidak sah akan mengalami peningkatan dalam Pemilu 2009 sama sekali tidak terbukti. Meskipun peraturan yang dibuat terkait tata cara pemberian suara seperti terlihat baku dan tidak bisa diganggu gugat, edaran-edaran dari penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU terus mengalir untuk memberikan ruang toleransi agar suara yang diberikan oleh pemilih saat mencentang surat suara tidak sia-sia. Misalnya, seorang pemilih karena terbiasa mencoblos pada surat suara karena belum tersentuh oleh sosialisasi dari KPU, Panwaslu, PPK dan PPS dapat saja menggunakan bolpoin khusus sebagai alat coblos.

Pemberian suara seperti ini dianggap sah, asal tidak mencoblos lebih dari satu partai, menambahkan tulisan pada surat suara, apalagi mencoretnya. Di beberapa TPS memang ditemui kasus-kasus unik, seperti: pemilih menulis kalimat: Ok!, Hebat!, Partai Pilihanku! Mereka mungkin mengira bolpoin khusus memang disediakan untuk menulis sesuatu pada surat suara. Ya jelas, jenis pilihan seperti ini dinyatakan tidak sah.

Dalam sistem proporsional daftar terbuka mulai mencuat isu politik uang. sistem ini memungkinkan para calon dengan latar belakang bukan dari partai politik dapat menjadi calon legislatif, entah karena populeritasnya atau memiliki daya dukung finansial yang dapat menggerakkan mesin partai. Politik uang juga terjadi karena dalam sistem proporsional daftar terbuka memungkinkan para calon yang berada di nomor urut rendah bisa terpilih jika mendulang perolehan suara terbanyak. Dalam hal ini, partai politik dapat saja kehilangan kader terbaiknya karena tidak mendapatkan dukungan – baik dari- ketua partai atau tidak memperoleh suara karena kalah oleh calon satu partai yang lebih banyak melakukan “saweran” di masa kampanye.

intensitas kinerja panitia pengawas pemilu (Panwaslu) di daerah semakin tinggi, pelanggaran administrasi dilakukan oleh para calon legislative. Para calon legislatif dapat bekerja dari mulai masa kampanye hingga membentuk tim pemenangan pribadi tanpa restu partai politik. Padahal partai politik sendiri mendirikan badan pemenangan pemilu, namun para calon berasumsi, Bappilu hanya bertugas mendulang suara bagi partai sementara calon legislatif memiliki dua tugas pokok, mendulang suara bagi dirinya sekaligus menjadi suara bagi partainya. Partai politik juga tidak merasa keberatan ketika para calon legislatif yang bukan kader terbaik menjadi anggota legislatif terpilih, pada dasarnya ketika mereka terpilih toh pada akhirnya tetap akan mengabdikan diri pada partainya. Bahkan dapat saja menjadi kader terbaik. Situasi ini membuka peluang bagi kader suatu partai untuk berpindah ke partai lainnya, tanpa memperhatikan latar belakangnya.

Penyelenggaraan Pemilu terus dievaluasi, regulasi-regulasi tentangnya terus dimutakhirkan, penambahan dan pengurangan ayat dan pasal menjadi hal biasa bertujuan mencari format terbaik dalam Pemilu. Sebenarnya, sistem pemilu seperti apapun tidak harus dinilai baik atau buruknya, karena ranah ini berada di wilayah kecocokan suatu sistem dengan kondisi suara negara. Sistem tertutup masih dipraktikkan di banyak negara Eropa, namun tidak menjadikan Eropa terjebak pada praktik-praktik “menjual kucing dalam karung”. Jadi, sistem yang diberlakukan dalam Pemilu harus diterapkan berdasarkan tepat atau tidaknya bagi suatu negara.

Pemilu 2014 menjadi salah satu pesta demokrasi paling dramatis dalam hal penentuan peserta Pemilu. Jumlah partai politik terdaftar sebanyak 46 partai, setelah dilakukan verifikasi administrasi dan faktual, hanya 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal yang berhak menjadi peserta Pemilu. Sebelum ditetapkan, ada proses panjang perubahan jumlah partai politik peserta pemilu, sebanding dengan sejumlah peraturan dan regulasi yang dimutakhirkan, diganti karena tidak relevan dengan perkembangan yang terjadi. Perppu juga harus dikeluarkan terutama dalam hal peralihan kembali tata cara pemilihan suara dari pemberian tanda centang ke pencoblosan.

Wujud paling mengerikan dan begitu kentara dalam pemilu ini adalah semakin menguatnya politik identitas karena pemilu ini beririsan dengan pemilihan presiden. Polarisasi sosial telah menempatkan rakyat pada dua kutub atau kubu berbeda, mendingan jika kedua kubu berbeda ini saling memahami terhadap perbedaan pilihan, kedua kutub justru jatuh dalam pertikaian di media sosial yang baru saja populer. Agama, keyakinan, dan etnis dipaksa dan diseret memasuki wilayah profan yang absurd. Rakyat terurai karena dimotori atau diberi contoh oleh para pesohor negeri yang sama-sama terjebak pada praktik politik identitas. Mereka tidak memperdulikan gesekan di kelompok akar rumput, mereka lebih mementingkan bagaimana agar calon yang diusung dan didukung tampil sebagai pemenang. Dampaknya dirasakan selama lima tahun, bahkan sampai pemilu 2019 diselenggarakan pun, polarisasi dan pengutuban sosial semakin kentara dan sulit dihindari.

Pemilu 2019 menjadi salah satu pesta demokrasi paling populer karena diwarnai oleh praktik-praktik tidak terpuji baik dilakukan oleh tim pemenangan, rakyat pemilih, juga oleh elemen lain dari luar. Pileg kalah oleh pamor Pilpres, kerugian besar bagi partai-partai di daerah sekaligus menjadi berkah bagi partai politik ketika di suatu daerah mayoritas pemilih memberikan dukungan pada capres yang didukung oleh suatu partai politik. Partai politik menengah dapat menjadi peraih suara terbanyak karena situasi ini. Isu radikalisme menyusupi salah satu pasangan dibalas dengan isu lainnya bahwa salah satu paslon disusupi hingga didukung oleh kelompok komunis. Identitas pasangan calon dipreteli dan dipermalukan, dibagikan kepada pemilih, selanjutnya konflik dan pertikaian terjadi di akar rumput. Tiba-tiba, bangsa ini terpecah pada dua kubu: cebong dan kampret. Inilah buah dari sistem proporsional daftar terbuka yang tidak relevan lagi diterapkan di suatu negara ketika tingkat kedewasaan berdemokrasi masih harus dibenahi.

seorang teman bertanya kepada saya, sistem tertutup atau terbuka yang tepat dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang? Hal penting yang harus dilakukan oleh partai politik bukan sekadar mengkader dan mengatur strategi bagaimana cara mendulang suara dalam Pemilu nanti. Mereka memiliki tugas besar, mendewasakan kader sendiri, memberikan pendidikan politik kepada rakyat, dan menghindari praktik politik identitas. Partai politik harus menyadari, mereka tidak akan mungkin tampil terus-menerus sebagai pemenang pemilu. Demokrasi memungkinkan setiap partai meraih prestasi tertinggi mereka sebagai pemenang pemilu. Tidak ada kesewenang-wenangan dalam demokrasi, tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian, karena segalanya diatur berdasarkan pembatasan kekuasaan.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Mana yang Lebih Baik, Tertutup atau Terbuka?"