Bakar Kambing Juara Kota Sukabumi
Pertanyaan yang sering dikemukakan oleh para filsuf dan pencari kebijaksanaan mengenai eksistensi keberadaan manusia di muka Bumi ini antara lain: untuk apa manusia menempati atau lebih tepatnya ditempatkan di Planet Bumi ini? Kenapa manusia diklaim bahkan cenderung mengklaim dirinya sebagai makhluk berperadaban dan sebagai penjaga planet ini? Atas alasan apa tingkat kecerdasan manusia terus berkembang hingga membentuk berbagai peradaban dan kebudayaan yang sulit ditandingi oleh spesies lain di Bumi ini? Sebut saja, gurita memiliki Sembilan buah otak dengan tentakel-tentakelnya. Namun kenapa dengan jumlah piranti sebanyak ini kehidupan gurita tetap saja monoton?
Pertanyaan-pertanyaan di atas bukan hanya telah mendapatkan jawaban sejak berabad-abad lalu, walakin hingga saat ini masih terus berkembang berbagai jawaban alternatif sejalan dengan perkembangan kesadaran dan kecerdasan manusia dalam mengurai potensi internal dan eksternal. Kecerdasan manusia secara nativis memang telah menjadi kodrat manusia sejak kelahirannya.
Pada perkembangan selanjutnya, justru hanya manusia lah yang secara simultan kerap membicarakan dirinya, menyoal eksistensinya, dan mengkaji fisik serta psikis dirinya. Situasi ini kemungkinan besar belum pernah terjadi di dunia binatang dan tumbuhan. Dalam perspektif manusia, komunitas kucing tidak akan pernah menyelenggarakan seminar kemudian membahas sejarah leluhur mereka.
Ilustrasi Perkembangan Otak Manusia, Sumber: Harvard
Bukan bernasib sial, manusia telah menjadi sampai seperti sekarang ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ukuran dan sel otak manusia mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu selama ratusan ribu hingga jutaan tahun. Kedua, nalar manusia berkembang sejalan dengan asupan nutrisi makanan yang diserap oleh leluhur manusia karena kemampuan adaptasi mereka dalam merespon setiap peristiwa alam dan kejadian di luar diri mereka begitu fleksibel. Ketiga, kompleksitas asupan nutrisi ini telah membangun dan menghidupkan hormon-hormon yang mampu menangkap sinyal alam.
Dalam kondisi tertentu, beberapa hormon dapat berpadu kemudian memaksa akal dan pikiran manusia untuk menentukan pilihan, bukan berdasarkan insting melainkan atas pilihan dan rekomendasi berdasarkan pengolahan data yang ada di dalam diri manusia. Bukan hal aneh, manusia lebih pandai berbohong dalam kondisi apapun dibandingkan seekor bunglon yang mampu melakukan mimikri di saat menghadapi ancaman dari luar. Seekor cicak dapat memutus ekornya ketika menghadapi ancaman. Manusia tidak demikian, mereka dapat menghindari, mengelabui, melakukan perlawanan, atau berdiplomasi dengan ancaman.
Ilustrasi Perayaan Pascapanen Zaman Dulu
Di era revolusi pertanian, satu fase kehidupan setelah revolusi kognitif, manusia telah menempatkan dirinya berada di piramida tertinggi rantai makanan. Manusia telah menjadi makhluk omnivora atau pemakan segalanya; hewan dan tumbuhan. Jauh sebelumnya, leluhur manusia kemungkinan besar hanya mengkonsumsi beberapa jenis makanan saja. Leluhur manusia telah mampu memformulasikan jenis hewan dan tumbuhan apa saja yang harus dikonsumsi oleh mereka.
Laboratorium raksasa bernama alam telah menjadi ruang penelitian leluhur manusia hingga menghasilkan kesimpulan: jenis makanan seperti apa yang layak dikonsumsi. Hasil penelitian ini secara otomatis tersimpan di dalam genetika manusia kemudian terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi.
Misalnya, kenapa manusia lebih enak mengonsumsi buah mangga manis daripada pahit atau masam? Leluhur manusia telah melakukan sejumlah pilihan, dalam perjalanan kehidupan leluhur manusia di masa lalu, mereka lebih menikmati buah-buahan yang telah matang kemudian data-data tersebut disalin di dalam genetika manusia.
Sinyal yang dipancarkan oleh alam dapat ditangkap oleh manusia, misalnya setiap tumbuhan membekali diri mereka dengan biji yang sulit dikonsumsi oleh leluhur manusia entah keras atau pahit rasanya. Jika saja leluhur manusia tidak mampu membaca sinyal yang dipancarkan oleh alam ini, kemudian mereka mengonsumsi buah dengan seluruh bijinya, kemungkinan besar tumbuhan yang saat ini masih dikonsumsi oleh manusia sudah sejak dulu mengalami kepunahan.
Era revolusi pertanian adalah satu babak kehidupan leluhur manusia di mana tumbuh kesadaran baru untuk mengkonservasi beberapa tumbuhan seperti padi, gandum, dan palawija. Sebelum penemuan api, leluhur manusia tidak dapat mengonsumsi tumbuhan-tumbuhan tertentu seperti padi dan kacang-kacangan, karena jenis tumbuhan ini dapat dikonsumsi setelah melewati proses kalorisasi.
Pengorbanan Hewan di Masyarakat Tradisional
Mengonsumsi beberapa jenis tumbuhan dengan tanpa melalui proses kalorisasi justru akan mengancam hidup manusia sendiri. Padi bukan makanan pokok leluhur manusia sebelum mereka menemukan api dan mulai memasuki era revolusi pertanian. Sejak era ini, selain mengkonservasi tumbuhan dan binatang, berbagai kuliner era kuno mulai dipraktikkan manusia, mereka mulai membuat ramuan, mencampurkan rempah dan hasil bumi, serta mengonsumsinya dalam skala besar.
Pangan ditempatkan sebagai kebutuhan pokok manusia. Tanpa sumber pangan, spesies manusia akan mengalami kepunahan entah karena kelaparan atau disebabkan oleh situasi rawan pangan yang dapat membawa mereka pada tindakan paling mengerikan: peperangan dan saling bunuh atas desakan isi perut. Kondisi rawan pangan telah membangun babak baru sejarah; masyarakat pertanian sebagai penyedia pangan, mereka merupakan tipikal leluhur pekerja keras, tenang, dan cenderung hidup selaras dengan alam.
Di sisi lain, sejarah manusia juga telah membangun komunitas para pemalas namun rakus dengan sumber pangan, mereka lebih senang mengambil sumber pangan dengan cara mencuri dari para petani, mereka berwatak kasar dan keras yang pada perkembangan berikut mereka mampu membangun kekuasaan tanpa harus bercocok tanam melainkan menggunkan pengaruh kuat mengendalikan komunitas pertanian.
Kehidupan modern juga tidak dapat lepas dari sumber pangan. Manusia mengonsumsi daging sudah sebanding dengan jumlah populasi ternak yang ada. Tanpa upaya konservasi dan domestikasi melalui teknik peternakan, hewan-hewan yang dikonsumsi oleh manusia sudah dipastikan akan mengalami kepunahan. Namun, selain mewariskan cara mengonsumsi daging, leluhur manusia juga memang mewariskan peradaban penting upaya pelestarian sumber makanan berkelanjutan.
Musim Panen Leluhur Manusia, SUmber: Geography
Di masa lalu, mengonsumsi daging biasa dilakukan oleh manusia dalam skala luas secara berkelompok di waktu tertentu. Misalnya dalam perayaan musim panen sebagai ungkapan kebahagiaan mereka atas keberlimpahan sumber pangan. Tradisi ini telah mengilhami beberapa upacara dan ritual keagamaan. Mengonsumsi daging tahunan ini masih dirasakan oleh manusia modern abad ke 20, generasi baby boomers dan generasi x mungkin masih memgalami mengonsumsi daging hanya 3 sampai 5 kali per tahun; Munggahan, Idul Fitri, Idul Adha, hajatan, dan botram kenaikan kelas.
Dua dekade sejak akhir tahun 90-an, manusia modern menjadi lebih akrab dengan penganan dari daging. Konsumsi terhadapnya tidak lagi ditentukan oleh upacara musim panen, walakin dapat dilakukan setiap hari melalui transaksi. Pusat perbelanjaan dan kuliner yang menawarkan menu makanan berdaging dapat dengan mudah ditemui di sepanjang jalan. Soedirman Street Food di Kota Sukabumi didirikan untuk menjawab kebutuhan ini.
Berbagai penganan tersedia di sana. Salah satunya Bakara, kedai penyedia daging kambing asap. Penyajian daging kambing melalui pengasapan akan mengingatkan kita pada tradisi leluhur manusia saat pertama kali melakukan kalorisasi terhadap daging hasil perburuan. Tak dapat dimungkiri, teknik yang dilakukan oleh Bakara dapat dikatakan sebagai warisan leluhur manusia di era revolusi pertanian.
Kemunculan usaha kuliner seperti Bakara berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi manusia dan kebutuhan mereka terhadap sumber makanan. Jika masyarakat tradisional berpegang teguh pada pakem: mengonsumsi penganan harus di rumah berkumpul bersama keluarga inti atau di lingkungan komunitas saja. Namun manusia modern tidak demikian, mereka dapat mengonsumsi penganan di mana saja.
Manusia modern juga memiliki pikiran, mereka mengonsumsi makanan dengan cara membeli tidak sekadar untuk mengisi perut melainkan dapat dijadikan ukuran status sosial. Konsep seperti ini justru diabaikan oleh Bakara yang lebih mengedepankan sikap egaliter, siapa pun dapat menikmati daging kambing asap. Bagi Bakara, daging kambing asap yang disajikan tidak lain sebagai cara penting manusia mentransformasikan energi dari alam ke dalam tubuh manusia. Hanya dengan teknik pengolahan dan penyajian yang tepat energi yang tersimpan melimpah di alam dapat ditransformasikan ke dalam diri manusia. Tak percaya? Silakan kunjungi kedai Bakara di Soedirman Street Food Kota Sukabumi.
Posting Komentar untuk "Bakara: Kuliner Urban Sukabumi Warisan Era Revolusi Pertanian"