09 dan 17 Ramadan



Empat belas abad lalu, di sebuah padang tandus bernama Badar (130 Km dari Madinah) sekumpulan pasukan dengan jumlah sekitar 300 orang lebih sedang bersiap-siap menghadapi serangan pasukan Mekkah yang dipimpin langsung oleh para pembesar Quraisy, salah satunya Amr ibn Hisyam atau Abu Jahal.

Udara panas membakar, debu-debu pasir mengalun mempersempit jarak pandang. Keringat bercucuran, kuda-kuda meringkik keras, pasukan umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah itu sedang menjalani puasa di tahun pertama, namun harus menghadapi pasukan Quraisy dengan aliansi-aliansi dari berbagai suku. Mereka –pasukan aliansi– ini menginginkan komunitas muslim yang baru terbentuk kurang dari satu setengah dekade benar-benar ditelan oleh sejarah.

Perang yang akan berlangsung tersebut dipicu oleh agresi pasukan Mekkah melalui propaganda yang disebar ke seluruh tanah Arab. Mereka berhasil meyakinkan klan-klan di Jazirah Arab untuk bersatu memusnahkan para pengikut Rasulullah yang telah memorakporandakan serta mengolok-olok ajaran leluhur mereka. Propaganda yang dimotori oleh para pembesar Mekkah tersebut dilakukan dengan cara menebar ancaman dan ketakutan untuk melemahkan mental komunitas muslim awal.

Atas saran dari para sahabat –Rasulullah tidak menyebut orang-orang yang mengikuti dakwahnya dengan sebutan pengikut– jauh sebelum pertempuran, Rasulullah telah membentuk kelompok khusus yang bertugas mengepul informasi dari Mekkah. Pasukan khusus ini telah mendapatkan informasi akan ada penyerangan besar-besaran ke Madinah. Informasi mengenai pembentukan aliansi antara pasukan Mekah dengan klan-klan lainnya juga telah diketahui oleh komunitas muslim. Maka, sebelum aliansi besar-besaran ini dapat mencapai Madinah, Rasulullah memutuskan untuk mencegatnya di Badar.

Perjumpaan dua pasukan, antara komunitas muslim awal dengan aliansi Makkah diabadikan dalam salah satu ayat al-Quran, “yaumal taqol jam’aani” peperangan tersebut terjadi di masa awal pelaksanaan ibadah puasa dan sebagai penanda tanggal diturunkannya al-Quran pada 17 Ramadan.

Kisah perjumpaan dua pasukan ini telah mendorong para intelektual muslim untuk menghubungkan antara puasa, Ramadan, dengan bulan perjuangan. Setelah komunitas muslim mampu memukul mundur aliansi Mekkah, Rasulullah justru menyebutkan perang Badar merupakan perang kecil jika dibandingkan dengan memerangi angkara, ambisi, nafsu, syahwat, dan keinginan tanpa batas.

Ramadan sebagai bulan perjuangan karena selama pelaksanaan puasa, umat Islam memerlukan kesungguhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga semata. Umat Islam diharuskan mengendalikan syahwatnya, termasuk di dalamnya birahi untuk menguasai pihak lain, birahi politik, dan birahi memamerkan apa yang ada di dalam diri. Tampak sederhana, namun dalam praktiknya, perjuangan selama puasa memang lebih besar dari pada perjuangan fisik.

Kisah perjuangan Rasulullah dengan para sahabatnya telah menstimulasi para ulama di Nusantara dalam melawan teror imperialisasi Belanda. Perlawan terhadap Belanda justru lebih banyak dikobarkan oleh para kyai, santri, pesantren, dan orang-orang yang memiliki hubungan langsung dengan institusi keagamaan tersebut. Kyai dan santri menyadari, dengan dalih apapun, apalagi mempersilakan Belanda memiliki hak dan properti di Nusantara sama artinya dengan mempersilakan maling memasuki rumah kita.

Hal serupa tidak dilakukan oleh para ménak dan gegedén di Nusantara, mereka lebih banyak mencicipi nektar dan madu manis yang diberikan oleh Belanda atas alasan melakukan kerja sama. Kengerian yang dialami oleh rakyat Hindia Belanda (Indonesia) di setiap wilayah telah ditulis secara gamblang oleh Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, dalam buku Max Havelaar.

Rakyat Hindia Belanda sebelum era kemerdekaan serupa dengan para sahabat nabi saat periode Mekkah yang mengalami intimidasi dan penyiksaan dari sesamanya sendiri. Rakyat Hindia Belanda tidak hanya dicekik rasa lapar karena sumber daya alam (SDA) telah diambil oleh Belanda, dan juga bulir-bulir padi itu harus memenuhi gudang dan tempat penyimpanan pangan para petinggi pribumi yang terperosok dalam perangkat papaés aristokrat palsu. Para petinggi pribumi telah melepaskan astadasa yang telah digariskan oleh para leluhur.

Sejak bangsa asing memasuki Nusantara, Belanda melalui kongsi perdagangannya, V.O.C mengalami kesulitan mendapatkan pengakuan dari penduduk Nusantara yang masih menerapkan sistem sosial Nusantara. Pedagang dan bangsa asing ditempatkan pada kelas sosial ke-enam atau Mleccha oleh orang-orang Nusantara, keberadaan mereka dapat diterima oleh orang-orang Nusantara selama hanya melakukan kegiatan perdagangan.

Imperialisasi dan kolonialisasi modern yang berkembang sejak Revolusi Inggris, sebagai dampak penemuan berbagai ilmu termasuk sistem navigasi menjadi karakter yang tidak pernah lebas dalam diri bangsa Eropa. Ada beberapa alasan, kenapa bangsa Eropa berani melakukan penjelajahan ke daratan-daratan di benua lain. Pertama, sejak dulu wilayah Eropa merupakan lingkungan yang kurang memiliki sumber daya alam, sementara wilayah yang berada di sepanjang ekuator merupakan penghasil rempah, kaya dengan SDA yang tidak akan pernah habis digunakan oleh beberapa generasi ke depan.

Kedua, mentalitas bangsa Eropa telah terpatri di dalam genetiknya sebagai bangsa penjelajah. Sejak era Revolusi Kognitif, mereka lebih senang melakukan penaklukan kendati terhadap sesama anak bangsanya. Kultur pertanian tidak disenangi oleh kelompok begal karena bagi kaum begal untuk mendapatkan sumber pangan lebih mudah dengan cara merampas hasil pertanian daripada bercocok tanam. Watak dan karakter ini terus dipelihara dan dilembagakan dalam institusi aristokrasi Eropa.

Bangsa Eropa Barat memang cukup berhasil mengkooptasi benua lain seperti Afrika, Australia, dan Amerika, namun tidak demikian dengan Nusantara. Sistem sosial di Nusantara tidak serapuh yang dibayangkan oleh orang-orang Eropa. Ketangguhan orang-orang Nusantara sebagai para pelaut ulung di wilayah pesisir dan orang-orang yang memiliki kaweruh di pedalaman menjadi salah satu alasan yang telah menyulitkan bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai wilayah Nusantara.

Terlebih, bangsa-bangsa Eropa sebagai kaum Mleccha tidak mudah memasuki wilayah pedalaman begitu saja. Salah satu strategi V.O.C kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda yaitu melalui pendekatan kebudayaan, penelitian, dan riset. Untuk menguasai Amerika dan Afrika, bangsa Eropa hanya perlu mengandalkan bedil, senapan, dan meriam. Sementara itu, untuk menguasai Nusantara, Belanda memerlukan riset yang valid.

Penguasa dan petinggi pribumi termasuk kelompok yang lebih mudah dihipnotis oleh propaganda Belanda, mudah diiming-imingi oleh popularitas. Melalui kolaborasi antara Belanda dengan para petinggi yang haus popularitas, takut kehilangan jabatan, sistem sosial Nusantara telah berhasil mereka runtuhkan. Belanda menyederhanakan sistem sosial menjadi tiga kelas; Kelas I, II, dan III.

Pesantren dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan lembaga ini tidak pernah mau menerima sistem sosial produk Belanda. Pesantren, kyai dan santri sejak lembaga ini ada lebih relevan dengan sistem sosial warisan leluhur yang telah menertibkan kehidupan masyarakat Nusantara selama ribuan tahun. Sangat lumrah, perlawanan di sebagian besar wilayah Nusantara sebelum abad ke-20 lebih banyak dilakukan oleh kalangan pesantren. Bagi kyai dan santri, perang melawan penjajah merupakan Jihad yang nyata, apalagi terhadap para perompak sumber daya alam negeri.

Sikap pesantren, kyai, dan santri pada akhirnya memberikan pengaruh signifikan terhadap gerakan perlawanan di berbagai wilayah. Sistem yang dibangun oleh Belanda kendati tampak kokoh, seolah-olah sangat modern, termasuk di bidang pendidikan, nyatanya sangat rapuh. Para leluhur Nusantara tentu akan menertawakan anak-cucunya karena lebih menerima secara sukarela sistem pendidikan Belanda yang mendehumanisasikan manusia daripada melanjutkan sistem warisan leluhurnya.

Sistem pendidikan Nusantara telah mampu mencetak manusia-manusia tangguh, mampu menciptakan aksara, membuat perahu-perahu besar, hingga pembuatan barang-barang yang terbuat dari logam. Jauh sebelum Eropa mengalami kemajuan. Setelah mengadopsi sistem pendidikan Belanda, orang-orang pribumi hanya mampu membaca, menulis, dan menghitung saja. Tidak lebih dari itu.

Puncak perjuangan pesantren, kyai, santri, bersama rakyat yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H. Proklamasi ini menjadi pencerah bahwa Ramadan merupakan bulan perjuangan. Hanya dengan kembali kepada sistem sosial yang telah diciptakan oleh para leluhur Nusantara lah, kelak bangsa ini akan kembali mendapatkan masa keemasan. Melakukan kolaborasi dengan bangsa-bangsa di dunia sangat penting selama kedua pihak menjalin hubungan simbiosis mutualisme. Namun, di saat kelompok anak bangsa melakukan kolaborasi dengan bangsa lain dengan menjadi parasit bagi sesama sendiri merupakan perbuatan yang tidak termaafkan.

Posting Komentar untuk "09 dan 17 Ramadan"