Pada tahun 1987, pesta demokrasi lima tahunan kembali digelar. Pemilihan Umum ke-4 di era Orde Baru ditandai dengan pemutaran Mars Pemilu di stasiun radio AM secara rutin: pagi, siang, sore, dan malam. Pemilu ini memperlihatkan penguatan kekuasaan Orde Baru, yang sejak 1982 mengklaim keberhasilan dalam mencapai swasembada pangan.
Seperti sebelumnya, suasana Pemilu membawa semangat berbeda ke perkampungan seperti Balandongan. Meski jauh dari hiruk-pikuk kota, gema Pemilu terasa di setiap sudut kampung, baik melalui kampanye maupun percakapan warga di warung kopi. Balandongan, sebuah kampung kecil yang jauh dari gemerlap kota, memiliki dinamika politik yang unik sejak Pemilu 1955.
Partai Masyumi dan NU menjadi peraih suara mayoritas di Balandongan sejak Pemilu 1955. Hal ini tidak lepas dari pengaruh alim ulama yang selalu mengimbau umat Islam untuk memilih partai sesuai dengan ajaran dan kultur keislaman. Dukungan masyarakat begitu kuat, sehingga partai-partai seperti PNI, apalagi PKI tidak memiliki tempat di hati warga.
Namun, perubahan mulai terasa ketika Pemilu 1971 digelar. Fusi partai-partai Islam melahirkan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang menjadi representasi baru bagi aspirasi politik umat Islam. Meski demikian, Golongan Karya (Golkar) mulai menguasai narasi politik dengan berbagai strategi. Golkar mengadakan pendekatan persuasif, termasuk menggandeng ulama setempat dan bahkan menggunakan halaman mesjid sebagai lokasi kampanye.
Pada tahun 1987, Golkar semakin intensif dalam menggalang dukungan. Kampanye akbar tingkat lokal digelar di halaman Mesjid Jami Al-Istiqomah. Tokoh agama setempat diundang menjadi juru kampanye, sebuah langkah simbolis yang mencerminkan upaya negara hadir di ruang keagamaan. Di sisi lain, pemerintah meluncurkan program Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa) untuk merangkul generasi muda.
Program Karakterdes mengumpulkan remaja di balai desa. Mereka diberi pelatihan wawasan kebangsaan, termasuk pemahaman tentang ancaman ekstremisme kanan (fundamentalisme agama) dan kiri (komunisme). Selain itu, mereka juga mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang mengajarkan pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara.
Namun, di tengah upaya pendekatan ideologis, pemerintah menghadapi tantangan dalam pemerataan pembangunan. Jalan utama di Balandongan hingga Pasir Pogor masih berupa susunan batu, kondisi yang serupa dengan wilayah Pajampangan saat itu. Ketimpangan pembangunan menjadi isu nyata bagi masyarakat perdesaan seperti Balandongan.
Jargon kampanye seperti "Golongan Karya adalah kunci pembangunan" lebih relevan bagi masyarakat urban perkotaan yang sudah benar-benar telah menikmati fasilitas seperti jalan beraspal dan listrik. Sementara itu, warga Balandongan hanya dapat berharap kelak pembangunan akan sampai ke kampung mereka suatu hari nanti dan akan dinikmati hasilnya.
Sebagai seorang anak yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, saya dan teman-teman sebaya menyambut setiap kegiatan besar seperti kampanye dengan antusiasme. Kemeriahan di halaman mesjid jami menghadirkan hiburan langka bagi kami yang terbiasa dengan rutinitas sederhana. Bagi kami, Pemilu bukanlah soal politik, tetapi tentang perayaan dan hiburan saja.
Di sekolah, kami belajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Guru kami mengajarkan nilai-nilai Pancasila dengan penuh semangat, meskipun tanpa pelajaran formal pun, masyarakat Balandongan sudah hidup dengan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan. Siaran radio pagi hari Minggu yang membahas Pancasila menjadi pelengkap semangat nasionalisme di kampung kami.
Meski partai berlambang bintang masih dominan dan meraih suara terbanyak pada Pemilu 1987, Golkar terus mengejar dengan berbagai strategi. Perubahan politik mulai terlihat pada dua pemilu berikutnya, ketika Balandongan menjadi bagian dari wilayah pemekaran Kota Madya Sukabumi. Pembangunan yang lebih merata membawa perubahan atau dinamika baru dalam peta politik lokal.
Seiring waktu, Balandongan mulai merasakan manfaat besar pembangunan oleh Orde Baru. Jalan lingkungan mulai diaspal, listrik sebenarnya telah masuk ke kampung sejak 1986, dan akses informasi sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat menjadi lebih baik. Transformasi ini -pada saatnya nanti- akan mengubah wajah kampung, termasuk cara pandang dan paradigma warganya terhadap politik dan pembangunan.
Kenangan masa kecil tentang Pemilu 1987 tetap melekat dalam diri dan masih saya rasakan nuansanya. Saya ingat betul bagaimana warga kampung bercengkrama, berkumpul di halaman mesjid dan di balai desa, berbicara dan menarasikan dengan penuh semangat tentang masa depan.
Mereka mungkin tidak memahami politik secara mendalam apalagi sampai pada sub terkecil tentangnya misalnya ketiga partai politik itu sebetulnya dikendalikan oleh orang-orang Pak Harto. Orang kampung hanya tahu bahwa setiap suara mereka begitu berarti.
Kampanye di halaman masjid, meski penuh kontroversi, menjadi simbol bagaimana negara mencoba masuk ke ruang privat masyarakat. Hal ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara agama, politik, dan masyarakat di era Orde Baru.
Kini, ketika saya merenungkan masa lalu, saya sadar bahwa pengalaman di Balandongan telah membentuk cara pandang saya tentang demokrasi. Kampung kecil ini menjadi cerminan bagaimana dinamika politik nasional meresap hingga ke pelosok desa.
Balandongan mungkin hanya secuil kisah dalam perjalanan panjang bangsa ini. Namun, bagi saya, ia adalah akar dari segala yang saya pahami tentang kebersamaan, perjuangan, dan harapan. Pemilu 1987 adalah salah satu bab penting dalam sejarah kampung kami, dan mungkin juga dalam perjalanan hidup saya.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 14)"