Dalam pandangan Hannah Arendth, berpolitik merupakan kegiatan manusia yang paling istimewa. Hal ini senada dengan pandangan Aristoteles, manusia sebagai mahluk yang berpolitik, Zoon Politicon. Dalam melakukan aktivitas politik, manusia harus tidak boleh lepas dari dua dasar kodrat kehidupan sebagai manusia. Pertama, Kegiatan berpolitik dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak dan kebebasan agar manusia bisa dibedakan dari binatang. Kedua, kegiatan berpolitik harus disertai dengan sifat fitrah manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Dalam kaidah klasik, manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, Non nobis solum nati sumus, Gambaran Cicero.
Agar tidak lepas dari dua dasar kodrat kehidupan dalam berpolitik tersebut, aksi politik harus diisi dengan upaya: bagaimana cara manusia menghormati sesama, memaksimalkan kebaikan yang berasal dari lubuk hati paling dalam manusia tersebut. Bagi Arendth, aksi politik tidak sekedar mengupayakan bagaimana cara manusia mendapatkan kekuasaan. Sebab, meskipun kekuasaan memiliki daya goda cukup tinggi, ada hal lain yang harus ditampilkan oleh aksi politik manusia, yaitu bagaimana cara terbesar manusia dalam mewujudkan keberhasilan yang dijalankan bukan oleh diri sendiri namun diciptakan oleh kebersamaan.
Jika aksi politik hanya ditujukan untuk mendapatkan kekuasaan, dan menempatkan diri sendiri pada derajat vertical di atas manusia lainnya, maka kekuasaan akan tampil sebagai wajah menakutkan. Seperti Kata Max Weber, kekuasaan hanya akan dilakukan untuk mendominasi dan menekan orang lain terlebih bagaimana caranya menghilangkan para penentang. Kekuasaan seperti itu akan melahirkan kekerasan vertical (Vertical Violence), Negara sebagai hasil kontrak social bukan menjadi pelindung dan tameng rakyat melainkan akan menjadi mesin raksasa yang siap melindas siapa pun yang tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan Negara.
Adalah wajar jika pemikiran Arendth dalam memandang aksi politik lebih menitik beratkan pada sisi-sisi humanis; bagaimana caranya agar manusia menjadi manusia. Aksi politik harus mendorong manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Arendht sebagai seorang wanita keturunan Yahudi pernah mengalami sendiri bagaimana kerasnya hidup selama perang dunia I dan II di Eropa. Perang sebagai aktivitas politik telah meluluh lantahkan kehidupan Kaum Yahudi di Eropa. Orang Yahudi di Geto-Geto kumuh diberi label sebagaimana binatang yang ditempatkan di jagal-jagal lalu diberi label siap dipotong. Pemikiran Arendth menyentuh ruang derajat kebersamaan, politik yang dilakukan dengan tujuan menyakiti orang lain adalah bukan politik , dia adalah kekerasan atas nama kelompok.
Merupakan satu keniscayaan jika aksi politik/ politik praktis tidak bisa dilakukan oleh perorang meskipun dia memiliki biaya politik (cost-politic) cukup memadai untuk kegiatannya. Namun, kegiatan politik itu sendiri tidak bisa dipisahkan dengan seberapa besarnya manusia dalam membutuhkan orang lain. Para kandidat di Pemilukada baik Walikota atau Gubernur, jika tujuan mereka benar untuk mendapatkan kekuasaan, maka tampilkan dalam kehidupan mereka jika mereka benar-benar ingin mendapatkanya dengan kebersamaan. Bagaimana cara mereka menghormati masyarakat jauh lebih besar manfaatnya dari sekedar memasang spanduk dan baliho di pinggir jalan. [ kang warsa ]
Posting Komentar untuk "ETIKA AKSI POLITIK"