Menurunnya Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Serentak 2024

Kita sebagai manusia selalu mengharapkan hal-hal ideal, dan menjumpai diri sendiri. Lebih tepatnya, hal ideal ini adalah keinginan. Namun, hukum semesta yang telah disematkan oleh Allah SWT bagi seluruh makhluk di dunia ini tidak seperti itu. Ia justru lebih memberikan bagaimana agar kehidupan tetap selaras dan seimbang.

Dalam hal Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, pemerintah menargetkan partisipasi pemilih terus mengalami peningkatan. Dalam terma umum idealnya 80%.

Sasaran tersebut tentu saja akan berbanding lurus dengan cara alam semesta dalam merespons harapan tersebut. Sebab, partisipasi pemilih akan ditentukan oleh seberapa baik KPU merancang proses pemilu, terutama pendekatan yang tepat agar masyarakat mau menggunakan hak pilihnya.

Selain perolehan suara, partisipasi pemilih juga tak luput menjadi tajuk bahasan media massa. Situasinya berbeda di masyarakat; kelompok akar rumput tidak akan terlalu memperhatikan tinggi atau rendahnya partisipasi pemilih. Mereka lebih fokus pada perolehan suara, dan ini juga hanya sesaat saja. Kemudian sebagian besar dari mereka menerima saja hasil perolehan suara tersebut sambil ditambah dengan kalimat: "siapa saja yang menjadi pimpinan, mudah-mudahan dapat membawa kebaikan bagi kota ini."

Di hari pemungutan suara, saya melihat antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, terutama di tempat pemungutan suara (TPS) di mana saya melakukan pencoblosan. Meskipun cuaca mendung sejak pagi, masyarakat terlihat berlalu lalang antara yang akan memilih dan telah memilih. Saat itu, saya berpikir, target pemerintah dalam hal partisipasi pemilih sebesar 80% akan tercapai.

Namun, dalam pemberitaan media massa satu hari terakhir ini, partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan Pilkada sebelumnya. Saya katakan signifikan, karena berdasarkan pernyataan KPU Republik Indonesia, secara nasional, angka partisipasi tercatat di bawah 70%. Untuk Jawa Barat diperkirakan mencapai 62%, sementara Kota Sukabumi ditaksir ada di angka 69%. (Catatan: Angka partisipasi ini baru perkiraan dan berdasarkan pemberitaan seperti Kumparan.com, ).

Melihat data di atas, tren penurunan partisipasi pemilih tentu saja mesti menjadi perhatian serius karena menunjukkan tantangan nyata dalam upaya memperkuat demokrasi di Indonesia. Apalagi jika dikalibrasikan lagi dengan anggaran yang digunakan untuk menyukseskan Pilkada Serentak tahun ini. Misalnya dana hibah sebesar Rp 1,5 triliun telah diberikan oleh Pemprov Jawa Barat kepada KPU dan Bawaslu. Hal ini berarti, setiap pemilih di Jawa Barat dengan jumlah DPT 35,9 juta untuk Pilgub dibiayai oleh pemerintah sebesar Rp 41.783.

Nominal tersebut jika dikalikan dengan angka golput atau pemilih yang tidak menggunakan haknya, yaitu 35,9 juta x 38% x 41.783 = Rp 570 miliar. Jadi, anggaran sebesar itu yang telah mendukung operasional Pilkada tidak termanfaatkan secara maksimal.

Apalagi jika ditambahkan dengan anggaran logistik Pilkada, ini berarti banyak surat suara dan jenis logistik lainnya yang tidak menjadi suara. Hal ini tentu saja menjadi barang yang sia-sia. Maka, langkah yang telah ditempuh oleh banyak negara mengganti sistem pencoblosan surat suara dengan sistem elektronik menjadi sangat logis untuk menghindari tumpukan surat suara tidak terpakai.

Faktor Penyebab Partisipasi Pemilih Menurun

KPU Repubik Indonesia belum merilis secara resmi apa penyebab menurunnya partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024. Walakin, ada beberapa faktor umum yang dapat diuraikan, di antaranya: Pertama, banyak masyarakat merasa bahwa proses politik, termasuk Pilkada, tidak membawa pengaruh nyata pada kehidupan sehari-hari mereka. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemilu semakin memperburuk keadaan, karena pendidikan politik yang masih minim membuat masyarakat tidak melihat urgensi untuk menggunakan hak pilihnya.

Kedua, masalah logistik dan administratif turut berperan. Pemilih yang bekerja di luar domisili atau sudah berpindah tempat tinggal sering kali kesulitan untuk berpartisipasi. Sayangnya, petugas KPPS tidak memiliki kewenangan untuk mengonfirmasi alasan ketidakhadiran pemilih, seperti karena bekerja, sakit, atau kendala lainnya, sehingga data yang penting untuk evaluasi tidak tersedia.

Ketiga, ada persoalan kepercayaan. Banyak pemilih merasa hasil Pilkada tidak berdampak apapun bagi mereka, sehingga mereka menganggap untuk apa harus datang ke TPS dan memilih. Rendahnya kepercayaan terhadap proses politik ini juga diperburuk oleh praktik politik uang, intimidasi, atau ketegangan politik yang membuat pemilih enggan terlibat.

Keempat, kendala ekonomi dan kesehatan. Pemilih yang harus bekerja pada hari pemungutan suara sering kali tidak punya waktu untuk datang ke TPS. Masalah kesehatan juga menjadi penghalang, terutama jika TPS dianggap kurang aman atau sulit dijangkau.

Menghadapi tantangan ini, pemerintah, penyelenggara pemilu, termasuk partai politik harus berkolaborasi dan melakukan langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk mendorong partisipasi pemilih. Misalnya dengan meningkatkan edukasi politik melalui kampanye tentang pentingnya Pilkada harus diperkuat melalui berbagai saluran, seperti media massa, pendidikan formal, hingga kegiatan di tingkat komunitas. Masyarakat perlu memahami bahwa suara mereka memiliki dampak besar terhadap pembangunan daerah.

Sistem pemutakhiran data pemilih harus lebih akurat dan fleksibel, bahkan hingga masa tenang. Opsi seperti pemungutan suara elektronik atau melalui pos bagi pemilih di luar domisili juga dapat dipertimbangkan. Bahkan sistem pemilihan secara elektronik dapat digunakan untuk jenis pemilihan berbeda, ini dapat mengurangi distribusi tumpukan logistik, dan mengefisienkan anggaran pada beberapa kali Pemilu serta Pilkada.

Penyelenggara Pilkada harus menjamin transparansi dalam setiap tahap, dari pendaftaran kandidat hingga penghitungan suara. Sanksi tegas terhadap praktik politik uang dan intimidasi juga diperlukan untuk menjaga integritas pemilu. Tegas atau tidak sanksi ini dapat terukur dengan denda bagi pelaku hingga publikasi paslon yang melakukan politik uang. KPU memang mengaudit dana kampanye pasangan calon, walakin tentu saja tidak seluruh cost politic paslon dimasukkan ke dalam laporan dana kampanye.

Cost politic para pasangan calon sebenarnya dapat dilihat melalui jumlah harta kekakayaan mereka melalui LHKPN Khusus. Jika calon hanya memiliki harta kekayaan sebesar Rp. 500 juta, kemudian dia melakukan kampanye termasuk dengan praktik poliitik uang dan mengeluarkan dana kampanye melebihi yang telah dilaporakan secara berkala kepada KPU, maka hal tersebut patut dicurigai, "dari mana uang yang digunakan untuk mendanai kampanye ini?"

Penurunan partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 adalah peringatan bahwa sistem demokrasi kita masih memiliki banyak celah yang perlu diperbaiki. Langkah-langkah strategis yang berfokus pada edukasi, aksesibilitas, dan integritas dapat membantu mengatasi masalah ini.

Partisipasi yang tinggi bukan hanya indikator teknis keberhasilan Pilkada, tetapi juga cerminan dari kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Ketika masyarakat terlibat secara aktif, masa depan daerah akan semakin cerah, karena setiap suara memiliki peran penting dalam menentukan arah pembangunan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Menurunnya Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Serentak 2024"