Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 13)



Sebelum mengalami pemekaran menjadi tiga kecamatan: Baros, Cibeureum, dan Lembursitu, wilayah yang membentang dari sebelah barat di daerah Pasar Saptu hingga sebelah timur berbatasan dengan Kebonpedes masih bernama Kecamatan Baros dengan tiga belas desa. Pada tahun 80-an, kecamatan ini merupakan daerah rural perdesaan.

Di wilayah seperti ini, potensi alam berupa sawah dan ladang masih lebih luas dari pemukiman penduduk. Batas-batas wilayah ditunjukkan oleh kenampakan alam seperti sawah, sungai, dan kebun. Tak ayal, karena wilayah Baros ini masih 70% berupa lahan terbuka, pernah menjadi penyangga ketahanan pangan, lumbung padi, dan wilayah pendukung swasembada pangan.

Suasana dan iklim perdesaan begitu terlihat dari cara hidup masyarakat. Mereka akan lebih mematuhi pikukuh atau pitutur para inohong atau tokoh setempat, ajengan, dan ketua Rukun Keluarga (RK). Kepatuhan ini telah membentuk keteraturan dan ketertiban sosial dalam kehidupan. Warga juga masih mematuhi norma susila dan etika yang nyata-nyata hanya lahir dalam bentuk penuturan atau tidak tertulis.

Rapat dan rimbun pepohonan telah melahirkan pola hidup bagaimana manusia harus selaras dan menghormati alam. Dalam pandangan manusia modern, hubungan semacam ini sering dikaitkan dengan konsepsi mitologis, padahal pandangan khurafat manusia di zaman itu merupakan bentuk coding atau bahasa pemrograman semesta agar manusia tidak semena-mena terhadap alam.

Hanya saja, cara penyampaian coding atau bahasa program itu melalui ujaran "pamali", "doraka", dan kata sejenisnya yang dapat menyadarkan manusia agar tidak melampaui batas yang telah ditentukan. Misalnya, seseorang yang akan melewati tempat yang dipenuhi oleh pepohonan tingkat tinggi, mereka diharuskan meminta izin atau pamit terlebih dahulu agar tidak diganggu oleh para penunggu tempat itu.

Sepintas kita anggap sepele dan berbau khurafat atau takhayul. Padahal, penunggu suatu tempat ini merupakan energi (dalam konsep fisika teoritis berupa gelombang) yang akan bersesuaian dengan kondisi tubuh manusia di saat diri manusia bersikap tenang dan rileks. Ketenangan itu didapat dengan cara menghormati dan meminta izin terlebih dahulu.

Selain itu, warga di perkampungan saat itu terikat juga oleh aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang didominasi oleh adab dan etika antar sesama. Bagaimana etika orang yang masih muda harus hormat kepada yang lebih tua. Namun, orang yang lebih tua juga tidak dibolehkan semena-mena kepada yang lebih muda.

Angka lulusan sekolah tingkat atas masih relatif kecil, piramida lulusan sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi benar-benar memperlihatkan piramida sempurna. Sekolah tingkat dasar memang telah dimiliki oleh setiap kampung di Kecamatan Baros. Sementara sekolah menengah pertama (SMP) hanya ada di daerah Kebon Kalapa, yaitu SMP Negeri Baros (sekarang SMP Negeri 13).

Rata-rata lulusan SD yang melanjutkan ke SMP harus bersekolah ke wilayah kota. Saat itu memang sudah ada sekolah formal selain SMP di kecamatan ini, salah satunya YLPI. Namun sekolah-sekolah swasta seperti MTs baru menjamur beberapa tahun setelah reformasi 1998 di wilayah ini.

Kehidupan sosial masyarakat perdesaan pada masa itu sangat erat dengan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepatuhan terhadap adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Norma sosial telah menjaga harmoni antarwarga serta menciptakan hubungan yang seimbang antara manusia dan alam.

Kebijakan yang berbasis kearifan lokal tradisional ini menjadi fondasi penting dalam membentuk masyarakat yang mandiri dan saling mendukung, meskipun dalam keterbatasan infrastruktur dan pendidikan formal pada masanya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 13)"