Saya adalah orang kampung, tumbuh besar dalam suasana khas tahun 1980-an. Masa itu, kehidupan di kampung erat kaitannya dengan tradisi paguyuban, atau dalam istilah Ferdinand Tönnies disebut Gemeinschaft. Tradisi ini ditandai oleh kohesi yang kuat antara individu, semangat gotong royong, dan nilai-nilai komunalisme. Hubungan antarwarga begitu erat, hampir menyerupai keluarga besar yang saling menjaga.
Salah satu ciri khas kehidupan kampung yang masih melekat dalam ingatan saya adalah cara orang kampung berjalan bersama. Jalan setapak yang sempit, pematang sawah, dan jalan lingkungan berbatu atau tanah menjadi pemandangan sehari-hari. Anak-anak biasanya berjalan beriringan, membentuk antrean panjang. Menariknya, anak yang lebih tua sering berada di belakang, seolah memastikan semua adiknya berjalan dengan aman.
Kampung saat itu memiliki sistem Rukun Keluarga (RK), yang menjadi satuan terkecil dalam struktur masyarakat. Dalam satu RK, terdapat beberapa keluarga inti yang saling terhubung, baik melalui hubungan darah maupun ikatan persaudaraan. Berbeda dengan masa kini, di mana RK telah diganti menjadi Rukun Warga (RW) seiring dengan meningkatnya populasi dan kompleksitas kehidupan masyarakat.
Penyebutan Rukun Keluarga tak lepas dari sejarah masyarakat kampung. Hampir semua penduduk di sebuah kampung memiliki ikatan kekerabatan. Dalam tradisi pernikahan, lelaki dan perempuan yang masih memiliki garis keturunan sama beberapa generasi sebelumnya dapat menikah, selama batasan tertentu dipatuhi sesuai keyakinan setempat. Tradisi ini memperkuat kohesi sosial, di mana warga merasa benar-benar seperti satu keluarga besar.
Pada masa itu, jumlah pendatang di kampung sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Kehidupan yang homogen ini menciptakan suasana harmonis, di mana warga saling mengenal dan saling membantu. Gotong royong mejiadi tradisi dan kebutuhan bersama. Entah itu membangun rumah, menanam padi, atau menghadiri hajatan, semuanya dilakukan secara kolektif.
Meski kehidupan kampung memiliki daya tarik tersendiri, gemerlap kota selalu memikat. Seminggu sekali, orang kampung biasanya pergi ke kota untuk berbelanja atau sekadar menikmati suasana yang berbeda. Pengalaman ini sering menjadi cerita yang seru saat mereka kembali ke kampung. Mereka kagum dengan lampu-lampu terang dan gedung-gedung tinggi, meski tetap merasa nyaman dengan kesederhanaan kampung.
Generasi X dan Y mulai mengalami perubahan pola pikir ketika melanjutkan pendidikan ke kota. Setelah lulus sekolah dasar, mereka bersekolah di SLTP yang umumnya berada di perkotaan. Ini menjadi awal dari transisi budaya. Anak-anak kampung yang bersekolah di kota mulai merasa lebih dewasa dan "lebih modern" dibandingkan adik-adiknya yang masih di kampung.
Berinteraksi dengan anak-anak kota membuat mereka mengadopsi gaya hidup urban. Cara berpakaian, bertutur kata, hingga kebiasaan mulai berubah. Iklan di televisi yang mulai merambah ke kampung juga mempercepat proses ini, membuat budaya urban semakin mudah diterima oleh generasi muda di perkampungan.
Memasuki tahun 1990-an, suasana kampung masih mempertahankan keasriannya. Sawah-sawah membentang luas, pepohonan rimbun, dan udara bersih. Namun, generasi muda yang semakin terpapar budaya kota mulai membawa perubahan. Anak-anak mulai mengenakan pakaian ala urban, menggunakan bahasa yang lebih bercampur, dan mulai akrab dengan teknologi seperti radio, televisi, hingga musik.
Seiring waktu, beberapa tradisi kampung mulai memudar. Gotong royong yang dulu menjadi ciri khas mulai berkurang intensitasnya. Kehidupan yang dulu kolektif perlahan-lahan menjadi lebih individual. Kehadiran para pendatang yang lebih banyak juga membuat kehidupan kampung semakin heterogen.
Meski perubahan terus terjadi, ada nilai-nilai kampung yang tetap relevan dan perlu dilestarikan. Kohesi sosial, semangat gotong royong, dan hubungan kekeluargaan adalah warisan berharga yang tidak boleh hilang. Warga kampung yang kini hidup di kota sering kali merindukan suasana kampung, membuktikan bahwa nilai-nilai tersebut memiliki daya tarik tersendiri.
Sebagai orang kampung, saya merasa bangga pernah menjadi bagian dari tradisi yang sarat makna. Meski perubahan adalah keniscayaan, saya berharap generasi mendatang tetap dapat menghargai dan melestarikan tradisi kampung. Kehidupan di kampung mungkin sederhana, tetapi di sanalah kebahagiaan sejati sering kali ditemukan.
Kampung, dengan segala keunikan dan kekhasannya, adalah cermin dari kehidupan yang lebih mendalam, di mana kebersamaan, kesederhanaan, dan harmoni menjadi inti dari segalanya. Kini, di tengah modernisasi, tradisi kampung adalah harta yang harus kita jaga, bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 16)"