Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 17)



Saat duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar, saya pernah harus berjalan kaki dari SDN Sudajayahilir I (sekarang SDN Balandongan) ke pertigaan Cipanengah. Dari sana, saya naik angkot 03 menuju SDN Cipanengah untuk mengikuti pembinaan SD IPPOR (Induk Pengembangan Potensi Olahraga). Perjalanan itu terasa panjang dan melelahkan jika tidak diimbangi oleh semangat belajar.

Program IPPOR digagas pada masa Orde Baru sebagai upaya mencari bibit unggul di bidang olahraga, kesenian, dan akademik. Selain olahraga, berbagai kegiatan seperti lomba kesenian dan cerdas cermat juga menjadi bagian dari program ini.

Seiring waktu, program tersebut berkembang menjadi PORSENI, yang tidak hanya dilakukan oleh sekolah dasar tetapi juga lembaga pendidikan lainnya. Kini, pekan olahraga dan seni kerap digelar oleh berbagai institusi untuk memeriahkan hari jadi atau peristiwa penting.

Kegiatan pendidikan di tahun 1980-1990-an terbilang sederhana namun sarat makna. Program seperti IPPOR dan kegiatan mingguan di sekolah memberikan dampak positif dalam menanamkan sportivitas, ketangkasan, dan kecerdasan pada siswa.

Selain belajar di kelas, ekstrakurikuler seperti Pramuka menjadi favorit. Di SDN Sudajayahilir I, Pramuka memberikan pengalaman menarik, mulai dari baris-berbaris, sandi morse, semaphore, hingga keterampilan mendirikan tenda dan tali-temali.

Berbeda dengan baris-berbaris biasa, kegiatan Pramuka sering melibatkan penggunaan tongkat bambu. Pemimpin regu biasanya membawa tongkat untuk memberi aba-aba. Setiap regu diberi nama sesuai karakteristik tertentu, seperti regu kancil, harimau, atau banteng untuk laki-laki, serta nama bunga untuk regu perempuan.

Salah satu momen yang ditunggu adalah perkemahan menjelang Hari Pramuka 14 Agustus di Lapang Kibitay. Kegiatan ini benar-benar berfokus pada kemandirian. Orang tua jarang menengok anak-anak yang berkemah, memberi mereka kesempatan untuk belajar hidup mandiri dan lebih dekat dengan alam.

Ada kebiasaan unik sebelum mendirikan tenda: kami melakukan ritual sederhana dengan meminta izin dan menabur garam mengelilingi tenda untuk menjaga keamanan dari gangguan makhluk halus atau binatang melata. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga harmoni dengan alam.

Kisah tentang menjaga hubungan dengan alam juga terlihat dari cerita masyarakat di sekitar Sungai Cimandiri. Sebelum menjadi destinasi wisata seperti sekarang, pemandian air panas Cikundul dijaga oleh seorang juru kunci yang dipercaya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Konon, ada legenda tentang lulung samak—hantu di sepanjang sungai—yang hanya bisa diatasi oleh juru kunci.

Di masa kecil, cerita-cerita pewayangan seperti Guarsa Minantara atau larangan kencing sembarangan di bawah pohon besar menjadi pengingat untuk selalu menghormati alam. Dalam tradisi Sunda, dikenal pepatah "mipit kudu amit, ngala kudu menta," yang menegaskan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan izin.

Seiring perkembangan zaman, tradisi ini menemukan bentuk baru dalam teknologi. Jika dahulu meminta izin dilakukan melalui ritual, kini setiap akses digital seperti membuka aplikasi atau menghubungkan ke jaringan wifi memerlukan "izin" berupa password. Transformasi ini menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas dapat saling melengkapi, meskipun esensi dari harmoni antara manusia dan lingkungannya tetap relevan.

Perjalanan masa kecil, baik saat berjalan kaki ke SDN Cipanengah untuk IPPOR, mengikuti perkemahan di Lapang Kibitay, hingga menikmati air panas Cikundul, menjadi kenangan yang tak tergantikan. Kesederhanaan masa lalu ternyata menyimpan pelajaran besar yang terus membekas: pentingnya kebersamaan, kemandirian, dan menjaga hubungan dengan alam serta sesama.

Walaupun teknologi terus berkembang, nilai-nilai yang tertanam dari pengalaman masa kecil ini tetap menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan modern. Mungkin inilah cara kita menghormati tradisi sambil terus melangkah ke masa depan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 17)"