Sosialisasi Pemilukada: Antara Tanggung Jawab dan Tantangan Demokrasi

Sosialisasi merupakan salah satu tahapan penting dalam penyelenggaraan Pemilukada Bersama 2013, yang melibatkan peserta Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat dan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi. Tahapan ini dilakukan setelah penetapan pasangan calon dan nomor urut mereka. Namun, meskipun sosialisasi bertujuan untuk memperkenalkan calon dan visi-misi mereka, implementasinya sering kali menemui hambatan, baik dari sisi pelaksanaan maupun pengertian yang kurang tepat.  

Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU Provinsi dan KPU Kota/Kabupaten, memiliki tanggung jawab utama dalam melaksanakan sosialisasi. KPU tidak hanya berkewajiban untuk menyampaikan profil lengkap pasangan calon, tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat tentang visi dan misi mereka. Sosialisasi harus menjadi upaya untuk memberikan informasi yang utuh dan objektif, bukan sekadar memperkenalkan calon dalam bentuk visual yang menarik.  

Namun, kenyataannya, banyak pasangan calon yang keliru memahami tujuan sosialisasi ini. Banyak peserta pemilukada yang, meskipun sudah ditetapkan untuk memasuki tahapan sosialisasi, justru menganggapnya sebagai kesempatan untuk berkampanye. Mereka memasang baliho, poster, dan spanduk, yang lebih berfokus pada potret diri dan ajakan untuk memilih, daripada mengedepankan program dan gagasan yang seharusnya menjadi pokok informasi dalam sosialisasi.  

Lebih parah lagi, pemasangan alat peraga kampanye ini sering kali mengotori lingkungan. Pohon-pohon, tiang listrik, bahkan tiang telepon, yang seharusnya menjadi bagian dari ruang publik yang bersih dan tertata, dipenuhi dengan gambar-gambar calon pemimpin. Hal ini bukan hanya menciptakan pemandangan yang buruk, tetapi juga mengurangi keindahan kota, yang seharusnya menjadi prioritas bagi pemimpin yang ingin mengabdi.  

Dalam era demokrasi yang semakin hiruk-pikuk dengan berbagai pemilu yang berdekatan, pemasangan alat peraga yang berlebihan justru memiliki efek yang berlawanan dengan tujuan awal. Semakin banyak baliho dan spanduk yang terpasang, semakin besar kemungkinan masyarakat merasa jenuh. Pemilih yang merasa jenuh dengan gambaran kampanye yang seragam dan tidak menggugah, cenderung enggan untuk memilih. Ironisnya, bukannya semakin memperkenalkan calon dengan lebih baik, pemasangan alat peraga ini malah dapat memicu penurunan partisipasi pemilih.  

Kejenuhan ini tidak hanya berasal dari tampilan visual yang membosankan, tetapi juga dari kesan bahwa kampanye hanya berfokus pada pencitraan diri calon, bukan pada pemikiran yang substansial untuk kemajuan daerah. Masyarakat, yang semakin kritis, mulai melihat bahwa keinginan untuk meraih jabatan tidak seharusnya ditunjukkan dengan baliho atau poster yang tidak berbobot, melainkan dengan pemikiran dan ide yang nyata untuk pembangunan.  

Salah satu dampak buruk dari pemahaman yang salah tentang sosialisasi adalah pengabaian terhadap peraturan tentang pemasangan alat peraga kampanye. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh KPU dan pemerintah daerah mengenai pemasangan baliho, poster, dan spanduk jelas-jelas mengatur tentang tempat dan cara pemasangannya. Namun, banyak peserta pemilukada yang tidak mengindahkan aturan ini, memasang alat peraga di tempat-tempat yang seharusnya tidak digunakan, seperti pohon, fasilitas umum, dan jalan-jalan protokol.  

Peraturan KPU tentang kampanye menyebutkan bahwa pemasangan alat peraga hanya boleh dilakukan di tempat yang telah disetujui, dengan izin tertulis dari pemilik tempat tersebut. Alat peraga juga harus dipasang dengan mempertimbangkan etika dan estetika, serta kebersihan dan kelestarian lingkungan. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak yang melanggarnya, menciptakan pemandangan yang tidak teratur dan merusak ruang publik.  

Kesalehan seorang calon pemimpin bukanlah soal seberapa banyak poster atau baliho yang dipasang. Sebaliknya, kesalehan terletak pada kemampuan untuk menawarkan kebaikan kepada masyarakat dengan cara yang tulus dan penuh integritas. Menebarkan kebaikan tidak bisa hanya dilihat dari gambar senyum yang tercetak di poster, tetapi dari program nyata yang bisa mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.  

Pemilukada bukan hanya tentang siapa yang dapat memasang baliho terbesar, tetapi tentang siapa yang dapat membawa perubahan positif. Dan perubahan itu dimulai dengan memberi contoh melalui tindakan yang bijak, salah satunya dengan menjaga kebersihan dan kerapihan lingkungan dari alat peraga yang tidak perlu. "Lamun embung sasapu, tong sering ngabala!" menjadi filosofi yang harus diterapkan oleh peserta pemilukada: jika ingin dihargai dan dipilih, tunjukkan kesalehan melalui tindakan nyata.  

Sosialisasi peserta Pemilukada seharusnya menjadi kesempatan untuk memberikan informasi yang jelas dan bermanfaat kepada masyarakat tentang pasangan calon dan visi-misi mereka. Namun, sering kali salah kaprah dengan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye yang tidak teratur dan merusak lingkungan. Sebagai ganti dari praktik tersebut, sosialisasi harus lebih dari sekadar pemasangan alat peraga. Ini adalah tentang menyampaikan pesan yang benar, dengan cara yang benar pula, dan tentunya, menjaga kebersihan serta keharmonisan lingkungan demi kebaikan bersama. 

Posting Komentar untuk "Sosialisasi Pemilukada: Antara Tanggung Jawab dan Tantangan Demokrasi"