Plaisir D'amour dan Nana



Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, judul Plaisir D'amour memiliki arti kesenangan cinta. Konon, lagu ini merupakan lagu tradisional klasik yang diciptakan pada penghujung abad ke 18 (tahun 1784) oleh Jean-Paul-Égide Martini.

Pada tahun 60'an dilantunkan oleh penyanyi asal Yunani, Nana Mouskouri. Saat duduk di bangku SMA, awalnya saya mengira, Nana berasal dari Indonesia. Masalahnya, nama Nana sering digunakan oleh orang-orang Indonesia. Misalnya Nana Mirdad, Najwa Shihab juga dipanggil Mbak Nana. 

Bahkan, nama Nana ini selain disematkan kepada perempuan, tidak sedikit kaum Adam menggunakannya. Sebut saja, Nana Krip salah seorang pelawak. Di kampung kelahiran saya ada seorang  laki-laki diberi nama Nana, saat kecil akrab dipanggil Nana Bopong. Sampai sekarang, nama Nana tetap mengiringi hidup saya, lagi-lagi saya dipertemukan dengan seorang guru bernama Nana Nasrullah. 

Empat tahun lalu, saya bersama anak-anak Balandongan mencoba membuat sebuah film berbahasa Sunda yang sampai sekarang belum selesai juga. Bukan masalah filmnya yang akan saya tulis, melainkan nama Nana itu, juru kamera pembuatan film yang belum selesai tersebut bernama Nana juga. Selebihnya, di Balandongan juga masih ada seorang lelaki bernama Nana, dari dulu sampai sekarang ngefans berat pada kelab Setan Merah.

Kebetulan atau hal wajar nama Nana ini selalu membersamai hidup saya? Entah.

Kembali pada lagu Plaisir d'amour. Secara harfiah lirik lagu ini sebagai peringatan kepada kita bahwa kesenangan cinta hanya sesaat saja. Orang yang kita cintai atau sebaliknya mereka yang mencintai kita pada akhirnya akan meninggalkan kita juga. Bisa dua cara, benar-benar meninggalkan kita karena meninggal dunia atau meninggalkan kita di dunia.

Jadi pada dasarnya cinta yang lazim digemakan dan digaungkan oleh muda-mudi sebagai keabadian, kekekalan, dan tidak lekang oleh waktu itu pada akhirnya selalu menemui kefanaan atau kerusakan. Sepertinya, kenyataan inilah yang mengilhami Panbers menciptakan lagu Akhir Cinta.

Hanya saja, mortalitas atau kefanaan itu tidak hanya terjadi pada cinta, beragam bentuk apapun bersifat fana di dunia ini. Paling tidak, di dalam hidup ini, kita pernah menemukan cinta meskipun harus ditebus dengan linangan air mata, kepedihan, dan kesedihan. Cinta sejati hanya dimiliki oleh Dia yang maha Sejati. Dia yang maha netral.

Seindah apa pun aforisma yang pernah ditulis oleh para penyair seperti Kahlil Gibran dalam menafsirkan cinta, tetap saja cinta sejati selalu bermuara pada pemilik cinta tersebut. Walakin, justru kita terlalu sering dikelabui bahkan tertipu oleh asumsi diri sendiri hingga memandang dan memberikan cinta sejati kepada apa yang tampak kasat mata. Mencintai hal-hal yang diselimuti oleh kabut kefanaan. Lantas melupakan pemilik cinta sejati yang hakiki. 


Posting Komentar untuk "Plaisir D'amour dan Nana"