Cerpen: Aku dan Phi



Cerpen ini saya tulis tahun 2020, di masa pandemi

Aku memiliki seorang teman, dia bernama Phinkan. Teman-temanku biasa memanggilnya Phi. Dijuluki Phi bukan tanpa alasan dan sebab. Teman-teman memberikan julukan itu karena dia sangat tertarik pada matematika terutama lingkaran.

Awalnya, aku tidak tahu, kenapa temanku ini begitu tertarik pada lingkaran. Aneh memang, padahal rata-rata anak-anak di sekolahku kurang tertarik dengan lingkaran, persegi, belah ketupat, dan segudang materi lain yang berhubungan dengan matematika. Pokoknya, matematika dipandang sebagai mata pelajaran yang membosankan, menakutkan, melelahkan, dan sering membuat pusing kepala.

Jika dipikir secara mendalam, memang sangat wajar banyak anak yang merasa risi dan dibuat pening oleh matematika. Bukankah belajar di sekolah itu sudah seharusnya menyenangkan, bukan malah membuat kita pusing?

Tapi aku tidak terlalu memerdulikan apakah belajar itu harus menyenangkan atau melelahkan. Bagi aku belajar ya belajar saja. Lagi pula, aku tidak terlalu berambisi mengejar nilai di sekolah. Aku lebih berpikir bahwa belajar merupakan salah satu cara manusia menuntut ilmu.

Phi, temanku itu, berbeda pandangan denganku, dia lebih memilih memandang bahwa matematika dan ilmu-ilmu lainnya harus dihadapi secara serius. Suatu hari Phi berkata kepadaku.

“ Kamu akan tercengang jika suatu hari nanti mulai memfokuskan diri pada matematika. Di sekeliling kita ternyata benar-benar dipenuhi oleh angka-angka. Kamu berjalan dari satu tempat ke tempat lain, tidak terlepas dari angka. Berapa jarak rumah kamu ke sekolah kita?” Phi menatapku serius.

“ Ya, kira-kira enam kilometer lah!” Jawabku.

“ Hmmm, enam kilometer. Apakah kamu tahu dengan angka enam kilometer itu kita akan mendapatkan angka-angka turunan, beberapa kemungkinan, banyak pertimbangan, dan rumus-rumus lainnya?” Dia begitu antusias bertanya kepadaku.

“ Maksud kamu gimana?” Aku penasaran.

“ Dengan angka enam kilometer itu paling tidak kamu dapat memperhitungkan pukul berapa kamu harus berangkat ke sekolah agar tidak kesiangan. Berapa seharusnya kecepatan motor atau mobil yang kamu kendarai agar tiba ke sekolah tepat waktu. Bahkan dengan angka enam kilometer itu kamu dapat menentukan jarak rumahmu ke rumahku dengan menjadikan sekolah sebagai titik sudut segita.” Phi menjelaskannya dengan riang gembira. Dalam dirinya seolah tidak ada beban apapun.

“ Hahaha, kamu ribet betul, sekadar untuk mengetahui jarak rumahku ke rumahmu harus menggunakan rumus-rumus matematika. Kan sekarang sudah ada google maps, tinggal ukur saja dengan aplikasi itu, beres, tidak perlu pusing-pusing menghitung, kan?”

“ Nah, itu juga benar. Tapi, kemunculan aplikasi-aplikasi seperti google maps ini dihasilkan oleh orang-orang yang ahli di bidang matematika dan pemrograman. Angka-angka algoritma lah yang mengendalikan aplikasi yang kamu pakai itu. Aku tidak bermaksud menekankan bahwa segala sesuatu, keseharian hitup kita harus selalu dihitung. Maksudku segala sesuatu di dalam kehidupan ini tidak terlepas dari angka-angka. Umur kamu juga angka, kan? Kenapa angka-angka ini dimunculkan atau bermunculan begitu saja? Itu untuk membatasi agar kehidupan kita berjalan secara rasional dan logis. Sangat tidak rasional jika Tuhan menciptakan matahari hanya berjarak 10 juta kilometer dengan Bumi. Kenapa tidak rasional? Karena dengan jarak 10 kilometer, Bumi yang kita diami tidak akan sanggup menahan panasnya matahari. Maka, Tuhan menciptakan jarak matahari dengan Bumi sejauh 150 juta kilometer. Dan ini sangat rasional. Dapat diterima akal.”

“ Kamu tidak pusing membicarakan angka-angka itu, hahaha?”

“ Tentu saja tidak. “ Jawabnya singkat. “ O, Iya.. pulang sekolah kamu mau ikut ke rumahku tidak?”

“ Boleh..”

***

Sesuai kesepakatan, pulang sekolah aku diajak Phi berkunjung ke rumahnya. Sekolah membuat aturan setiap siswa dilarang membawa alat komunikasi termasuk telepon seluler.

Aku mengabari mama melalui telepon sekolah. Beruntung sekali, sekolah selalu memperbolehkan setiap siswa menggunakan fasilitas yang ada untuk kepentingan-kepentingan mendesak.

“ Kita tunggu di sini saja, sebentar lagi ibuku datang menjemput kita.” Kata Phi.

Kami berdua menunggu di trotoar yang letaknya tidak jauh dengan sekolah. Cuaca cerah, udara hangat bahkan mendekati panas membakar. Karena di pinggir jalan ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang, cuaca panas tidak langsung menyentuh tubuh kami.

Sudah menjadi biasa, setiap pukul 14.30 WIB karena bertepatan dengan pulang sekolah, tempat ini selalu ramai oleh lalu lalang para siswa berseragam putih biru. Keramaian itu menjadi lahan menguntungkan bagi para pedagang kaki lima. Setiap lapak para pedagang dipadati oleh anak-anak.

Hal baik yang dapat aku tangkap di sekitar tempat itu adalah tentang kebersihannya. Para pedagang sangat sadar menjaga kebersihan lingkungan. Mereka selalu memungut sampah-sampah yang berserakan dan memasukkannya ke tempat sampah yang disediakan oleh pemerintah.

“ Lihat, kumpulan orang, para siswa, dan pedagang. Kesemuanya merupakan angka-angka ya?” Tanya Phi.

“ O, ya?” Aku balik bertanya.

“ Pelajaran apa yang kamu ingat saat melihat kerumunan dan kumpulan orang ini?” Tanyanya lagi. Dia tersenyum.

“ Perbandingan!” Jawabku sekenanya.

“ Hahaha… bisa..bisa… tapi kurang tepat. Kumpulan orang ini merupakan himpunan semesta. Kita merupakan himpunan bagian.” Dia tersenyum lagi. “ Itu ibuku sudah datang.”

Phi setengah berlari memburu ibunya. Aku mengikutinya.

“ Hai anak ibu. Ini siapa?” Ibunya bertanya kepadaku.

“ Elda, bu” Phi membantu menjawabnya.

“ Ayo masuk..!” Ibu Phi mempersilakan aku masuk ke dalam mobilnya. Kami duduk di belakang.

Jarak rumah Phi ke sekolah tidak terlalu jauh, sekitar 3 kilometer. Waktu tempuh sekitar sepuluh menit saja.

Rumah Phi memiliki halaman cukup luas. Bermacam-macam bunga tumbuh di sana. Meskipun memperlihatkan arsitektur art deco, bangunan tersebut cukup tua, kokoh, dan indah. Ukuran rumahnya juga sangat luas, atap rumah menjulang tinggi. Lantai masih menggunakan ubin teraso. Cat variatif putih dan hijau toska.

Aku terhenyak saat memasuki ruangan utama. Sebuah rak tinggi dipenuhi oleh berbagai buku, mulai dari yang tebal sampai yang sangat tipis. Apalagi ketika aku memasuki kamar Phi, pada dindingnya ditempeli gambar-gambar para penemu. Ah, aku hanya mengenal satu orang saja pada gambar-gambar yang ditempel itu. Albert Einstein. Selebihnya aku tidak mengenal tokoh-tokoh yang ada di dalam gambar itu.

“ Kamu kutu buku!” kataku.

“ Hahaha. dulu aku tidak suka membaca. Ibuku yang sering mengajak aku membaca. Aku kerasan membaca buku-buku tebal seperti ensiklopedia. Nah, dari sanalah aku mengenal orang-orang ini!” Katanya sambil menunjuk gambar-gambar yang menempel pada dinding.

“ Wooowww, itu siapa, seperti sudah kakek-kakek?” Aku bertanya.

“ Ini?” Phi menunjuk gambar yang aku maksud.

Aku mengangguk, penasaran menunggu penjelasan Phi.

“ Ini tokoh idolaku. Hmm.. orang jenius. Kamu pernah mendengar kata Pythagoras?”

“ Iya, rumus segitiga itu, kan?”

“ Benar. Pythagoras lah yang menemukan rumus ajaib itu. Untuk mengetahui sisi miring sebuah segi tiga kita cukup menjumlahkan pangkat dua angka kedua sisi lainnya, kemudian diakarkan.”

“ Kenapa rumus itu dikatakan ajaib?”

“ Karena pada waktu itu Pythagoras hidup pada tahun 570 sebelum masehi. Dia hidup di masa kejayaan mitos-mitos Yunani kuno. Nah, di era seperti itu sudah tentu penggunaan logika berpikir yang rasional bisa dipandang sebuah keanehan. Pythagoras dan murid-muridnya sampai dikejar-kejar oleh penguasa waktu itu karena dipandang menciptakan aliran sesat. a2 + c2 = b2, sungguh rumus ajaib.” Phi mengungkapkannya dengan penuh semangat.

“ Selain Pythagoras, tokoh mana lagi yang kamu idolakan?”

“ Banyak… ini, Al-Khawarizmi, seorang ilmuwan muslim, dialah yang menemukan logaritma, tanpa penemuan logaritma mustahil dunia modern seperti sekarang dipenuhi oleh gawai-gawai canggih seperti ponsel cerdas, komputer, dan tablet. Aku kisahkan sedikit saja tentang cendekiawan muslim ini. Untuk menemukan angka nol, meskipun angka nol ini sudah digunakan oleh orang-orang India. Dia membutuhkan waktu sampai lima tahun. Atas jasanya itulah, penggunaan angka nol pada bilangan, kita dapat dengan mudah membuat operasi bilangan. Selain logaritma, Al-Khawarizmi juga menemukan aljabar dalam matematika. Aritmatika sosial pertama diperkenalkan oleh beliau kepada dunia.”

“ Seru sekali..!” Aku sangat antusias mendengar cerita Phi.

“ Suatu saat, kamu harus mendengar kisah-kisah orang hebat ini dari ayahku.”

Aku sangat penasaran dengan tulisan sederet angka yang ditempel pada dinding kamarnya. Angka 3,14159265358979323846.

“ Itu angka apa?”

“ Hahaha, itu besar nilai untuk simbol π (Phi)!”

“ O, iya. Aku ingat sekarang, kenapa kamu dijuluki Phi. Karena saat kelas satu kamu mampu membacakan deretan angka itu di kelas. Phi.”

“ Itu juga angka istimewa. Phi ditemukan oleh para ahli matematika melalui proses panjang. Ahli matematika dari India bernama Suresh Kumar Sharma mampu menghapal dan menyebutkan deretan angka π (Phi) sampai 70.030 digit.”

“ Dari mana angka-angka itu muncul?”

“ Sederhana saja, untuk mengetahui angka π (Phi) kita tinggal membagi keliling sebuah lingkaran dengan diameternya. Dengan kata lain, π (Phi) merupakan rasio keliling lingkaran dengan diameternya. Tidak percaya, silakan buktikan.”

Tidak terasa, sore telah tiba. Mengobrol dengan Phi dan membicarakan π (Phi) sungguh mengasikkan. Aku pulang, diantar oleh Ibu Phi sampai rumah.

“ Jangan sungkan main ke rumah ibu ya…” Katanya sebelum aku turun dari mobil.

Aku mengangguk kemudian menyalaminya.

***

Aku mengenal Phi sejak duduk di bangku kelas satu SMP. Duduk pun selalu satu bangku. Dia pintar dan rajin. Rambutnya selalu dikepang dua. Saat pertama kenal saja dia sudah menunjukkan sikap supel dan mudah bergaul dengan siapapun.

Selama belajar di kelas, Dia tidak pernah memperlihatkan sikap murung apalagi menunjukkan ketidaksukaan pada pelajaran. Phi selalu berbahagia.

Meskipun Phi anak cerdas, aku tidak pernah menyontek apapun darinya ketika ulangan. Aku telah diajari oleh orangtuaku untuk bersikap jujur dalam hidup ini.

Menjelang Penilaian Akhir Semester Ganjil, setiap siswa ditekankan oleh para guru untuk semakin rajin belajar. Tapi Phi tidak pernah sekalipun merasa khawatir ketika aku dan anak-anak lainnya selalu dihinggapi rasa takut saat menghadapi ujian.

Phi pernah berbisik kepadaku, “ Belajar di rumah setiap hari, satu hari satu soal, itu akan lebih membantu kita dalam memahami pelajaran. Menghapal dalam satu malam justru kita akan lebih sulit memahami soal-soal yang diberikan.”

Aku termotivasi oleh cara belajar Phi. Dua minggu sebelum PAS aku terus berlatih dan belajar di rumah dibantu oleh mama. Benar, apa yang diucapkan oleh Phi, dengan belajar seperti itulah akhirnya aku dapat dengan mudah memahami soal-soal dan rumus-rumus dalam matematika.

Tidak terasa, Penilaian Akhir Semester Ganjil kelas IX selesai dilaksanakan. Berlangsung selama satu minggu. Sekolah biasanya mengumumkan hasil PAS pada papan pengumuman.

Para siswa tampak bergerombol di depan papan pengumuman. Mereka berdesak-desakkan. Para siswa yang meraih nilai bagus biasanya langsung mengangkat tangan sambil mengepalkan tinju lantas berkata: Yess!!! Sementara para siswa yang harus mengikuti tes remedial tampak memperlihatkan sikap murung.

Aku deg-degan saat mendekati papan pengumuman. Sementara teman di sampingku, Phi anak cerdas yang aku kenal ini terlihat santai-santai saja.

“ Kenapa kamu terlihat gemetar, Elda?” Phi bertanya kepadaku dengan sorot mata tajam.

“ Tidak tahu, tidak biasanya aku seperti ini. Mungkin karena aku menuruti saran kamu untuk belajar setiap hari, lantas ada harapan nilai ulangan lebih baik dari sebelum-sebelumnya.”

“ Oke, kita lihat saja!”

Aku langsung melihat daftar hasil PAS pada bagian paling atas. Sudah biasa, urutan pertama ditempati oleh siswi jenius yang sedang berdiri di sampingku, Phi.

“ Ahaaa!” Phi setengah berteriak sambil memegang pundakku. “ Kamu ada di urutan ke sembilan. Selamat ya!”

Mataku terbelalak melihat namaku tercantum di urutan sembilan daftar hasil PAS. Aku masuk sepuluh besar.

“ Ayo ke kantin, aku traktir kamu!” Kata Phi.

“ Hey, kenapa kamu yang mentraktir, harusnya aku berterima kasih karena telah mengikuti saran dari kamu.”

“ Alahhh… ayolah kita jajan di kantin.”

Kantin sekolah sangat ramai. Memang biasa, setelah pelaksanaan Penilaian Akhir Semester, kegiatan belajar di kelas tidak dilakukan. Bagi para siswa, situasi ini diisi dengan berbagai kegiatan seperti; classmeeting, bercengkerama di kantin, atau sekadar duduk-duduk di taman sekolah.

“ Semester depan, aku mungkin tidak akan sekolah lagi di sini.” Kata Phi tiba-tiba. Dia sedang menikmati segelas es campur.

Sontak saja aku menjatuhkan sendok ke dalam mangkuk.

“ Apa?!”

“ Kalau ayahku jadi pindah tugas. Ya, aku dan keluarga harus ikut pindah juga, kan?”

“ Mudah-mudahan tidak jadi pindah tugas.” Kataku.

“ Yeyyyy.. kamu tidak mau kehilangan aku, ya?”

“ Iya!”

“ Pasti, aku kan orangnya ngangenin dan baik hati, iya gak?”

Sejenak aku tidak berkata apa-apa. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar pindah tugas ke luar kota. Aku tidak ingin kehilangan teman baik, teman yang selalu berbagi ilmu dan selalu memberikan semangat belajar kepadaku. Aku masih penasaran dengan kisah orang-besar besar yang gambarnya ditempel pada dinding kamar Phi.

“ Hey, malah melamun! Kalau aku pindah juga kita tetap berteman. Kita bisa berbagi pengalaman dan mengobrol di media sosial, bukan?” Kata-kata Phi membuyarkan diamku. “ Namun, aku juga sedih sih harus berpisah dengan teman baik seperti kamu. Kita sudah dua tahun setengah berteman, ya.?”

Aku menggangguk.

***

Setelah pembagian rapot, sekolah diliburkan selama dua minggu. Aku dan keluarga mengadakan kegiatan tamasya ke pantai di minggu kedua liburan. Phi juga melakukan hal yang sama.

Melalui pesan obrolan daring, kami tetap berkomunikasi. Kadang diselingi canda dan tawa. Pada saat tertentu, aku dan Phi melakukan panggilan video agar obrolan lebih hidup dan dapat melihat ekspresi masing-masing.

Hari pertama masuk sekolah setelah liburan. Pagi sekali aku datang ke sekolah. Langsung duduk di bangku paling depan yang biasa aku dan Phi tempati. Siswa lainnya satu persatu memasuki kelas. Sampai bel berbunyi Phi belum datang.

“ Mungkin dia benar-benar pindah sekolah..!” Kataku dalam hati.

Semua siswa diam ketika wali kelas kami, Pak Suliantara memasuki kelas. Setelah duduk, beliau berkata.

“ Selamat pagi anak-anak. Semoga liburan kalian selama dua minggu menyenangkan.” Katanya. “ Bapak akan mengumumkan beberapa hal. Pertama, kegiatan belajar di awal semester ini akan lebih banyak diisi oleh materi-materi yang akan diujiankan. Kedua, teman kita Phinkan sudah pindah sekolah ke Surabaya. Bapaknya dipindahtugaskan ke sana.”

Aku tertunduk lesu. Teman-teman yang lain mulai gaduh. Dalam suasana seperti itu, pintu kelas terdengar diketuk. Saat Pak Suliantara membukanya, hampir semua siswa berteriak.

“ Phi?”

Phi melirik kepadaku kemudian tersenyum. Pak Suliantara mempersilakan Phi berbicara di depan kelas.

“ Teman-teman, maafkan aku jika sebelumnya belum sempat berpamitan dulu kepada kalian. Hari ini mungkin hari terakhir kita bertemu. Sekali lagi aku minta dimaafkan jika selama dua tahun lebih ada sikapku yang membuat kalian kurang senang. Aku akan tetap mengingat kalian.” Kata Phi. Kemudian menghampiriku.

Aku dan Phi saling merangkul. Ada air mata menetes di mata kami. Rasa haru dan sedih memenuhi diri kami.

“ Kamu teman terbaikku. Tetap semangat dalam belajar. Nanti akan aku ceritakan kisah orang-orang besar itu melalui pesan obrolan. Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal kepada kamu.” Phi berbisik kepadaku.

Phi berbegas keluar dari kelas, meninggalkan kami. Meskipun diliputi kesedihan, aku telah tergugah oleh motivasi darinya, semangat untuk terus belajar dan mencitai setiap mata pelajaran.

Teringat kembali kata-kata darinya, “kehidupan ini tidak pernah lepas dari angka-angka. Tetesan air mata pun dapat kamu hitung. So, jangan takut dengan matematika karena angka-angka selalu membersamai hidup manusia.”

Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal kepada Phi meskipun entah sampai kapan kami tidak akan berjumpa lagi.

*** Selesai
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Aku dan Phi"