Pada tahun 1980-an, malam pergantian tahun bukanlah momen istimewa bagi masyarakat perdesaan maupun perkotaan di Sukabumi. Tidak ada petasan, pesta jagung bakar, apalagi kemeriahan seperti begadang di luar rumah atau berkumpul sambil menghitung mundur detik-detik pergantian tahun. Malam itu hanya dianggap sebagai malam biasa yang tak berbeda dengan malam lainnya.
Bagi masyarakat perdesaan, pergantian tahun hanyalah penambahan satu angka di akhir kalender, seperti dari 1985 menjadi 1986. Perubahan angka tersebut tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka. Esok hari, mereka tetap melanjutkan rutinitas seperti biasa: pergi ke sawah, ladang, atau melakoni pekerjaan lain yang menjadi tulang punggung ekonomi mereka.
Kesederhanaan ini bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan cara hidup yang berakar dari pola pikir praktis dan sederhana. Nilai-nilai ini diinternalisasikan kepada anak-anak mereka. Mereka diajarkan untuk fokus pada apa yang benar-benar penting dan menghindari kegiatan yang tidak mereka pahami.
Masyarakat perdesaan di Sukabumi memiliki ruang perayaan yang lebih bermakna bagi mereka, seperti malam takbiran atau malam Lebaran. Saat malam Lebaran, suasana benar-benar meriah. Semua orang, dari anak-anak hingga orang tua, tumpah ruah di teras rumah dan masjid. Kegiatan ini memperkuat ikatan sosial sekaligus menjadi ruang spiritual yang penting.
Ruang festival semacam ini lebih relevan bagi masyarakat agraris yang hidup dalam harmoni dengan alam dan tradisi. Pada masa itu, malam pergantian tahun belum dianggap memiliki nilai simbolis atau emosional yang cukup untuk dirayakan.
Perubahan mulai terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, ketika televisi menjadi barang yang semakin umum dimiliki oleh masyarakat perdesaan. Tayangan langsung perayaan malam pergantian tahun, yang sebelumnya hanya dinikmati masyarakat perkotaan, mulai menarik perhatian.
Masyarakat perdesaan yang memiliki televisi mulai begadang untuk menonton siaran tersebut. Perayaan ini sering diikuti oleh libur nasional pada 1 Januari, yang memberikan mereka waktu untuk beristirahat setelah begadang. Periode ini dapat disebut sebagai tahap sosialisasi, di mana masyarakat mulai mengenal konsep perayaan malam pergantian tahun melalui media.
Pada tahun-tahun berikutnya, dengan semakin banyaknya keluarga yang memiliki televisi, jumlah orang yang menyaksikan perayaan malam tahun baru pun bertambah. Anak-anak dan remaja mulai membahas apa yang mereka lihat di televisi, menceritakannya kepada teman-teman, dan mulai memaknai perayaan tersebut sebagai sesuatu yang menarik.
Pada penghujung 1990-an, mereka mulai mengaktualisasikan perayaan ini. Anak-anak muda berjalan-jalan ke pusat kota dan berkumpul di Lapang Merdeka. Mereka berbaur dengan masyarakat lain yang juga baru mengenal konsep perayaan malam pergantian tahun. Kegiatan ini menjadi langkah awal transformasi budaya masyarakat perdesaan menuju pola perayaan yang lebih modern.
Memasuki tahun 2010-an, perubahan semakin terasa. Remaja kampung mulai menciptakan ruang perayaan sendiri di lingkungan mereka. Jalur Lingkar Selatan, yang mulai ramai, menjadi lokasi favorit untuk berkumpul dan merayakan pergantian tahun. Tradisi ini perlahan menggantikan kebiasaan berjalan-jalan ke pusat kota.
Pada tahun 2015-an ini, gaya perayaan yang lebih urban mulai diadopsi. Pesta barbeque menjadi populer, dengan jagung yang dipanggang dan daging yang diasap. Tradisi ini sebenarnya berakar dari masyarakat agraris yang merayakan musim panen dengan pesta makanan. Namun, dalam konteks modern, pesta ini dilakukan pada malam hari menjelang pergantian tahun, sering kali disertai dengan kembang api dan petasan.
Jika ditelusuri lebih jauh, hampir semua perayaan memiliki akar yang sama: pesta-pesta sederhana masyarakat tradisional. Dalam sejarah, pesta barbeque adalah bentuk perayaan agraris yang menggambarkan rasa syukur atas hasil panen. Tradisi ini terus berkembang, bertransformasi, dan menyesuaikan diri dengan konteks zaman.
Meskipun begitu, esensi perayaan sering kali terlupakan. Bagi sebagian orang, pertanyaan tetap relevan: untuk apa sebenarnya kita merayakan pergantian tahun? Apakah hanya untuk bersenang-senang, ataukah ada makna yang lebih dalam yang dapat kita gali?
Transformasi cara masyarakat Sukabumi merayakan malam pergantian tahun mencerminkan dinamika perubahan sosial dan budaya. Dari kesederhanaan tahun 1980-an hingga perayaan yang lebih modern di tahun 2010-an, setiap fase mencerminkan proses adaptasi terhadap perkembangan zaman. Namun, di balik semua perubahan ini, nilai-nilai tradisional tetap menjadi fondasi yang kuat, mengingatkan jangan sampai kita kehilangan identitas dan warisan budaya kita.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 18)"