Kami Makan Jukut Goreng

Keberadaan tempat kuliner di Kota Sukabumi baru marak pada medio pertama awal milenium kedua, sekitar tahun 2005. Kendati sebelumnya di pinggir jalan banyak ditemui penjual nasi goreng, mi goreng, seafood, dan penganan lainnya, keberadaan mereka dapat dikatakan belum dalam skala besar. Penjual makanan seperti ini sering berpindah tempat atau hanya menyediakan beberapa menu saja.

Pada tahun 2005, saat Jalur Lingkar Selatan dari arah Baros sampai Cipanengah telah diaspal sebagai proyek percobaan, beberapa warung dan rumah makan mulai berdiri di sana. Rata-rata menyediakan sate dan sop kambing. Pengaspalan Jalur Lingkar Selatan sebagai proyek pemerintah ini memberi harapan kepada para pebisnis bahwa dalam waktu dekat, tempat tersebut akan lebih ramai dari sebelumnya.

Di Kota Sukabumi sendiri, sampai akhir tahun 90-an, masyarakat mengenal rumah makan seperti Ciwangi, Tumaritis, dan beberapa tempat makanan cepat saji. Namun, keberadaan rumah makan seperti ini sepertinya tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat umum. Restoran atau rumah makan dengan kaca hitam yang sulit ditembus pandang membentuk kesan eksklusif. Konsumen pun berpikir, tempat seperti ini hanya cocok bagi kalangan kelas atas.

Orang Kota Sukabumi lebih memilih nongkrong di Bandros Ata karena lebih terbuka meskipun tempatnya tidak terlalu besar, hanya memanfaatkan pinggir jalan. Keberadaan pusat kuliner di Jalur Lingkar Selatan dengan format lesehan menarik minat masyarakat. Mereka merasa lebih leluasa menikmati hidangan, bisa sambil selonjoran, tiduran, dan tidak merasa kaku. Dalam psikologi konsumen, mereka ingin merasa seperti raja.

Apa yang terjadi di Jalur Lingkar Selatan akhirnya merambat dan mulai diadopsi oleh pebisnis kuliner di pusat kota. Sekitar tahun 2008-an, mulai muncul kuliner Sekoteng Singapura dengan ciri khasnya, di mana konsumen bisa memilih duduk di kursi atau di atas tikar. Setiap malam tempat itu selalu penuh sesak.

Konsep tempat kuliner dengan format lesehan semakin semarak dan menjadi pilihan bagi warga kota. Urat nadi perkotaan pun menjadi lebih hidup, mengalir kencang dari petang hingga malam hari. Cikal bakal street food di Jalan Sudirman yang berdiri sekitar tahun 2008 ini semakin ramai, terutama pada minggu terakhir bulan puasa.

Akar sejarah kota ini memang tersaji demikian. Kawasan Ahmad Yani sampai Sudirman telah menjadi sentra kuliner sejak dulu, apalagi daerah ini bersinggungan langsung dengan alun-alun kota. Sampai hari ini, kawasan Sudirman telah berkembang menjadi sentra kuliner street food. Konsumen merasa diakui dengan kehadiran pusat kuliner terbuka yang menjadi ruang inklusif bagi mereka, bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk nongkrong sambil bersenda gurau.

Jukut Juga Dapat Dimakan

Sebelum tahun baru (2025), saya bersama Tim Dokumentasi Pimpinan Setda Kota Sukabumi menyempatkan makan siang di Sunda Neira, tempat kuliner baru yang ada di Jalan Gudang. Sejak pembukaannya, tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh konsumen dari berbagai kalangan. Bukan hanya menyediakan berbagai menu, konsumen juga diberikan keleluasaan untuk memilih makanan yang diinginkan.

Ada makanan bernama Jukut Goreng. Dalam imaji saya sebagai orang Sunda, jukut berarti rumput. Saya sempat berkata kepada Bu Ochi dan Bu Esti: “Wah, benar-benar ya, di pusat kota mah, jukut pun bisa dijadikan uang!” Setelah saya amati, ternyata Jukut Goreng ini terbuat dari selada air yang digoreng, bukan rumput Jajampangan yang digoreng.

Artinya, di pusat kota dan dunia modern, nama memang memiliki pengaruh besar terhadap rasa penasaran konsumen. Di perkampungan dan daerah rural perdesaan, jukut dalam arti rumput tentu saja hanya disajikan untuk kambing dan hewan memamah biak lainnya.

Ini menunjukkan bahwa orang modern tidak kehilangan akal untuk memanipulasi cita rasa konsumen hanya dengan penamaan makanan. Rasa penasaran itulah yang menyebabkan saya dan Tim Dokumentasi Pimpinan menghabiskan Jukut Goreng dengan lahap.

Jukut Goreng kedua saya nikmati hari ini saat makan siang dengan Tim Dokumentasi Pimpinan di Rumah Makan Bu Entin. Tempat kuliner ini terletak di Jalan Sudirman, tak jauh dari Street Food Sudirman. Menulis tentang kawasan Sudirman membawa saya pada pikiran tentang SCBD (Sudirman Central Business District) di Jakarta, sebuah tempat elit di sana.

Beberapa waktu lalu sempat ramai istilah Mbak-Mbak SCBD, para perempuan yang bekerja di perkantoran SCBD. Ketenaran mereka bukan hanya terletak pada gaji bulanan yang berkisar Rp10 juta hingga Rp30 juta, tetapi juga pada gaya sosialita mereka. Mulai dari ponsel, aksesori, hingga fashion yang mereka kenakan menjadi acuan bagi pegawai perempuan lainnya.

Namun tentu saja, kawasan Sudirman di Kota Sukabumi berbeda dengan SCBD Jakarta. Kawasan Sudirman di sini hanya menawarkan kuliner siap saji, di mana konsumen dapat memilih langsung, termasuk menikmati Jukut Goreng yang rasanya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sunda Neira.

Dunia modern, peralihan dari rural perdesaan ke urban perkotaan, memang telah menyalin data dari kota-kota besar dan mengaktualisasikannya di daerah. Dengan format yang tepat, seperti lesehan, pusat kuliner berhasil memikat perhatian konsumen secara inklusif.

Di zaman ini, orang kampung dan desa tidak lagi berpikir bahwa rumah makan hanya disiapkan untuk pelancong kelas atas. Tempat kuliner telah menjadi ruang bersama, kolaborasi antara makanan yang disajikan, obrolan, dan canda tawa pengunjung.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Kami Makan Jukut Goreng"