Para Ibu Penjual Sayuran

Ada hari ibu, dirayakan setiap tanggal 22 Desember. Ini bukan tanpa alasan, dirayakan pada tanggal tersebut bukan alasan mendasar kenapa harus ada hari ibu. Alasan krusial harus adanya hari Ibu adalah karena Ibu memang pantas dimuliakan, disebut-sebut, bahkan bukan pada tanggal ini saja.

Di kampungku, ada sekelompok ibu-ibu, memiliki profesi sebagai para penjual sayuran. Bagi mereka, menjadi penjual sayuran, bisa jadi bukan keinginan idealnya, namun mereka pun memiliki pilihan dalam hidup. Maka, profesi sebagai penjual sayuran pun mereka pilih, sebagai jalan hidup.
Udara masih dingin - dalam tradisi Sunda -baru menunjukkan 'wanci janari leutik' -dini hari-. Dari jalan sebelah selatan, kampung Pangkalan, para ibu bercaping bambu, membawa wadah pembawa sayuran pada punggung mereka, para ibu penjual sayuran itu muncul. Berjalan cepat, memburu sebuah terminal angkutan umum di Utara Balandongan.

Seorang penjual sayuran yang telah memilih profesi tersebut sejak tahun 1980-an bernama Iyah. Saat ini, usianya sudah hampir mencapai 70 tahun, namun semangat untuk mengais rejeki masih tetap terpancar dalam dirinya. Sampai tahun 2002 dia masih menggunakan jalan kecil yang menghubungkan Cicadas-Balandongan untuk sampai ke terminal angkutan umum. Hingga jalan Cicadas diaspal, perempuan itu telah memutuskan untuk menunggu angkutan umum melintas di jalan tersebut saja. Sekarang, angkutan umum sudah bisa masuk ke jalan itu dibandingkan dengan sebelas tahun lalu.

Beberapa ibu penjual sayuran pernah Saya wawancarai. Dari penjualan berbagai sayuran, rata-rata mereka bisa menghasilkan laba antara Rp. 30.000,-hingga Rp.60.000,-. Hal ini tergantung habis atau tidaknya sayuran yang mereka jual. " Tidak terlalu berat, saya butuh waktu 4 jam menjual sayuran hingga habis lalu meraih keuntungan." Kata salah seorang penjual sayuran. " Namun tentu saja ada harga mahal yang harus saya terima. Saya tidak bisa melayani keluarga seperti; menyiapkan sarapan atau menyiapkan keperluan anak-anak yang akan berangkat sekolah."

Rute penjualan sayuran yang mereka lalui berbeda-beda. Tetapi mereka lebih memilih mengambil areal perumahan sebagai rute penjualan sayuran. " Mengambil rute penjualan sayuran ke perumahan umum lebih enak, sayuran biasanya akan lebih cepat laku." Ungkap salah seorang penjual sayuran.
Berbeda dengan para penjual sayuran lainnya, Iyah lebih memilih memasarkan sayuran di kampung saja. Jika pergi ke pasar pukul 02.00 WIB, menjelang subuh, perempuan itu sudah menggelar dan memilah-milah sayuran di terminal angkutan umum.

PROFESI MULIA PARA IBU

Menjadi penjual sayuran merupakan bentuk ikhtiar para ibu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. " Lumayan, untuk nambah-nambah penghasilan selain penghasilan dari suami." Aku beberapa ibu.

Setelah reformasi, para perempuan itu sempat mengaku entah harus diteruskan atau tidak usaha menjual sayuran tersebut. " Harga-harga semakin mahal, kadang tidak pasti. Tapi apa boleh buat, saya perlu uang, ya usaha ini dijalani saja, walaupun penghasilannya tidak sebesar sebelum reformasi."
Sebelum tahun 1998, diakui oleh mereka, nominal Rupiah yang dihasilkan kisaran Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- saja. " Tapi dengan penghasilan itu terasa lebih besar dari penghasilan saat ini." Memang benar, uang ternyata tidak sekadar nominal, lebih dari itu, uang memiliki nilai yang akan selalu berubah dari waktu ke waktu.

Keteguhan dan kesabaran para perempuan penjual sayuran itu menjadi alasan betapa mulianya profesi mereka. Jika Saya dipaksa untuk membandingkan dengan profesi-profesi lain yang dilakukan oleh sebagian besar dari kita, profesi mereka masih lebih baik di atas kita, sebab mereka begitu merdeka. Profesi mereka tidak dikejar target, tidak seperti para pekerja di beberapa manufaktur dan pabrik. Kecuali itu, sedikit sekali perempuan yang berani mengambil resiko menjadi pedagang sayuran. Sebuah pekerjaan yang lebih layak dilakukan oleh suami mereka. [ ]

KANG WARSA | SUKABUMI DISCOVERY
Dikirim Melalui Blackberry

Posting Komentar untuk "Para Ibu Penjual Sayuran"