Memperbaiki Sistem dengan Etika


Tidak sedikit, orang memperdebatkan sistem pemerintahan dan bentuk negara. Kadang perdebatan tersebut mengarah kepada hal kurang sehat.

Sejak era Plato memang telah muncul perdebatan mengenai hal ini. Namun perdebatan tentang sistem pemerintahan dan bentuk negara lebih santun dan terjadi di ranah akademik.

Munculnya perdebatan terhadap masalah ini disebabkan oleh: sebagian orang menganggap, sistem yang sedang berjalan sudah tidak layak digunakan, sistem baru harus diciptakan. Padahal sistem baru tersebut merupakan hasil dari sebuah siklus kehidupan.

Mempertahankan sistem yang telah mapan akan lebih penting di era keterbukaan ini daripada sekadar mengubah sistem dengan hal baru. Sebab, perubahan sistem harus dilakukan dengan cara ‘gahar’, misalkan revolusi.

Hal yang lebih santun dalam revolusi, seperti reformasi, seperti telah mengubah sistem dari sentralisasi ke desentralisasi, namun faktanya dua sistem tersebut tetap asing bagi masyarakat Indonesia. Bukan tidak mau belajar, karena hal penting dalam kehidupan masyarakat adalah bagaimana mereka bisa mengenyam pendidikan gratis, atau bisa makan pagi dan sore.

Saya juga percaya, sikap dan tabiat pemerintah serta kaum elit dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Misalkan, sentralisasi kekuasaan di era Orba telah membawa para elit di negara ini pada kamuflase pengabdian. Daerah harus manut dan patuh kepada pusat. Alasan klise adalah pemerataan pembangunan.

Jika menggunakan rumus terbalik, x=y, pemerataan pembangunan untuk rakyat, artinya pemerataan pembangunan untuk ‘pejabat’.

Orde Baru hanya melanjutkan sistem yang telah diterapkan oleh Orde Lama. Kedua ranah itu berbeda hanya karena dipengaruhi oleh kondisi negara waktu itu. Bung Karno mencetuskan semangat revolusi, ini wajar karena negara sedang ada dalam fase transisi.

Sementara Soeharto mengedepankan semangat pembangunan ekonomi, dan bagi Saya ini merupakan kelanjutan dari revolusi ekonomi Soekarno. Kejelian Soeharto adalah, keruntuhan ekonomi, inflasi tinggi, dan kelangkaan pangan menjadi penyebab jatunya rezim Orde Lama.

Yang dibutuhkan oleh rakyat bulan janji dan pembuatan monument, kecuali sandang, pangan, dan papan. Maka begitu aneh, ketika melihat fakta, negara ini berlimpah dengan kekayaan, namun masih ada bencana telaparan di tahun 1950-an.

Fantasi yang bisa menina-bobokan rakyat pada masa-masa sulit adalah menyebarkan sebuah ideologi baru. Ideologi yang akan mementingkan keperpihakan kepada rakyat. Sebetulnya, bukan ideologinya yang lebih bagus dari ideologi lain, namun karena disampaikan penuh retorika dan pada waktu yang tepat, maka respon dari rakyat terhadapnya begitu bagus.

Sejak diterbitkan buku The Clash of Civilization paska perang dingin dan akan jatuhnya negara-negara Komunis Eropa Timur, demokrasi liberal telah semakin mengokohkan pijakannya. Saat itu, pemerintah Indonesia menolak jika di negara ini ditegakkan demokrasi liberal, sebab Indonesia pun telah memiliki demokrasi yang lebih arif dan bijaksana, demokrasi pancasila. Dengan bahasa lain, demokrasi pancasila adalah rangkuman dari dua sistem, liberal dan komunis.

Telaah Huntington dalam The Clash of Civilization menyoal, peradaban yang akan tetap bertahan hingga akhir abad ke 21 adalah sebuah peradaban yang ditegakkan pada landasan etika. Ini memang pesan tersembunyi, artinya, peradaban dibentuk oleh manusia-manusia beradab, hanya dengan cara diisi oleh manusia-manusia beradab lah sistem apa pun akan berjalan dengan normal dan baik.

Benang merahnya, ketika kondisi masyarakat dipenuhi oleh potensi-potensi kejahatan, korupsi menjadi satu budaya, tontonan criminal menjadi acara keseharian kita, jangan lantas kita menyalahkan sistem yang ada, makanya harus diganti dengan sistem baru. Negara ini bukan sebuah mesin sederhana, jika mogok kemudian dibawa ke bengkel dalam waktu sekejap bisa berjalan lagi.
Hal penting dalam kehidupan bernegara saat ini, bukan mengganti sistem pemerintahan dan bentuk negara dengan hal lain, kecuali memperbaiki diri sendiri dan warga negara sebagai pelaksana sistem tersebut.

Orang banyak menyebut, bentuk khilafah akan membawa negara dan ummat pada kemajuan. Jika mengamati perkembangan sejarah. Kekholifahan Islam memiliki dua hal berbeda, jaman keemasan dan kemunduran. Akar penyebab keemasan karena kekholifahan ditunjang oleh manusia-manusia yang lebih mementingkan ilmu, tenaga pendidik diberi gaji besar oleh negara.

Dan akar penyebab kemunduran kekhilafahan Islam adalah semakin akutnya hedonisme dalam diri kaum elit dan bangsawan. Kejatuhannya pun berbanding sama dengan revolusi Prancis yang menggantikan bentuk monarki absolut karena raja dan kaum bangsawan lebih mementingkan hura-hura, pesta, dan perang dari sekadar memikirkan kesejahteraan rakyatnya sendiri.

Tetap saja, manusia lah sebagai penentu perubahan kea rah yang lebih baik. Sebuah mobil jelek, jika dikendalikan oleh seorang montir atau insinyur mesin seperti Si Doel, itu akan lebih baik, daripada mobil mewah dimiliki oleh orang gila. Rasio dan akal sehatlah yang akan membawa bangsa ini pada kemajuan.

Jika demikian, Anda penganut rasionalisme , dong? Tanya seorang kawan. Saya hanya menjawab, “ Ndak perlu kamu berlebihan, tidak semuanya orang rasionalis itu Kafir kok.!”

Kenapa Saya memunculkan kata kafir, sebab di masyarakat kita masih menjamur menyebut kebaikan dari orang lain disebut, kebaikan dari kafir. Ya, bukan pada orang dan pahamnya saja, kepada orang yang telah dengan jelas mengucapkan syahadat pun masih berani menyebut kafir. Cara pandang seperti ini harus diperbaiki. Sistem yang sedang berjalan di negara ini pun, pada suatu waktu pernah disebut sebagai sistem jahiliyyah, thogut, atau sebutan lain.

Mereka lupa satu hal, Rosulullah tidak pernah mengganti sistem lama dengan hal baru dalam persoalan politik. Rosulullah hanya memperbaikinya dari sistem ashobiyyah klanisme menjadi ashobiyyah yang egaliter. Yang dilarang oleh Rosulullah adalah berlebihan dalam ashobiyyah, menganggap ras lain lebih rendah dari kita. Analoginya, menganggap orang lain lebih kafir dari kita pun merupakan bentuk ashobiyyah baru.

Tapi Rosulullah membangun negara dengan sistem ilahiah, politik dan agama tidak boleh dipisah! Agama dan politik tidak bisa dipisah memang harus, karena agama mengajarkan manusia agar lebih beradab dari binatang. Spirit dan nilainya yang harus ditanamkan. Saat orang beragama menjadi terpilih baik menjadi anggota legislative atau pun eksekutif kemudian melakukan tindakan ceroboh seperti gemar memfitnah dan merasa diri paling suci, apakah nilai dan spirit agama masih bisa disematkan kepada mereka? Sama sekali tidak. Karena agama tidak pernah mengajarkan bagaimana cara memfitnah dan menguras kekayaan negara ini demi kepentingan golongan.

Ihdinash shiroothol mustaqiim, Ya Alloh, kami memohon diberi petunjuk ke jalan yang lurus. 

Kang Warsa 

Posting Komentar untuk "Memperbaiki Sistem dengan Etika"