Sumber Photo: historum.com |
Kaki kita saat ini, akan berada di antara perbatasan kehidupan, menjadi pemain atau penonton. Terlibat langsung atau sama sekali tidak terlibat, kehidupan tetap akan membawa kita pada sebuah aliran, entah deras atau tenang. Bisa jadi, politik dan kekuasaan pun seperti ini.
Dalam kekuasaan – sejak fajar sejarah manusia lahir -, siapa pun yang ada diperbatasan tersebut entah terlibat sebagai pemain atau penonton, dia akan terkena imbasnya. Satu waktu, para pelaku kebaikan pun akan kehilangan waktu untuk sekadar memikirkan bagaimana cara bersikap baik kepada sesama, demi kekuasaan.
Artinya, ketika kekuasaan diagungkan melebihi apa pun, sikap baik dan kebaikan itu sendiri akan menjadi samar, buram, kemudian teramputasi oleh semangat “tata cara” mengelabui agar kekuasaan bisa diraih. Fondasi dalam agama yang kokoh pun, ketika politik dan kekuasaan telah menjadi warna kehidupan agan mati secara perlahan.
Pasca kematian Rasulullah, saat suksesi kepemimpinan diberikan kepada Abu Bakar Shidiq dalam format yang berbeda dengan tata kelola kekuasaan di zaman Rasulullah, keterliban dan ketidak terlibatan ummat dalam panggung kekuasaan mulai terlihat.
Rengkuhan hasrat politik dan kekuasaan ini melahirkan kelompok ‘pewarta’ , pemberi informasi, penasehat kepada pemimpin dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pewartaan ilahiyyah yang tercantum dalam wahyu tentang keharusan menjaga kebersamaan dan ukhuwah tercabik oleh pewartaan manusiawi: kita sebagai in-group dan mereka sebagai out-group.
Pengkotakan ummat dalam batas-batas kehidupan antara terlibat, tidak terlibat, loyalis, dan pembangkang telah menghancurkan sekalipun fondasi utama keagamaan. Saat Utsman Bin Affan menjadi kholifah, muatan-muatan khutbah kecuali diisi oleh nilai-nilai spiritual juga diimbangi oleh berbagai hasudan terhadap kelompok yang mereka anggap sebagai pembangkang. Tata cara sholat khutbah dari sholat dulu kemudian pembacaan khutbah pun mengalami morfologi serius menjadi pembacaan khutbah dulu kemudian dilanjutkan dengan sholat dua rakaat. Riwayat dari Ibnu Said memaparkan ketika Mush’ab memohon untuk mendirikan Sholat Jum’at di kalangan Kaum Anshar, Rasulullah menjawab: ‘Tentukanlah hari setelah orang Yahudi berkumpul pada hari Sabtu. Jika matahari bergeser condong ke arah Barat maka shalatlah dua rakaat dan berkhutbahlah untuk mereka’.
Sudah tentu, dalam kehidupan berpolitik hal ini menjadi lumrah dan biasa. Karena kejadian seperti ini, terjadi perombakan besar-besaran dalam kehidupan tata keagamaan sudah jauh terjadi sebelumnya ketika politik dan kekuasaan lebih mendominasi kehidupan daripada nilai spiritual. Bagaiamana kuatnya cengkraman pewartaan seorang Sengkuni terhadap para Kurawa agar berbuat culas dengan cara menjebak Pandawa. Persaudaraan dalam kehidupan yang dikuasai oleh kekuasaan menjadi luluh, para Pandawa –para pembuat kebajikan – pun terjebak ke dalam permainan judi.
Kekuasaan mampu mengubah hari dan tanggal lahir manusia-manusia suci demi alasan untuk mempertahankan tradisi leluhur yang telah dipegang teguh oleh sebuah suku bangsa. Hari lahir Isa Al-Masih disamakan dengan hari kelahiran Dewa Matahari yang telah sekian lama diyakini oleh Kerajaan Romawi Kuno. Hari pembunuhan Husein di Karbala diperingati dengan cara menyakiti diri sendiri hingga berdarah-darah di kepala oleh kaum syiah. Nurani dan akal sehat pun hancur.
Perpaduan kekuasaan yang menguasai tata keagamaan, meskipun sulit diterima oleh akal dan budi akan tetap dikagumi dan diperlakukan sebagai hal yang sacral oleh siapa pun. Sebab, keyakinan manusia terhadap nilai dan tata keagamaan yang terbalut intrik politik begitu tipis hingga tampak tidak memiliki batas, karena begitu piawainya para pewarta, penghasud, dan pembuat opini dalam memformulasikan ide hingga perbatasan antara baik dan benar menjadi samar.
Bahkan, jika tabir perbatasan ini dibuka – baik secara bijak atau pun cara dipaksa – semua orang akan memusuhi si pembuka tabir perbatasan. Sebab, perbatasan tidak boleh diotak-atik meskipun tidak terlihat jelas. Semua kaki harus tetap berdiri pada batas-batas tersebut, terlibat atau pun masa bodoh terhadap keadaan.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Kekuasaan dan Hasudan"