Golkar dan Munas

Kemarin, rapat pleno DPP Partai Golongan Karya berjalan ricuh. Hal ini menyebabkan Yorrys Raweyai, Ketua AMPG – salah satu organisasi sayap Golkar – dipecat seketika.

Kenapa Golkar ricuh,? Padahal jika melihat track record partai berlambang pohon beringin ini sudah bisa disimpulkan sebagai partai yang telah matang baik dalam segi usia maupun program-programnya.

Apa hanya karena persoalan penentuan lokasi Munas saja yang menjadi penyebab kericuhan; bukan sekadar perang mulut dan teriakkan, hingga pada saling lempar dan tindakan fisik lainnya. Dalam pandangan siapa pun tidak mungkin hanya karena persoalan penentuan lokasi kemudian rapat pleno harus diwarnai dengan kerusuhan- fisik.

Ada persoalan prinsipil yang menjadi alasan kenapa terjadi kekisruhan di tubuh Golkar.

Partai Golongan Karya tampil sebagai partai nomor ke-dua dalam perolehan suara Pemilu 2014, menjadi lokomotif suksesnya membangun KMP. KMP sendiri lahir dari gabungan partai Politik yang mengusung Prabowo-Hatta pada pilpres 2014.

Di dalam tubuh parlemen negara ini, terjadi dua kubu bersikukuh untuk melakukan koalisi permanen, koalisi dua kubu melahirkan partai-partai yang pro kepada pemerintah dan partai-partai yang berada di luar pemerintah. Semakin mengerucut dalam bingkai KMP dan KIH.

Fakta yang terjadi adalah; sebagai lokomotif KMP yang berada di luar pemerintahan, Golkar telah berani melawan tradisi dan kebisaaan partai (tradisi sebagai partai pemerintah). Sejak berdirinya, Golkar selalu menjadi partai pemerintah, apalagi jika melihat fakta sejarah selama 30 tahun orde baru berkuasa.

Fakta kedua, sebagai lokomotif dan jiwa KMP, Golkar telah menjadi rebutan partai determinan di dua kubu tersebut; NasDem dan Gerindra. Kekisruhan dalam tubuh Golkar pra Munas ini sudah pasti disebabkan oleh tarik -menarik; orang-orang eks Golkar yang berada di dalam tubuh dua partai tersebut; Surya Paloh dan Prabowo.

Berbeda dengan lima tahun sebelumnya, Munas Golkar tahun ini kemungkinan besar akan diikuti oleh lima hingga tujuh kandidat. Akbar Tandjung memandang, MS Hidayat sebagai calon atau kandidat yang lebih baik memimpin partai lima tahun ke depan. Menyelamatkan partai lebih baik dari sekadar menyelamatkan koalisi di KMP. Sebab, telah menjadi tradisi Golkar, keberhasilan partai diukur dari berhasil atau tidaknya partai dalam mengawal pemerintah.

Ical bersikukuh, KMP sebagai bentuk komitmen partai terhadap rakyat harus tetap dipertahankan hingga lima tahun ke depan. Untuk hal inilah, kepentingan Ical dalam pencalonan Ketua Umum Partai Golkar begitu jelas.

Hingga, persoalan pengambilan lokasi Munas pun harus diakhiri dengan riuh gemuruh dan gempita, ada lemparan gelas segala. Sebab, penempatan lokasi Munas akan berdampak pada kalah atau menangnya masing-masing kandidat Ketua Umum. DPP Partai Golkar – karena masih dipimpin oleh Ical – mengambil Bali sebagai lokasi Munas karena dinilai akan mampu mensterilakn ketua-ketua DPD I sebagai voter dalam pemilihan Ketua Umum Golkar.

Hanya saja, elit-elit partai Golkar telah memiliki kematangan dalam memainkan sebuah skenario, apa yang terbaca dan terlihat sampai saat ini bisa menjadi fakta sebaliknya. Tokoh-tokoh seperti JK, Akbar Tandjung, dan Muladi merupakan elit-elit Golkar yang selalu bisa membaca situasi, keadaan, kapan harus bertindak dan kapan harus diam.

Demi penyelematan partai, bisa saja Ical terpilih atau tidak akan terpilih kembali pada Munas nanti. Atau ada kandidat lain, yang akan meregenerasi partai berlambang beringin ini, seorang tokoh muda, namun didukung oleh tokoh-tokoh senior Golkar.

Untuk hal inilah, Saya selalu konsern membaca gerak dan sepak terjang partai berlambang beringin ini sejak Orde Baru hingga sekarang.[ ]

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Golkar dan Munas"