Latar belakang pemicu munculnya ketegangan Indonesia - Malaysia di era Orde Lama disebabkan oleh campur tangan Malaysia terhadap entitas penting kedaulatan negara Indonesia. Lebih jauh, Malaysia sebagai negara persemakmuran Inggris sudah pasti akan mengikuti induk semangnya, Malaysia tidak lebih dari sebuah negara satelit yang akan ikut berputar ke mana saja arah negara induk bergerak. Pidato Bung Karno cukup berapi-api terhadap sikap Malaysia, sebuah sikap ketidak ajegan negara dalam memandang persoalan yang lebih global. Cukup sederhana, Bung Karno hanya memberikan sebuah pertanyaan kepada negara jiran tersebut: " Apa yang telah diberikan kepada dunia oleh Malaysia, apa? Tidak ada!"
Beberapa negara di ASEAN di penghujung tahun 1960-an sebenarnya mulai belingsatan. Pengaruh perang dingin dua blok antara Barat Kapitalis dengan Timur Komunis memiliki pengaruh besar terhadap kondisi ASEAN di akhir tahun 60-an. Posisi strategis Indonesia memiliki peran besar bagi dua blok tersebut. Malaysia, Singapura, dan Philipina dengan sikap malu-malu, sebenarnya telah lebih memilih untuk mengikuti negara-negara Barat. Latar belakang penjajahan tidak bisa dihindari. Sementara negara-negara Indo China di ASEAN telah lebih dulu disentuh oleh ideologi komunisme. Indonesia merupakan negara paling ajeg saat Orde Lama berkuasa karena ditunjang oleh beberapa faktor; kemerdekaan negara ini sebagai hasil revolusi baik fisik maupun pemikiran, akar historis bangsa ini memiliki kisah lebih panjang dari negara-negara serumpun di kawasan ASEAN. Indonesia merupakan negara dramatis dari abad ke abad.
Hingga kekuasaan Orde Lama jatuh. Kejatuhannya pun – dalam beberapa teori – disebabkan oleh konspirasi Barat dalam menyulut pertikaian politik internal di Indonesia. Ranah politik telah melebarkan akibatnya pada sektor-sektor penting kehidupan, terutama pada persoalan ekonomi. Seberapa hebat pidato Bung Karno berapi-api pun, tidak bisa mengakhiri kemepetan kebutuhan rakyat akan sandang, pangan, dan papan. Cerita tentang kehebatan Bung Karno, keberanian dalam bersikap dan berpidato terhempas oleh resesi keuangan, inflasi besar-besaran terjadi. Kemegahan Monumen Nasional dan Gelora Bung Karno yang dibangun pada masa Orde Lama, sulit untuk menjawab betapa sukar rakyat mendapatkan makanan yang layak. Peradaban kembali ke titik nol meskipun infra struktur dibangun secara permanen.
Pemerintahan Baru, Orde Baru memiliki kewajiban mengembalikan kembali kondisi Indonesia dari titik di bawah 0 kepada keadaan stabil di berbagai bidang kehidupan. Setelah membereskan kondisi di dalam negeri, Soeharto bersama pemerintahan Orde Baru membangun tatanan negara, kestabilan politik dan ekonomi menjadi bidikan utama. Ada loncatan besar yang dilupakan oleh sejarah. Neo Kolonialisme mulai tumbuh dengan baik di negara ini di dekade pertama pemerintahan Orde Baru. Sebab, Orde Baru lebih fokus pada pembenahan dan peningkatan perekonomian dan kestabilan politik. Neo Kolonialisme memiliki bidikan baru dalam hal penjajahan, tampil sebagai partner dan kawan sambil mencari keuntungan lebih dari kawan, tidak dalam waktu singkat namun dalam jangka panjang.
Orde Baru memang terlalu lambat dalam membaca pertanda serangan bertubi-tubi dari kelompok Neo Kolonial. Ambivalensi besar ketika menghadapi negara-negara Neo Kolonial adalah karena belum siapnya negara ini dalam menghadapi persaingan, sumber daya manusia masih di bawah negara-negara maju, meskipun pada dasarnya Indonesia memiliki keunggulan dalam hal kuantitas penduduk. Bahkan lebih dari itu, Indonesia masih jauh meninggalkan negara-negara tetangga dan Asia dalam hal kematangan pemikiran. Hanya saja, teori hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci sering menyebutkan, tekanan dan intervesi akan diberikan secara berlebihan terhadap negara-negara yang memiliki dua hal pokok; sumber daya alam dan sumber daya manusia oleh Negara pemegang hegemoni. Keterlambatan Indonesia dalam membaca pertanda ini mengakibatkan beberapa sumber daya alam strategis mudah dikuasai oleh negara-negara maju.
Satu dekade pemerintahan Orde Baru, kesadaran baru tumbuh, kerjasama regional yang terabaikan selama dua dekade kembali dibangun oleh negara-negara ASEAN. Negara-negara yang memiliki kesamaan latar belakang tersebut kembali memberikan sinyal kepada dunia, kerjasama sebagai bentuk pertahanan dalam berbagai sektor kehidupan harus dibangun kembali. Bukan hanya persoalan politik,karena di era perang dingin, persoalan sebenarnya lebih terfokus pada bidang ekonomi, budaya, dan pendidikan. Kerjasama negara-negara ASEAN di tahun 1970 lebih difokuskan pada tiga hal tersebut dengan tidak mengabaikan bidang politik dan keamanan. Entusiasme negara-negara ASEAN dalam hal kerjasama ini terbentuk di akhir tahun 1970-an. Misalkan, Malaysia mengirimkan beberapa pelajarnya ke negara ini. Universitas-universitas di negara ini dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa negara ASEAN,
Dalam bidang kebudayaan, pada awal tahun 1980-an, dijalin kerjasama penyiaran televisi antara TVRI dengan RTM, jalinan seni dan budaya dalam program 'Titian Muhibbah' ditayangkan oleh TVRI dan RTM secara langsung setiap Sabtu malam, pukul 20.00 WIB. Pentas musik, lagu, dan hiburan, serta budaya-budaya daerah dari kedua negara ditampilkan saling bergantian, penikmat televisi menyaksikan program tersebut dari kota hingga pelosok. Pemerintah Orde Baru telah menjadikan televisi selain sebagai corong propaganda juga sebagai media pendidikan budaya bagi pemirsa.
Melalui program 'Titian Muhibbah ' ini, warga negara di kedua negara semakin merasa lebih dekat, ikatan berdasarkan kesamaan rumpun sebagai bangsa Melayu, kemiripan bahasa, dan tentu saja agama menjadi entitas penting dalam membangun ikatan emosional ini. Budaya Timur menjadi tuan rumah di negerinya sendiri setelah satu setengah dekade, negara ini digempur habis-habisan oleh budaya-budaya Barat, dari cara berpakaian hingga gaya hidup. Di tahun 60-70-an, generasi saat itu tentu mengenal gaya rambut 'Betel' adopsi dari kelompok musik asal Liverpool, The Beatles. Meskipun, sebetulnya, Barat tetap telaten menularkan budaya mereka tanpa henti, gurita bisnis hiburan memang sulit dibendung dengan cara apa pun.
Paling tidak, program kerjasama 'Titian Muhibbah' antara kedua pemerintah bisa mejadi salah satu jawaban bahwa negara-negara di ASEAN memiliki budaya sendiri yang harus dihormati oleh warga negaranya. Di tahun 1984, program tersebut meluas, diikuti bukan oleh dua negara saja, Brunei Darussalam pun tidak ketinggalan menampilkan pentas seni dan budaya yang mereka miliki. Lagu-lagu dari negeri jiran mulai tidak asing lagi di telinga orang Indonesia, pun sebaliknya, lagu-lagu Indonesia mulai merambah ke negeri tetangga. Keuntungan diraih oleh dapur-dapur rekaman negara ini.
Kelesuan industri rekaman di Indonesia terjadi di penghujung tahun 1980-an. Disebabkan oleh banyak faktor, antara lain; musik dalam negeri hanya bertahan pada segmen dangdut, musik pop bukan tidak diminati, namun artis-artis dangdut lebih mendominasi pasar musik dalam negeri. Peluang ini dimanfaatkan oleh industri musik Malaysia. Kelompok Band asal Malaysia mulai mengalir, generasi 70 dan 80-an tentu akan mengingat Isabella, sebuah lagu yang sangat popular dan digemari oleh kalangan anak-anak dan remaja. Tiga bulan kemudian, lagu-lagu dari Amy Search dirindukan kehadirannya. Lagu-lagu Malaysia menyisir lapisan industri musik negeri ini. Iklim, UK's, Saleem, Wings, Ella, dan kelompok musik asal Malaysia lainnya telah dikenal dekat oleh remaja Indonesia. Akhir dari hegemoni musik-musik Malaysia terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, saat bermunculan band-band baru di negeri ini, berbanding lurus dengan berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta. Televisi swasta secara langsung berhasil mengangkat kembali musik dalam negeri menjadi tuan di negara sendiri.
Stagnasi kerjasama program di bidang budaya antara Indonesia Malaysia berlangsung selama satu dekade. Pada tahun 2004 -2011, tiba-tiba sentimen masa lalu muncul kembali. Di berbagai media dan forum internet bermunculan luapan-luapan sarkastik, Gayang Malaysia! Mulai diungkapkan kembali oleh orang-orang di negeri ini karena sikap Malaysia dalam mengklaim budaya terlihat begitu arogan dengan membajak beberapa seni dan budaya warisan leluhur negara ini. Gejolak tidak sebatas pada ranah budaya, Malaysia terlalu sering melakukan provokasi politik dalam hal wilayah perbatasan dan Zona Ekonomi Ekslusif. Kemudian, dendam itu memasuki ranah olahraga, sebuah turnamen yang seharusnya ditunjang oleh sikap sportif dan fair dinodai oleh kemeriahan olok-olok dari dua supporter.
Tapi, Malaysia terus berpikir. Jika pada tahun 1970-an mereka menyekolahkan warga negara mereka ke Indonesia. Di awal tahun 2000, Malaysia mengubah paradigma pendidikan mereka. Bagi negara jiran tersebut, kemajuan sebuah negara ditunjang oleh seberapa besar warga negaranya bisa mengenyam pendidikan dan mendapatkan fasilitas pendidikan dari pemerintah. Malaysia melakukan pertukaran mahasiswa lebih gencar ke negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia. Pelajar berprestasi diberi pilihan memilih universitas-universitas di Eropa, Amerika, dan Australia. Pembenahan infrastruktur di wilayah perbatasan dilakukan oleh Malaysia secara sistematis dan benar-benar terstruktur, mereka meyakini, wilayah perbatasan merupakan halaman sebuah negara, jika tidak dibenahi, maka pada saatnya nanti halaman rumah tersebut bisa direbut oleh negara tetangga.
Paradigma Indonesia berbeda dengan Malaysia, di awal tahun 2000-an, negara ini lebih banyak melakukan manuver-manuver politik di dalam rumah sendiri. Pembentukan dan penghidupan kembali partai-partai lama, aliran-aliran politik dengan beragam ideologi bermunculan, kemeriahan yang semakin rumit memusat di dalam negara, pemerintah lupa terhadap beranda sebuah negara. Daerah-daerah perbatasan kurang mendapat perhatian layak dari pemerintah. Pada tahun 2009-2010 kita dikagetkan oleh sebuah insiden: warga negara Indonesia menjadi tentara Kastam Diraja Malaysia.
Diakui atau tidak, Malaysia telah berada satu langkah di depan kita. Seminggu lalu, Presiden Indonesia menyatakan dengan jelas akan menciptakan Mobil Nasional dengan menggandeng dan bekerja sama dengan Proton, merek Mobil Nasional Malaysia. Belum ada kesepakan yang mengarah kepada hal teknis, apakah nama merek Mobil Nasional Indonesia pun akan diberi nama Proton atau tidak. Yang jelas, beberapa pengamat menyatakan, bentuk kerjasama pembuatan Mobil Nasional ini menjadi pertanda bahwa Malaysia telah berasa satu langkah di depan kita. Malaysia telah melakukan serangan balik namun tidak kasat mata karena jerih payah mereka sendiri. Mereka tidak ingin lagi dikatakan negara pembajak kebudayaan orang lain. Sehebat apa pun kekuatan dan suara keras Bung Karno mengatakan: Ganyang Malaysia! Mereka tetap sebagai bangsa lain yang akan terus berpikir menuju ke arah yang lebih baik, saat di negara ini masih sibuk saling tuduh dan tuding serta saling salah menyalahkan. Kita harus bercermin kepada pemerintah Orde Baru, " Titian Muhibbah" memang harus dijalin kembali bukan lagi antara Indonesia – Malaysia, kecuali antara sesama warga negara sendiri.
KANG WARSA
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Posting Komentar untuk "Serangan Balik Malaysia"