Opini | Penulis: Agung Dugaswara, Editor: Kang Warsa
Rencana eksekusi mati jilid dua terhadap terpidana mati kasus Narkoba memunculkan beberapa polemik dalam hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara asal terpidana mati tersebut. Paling tidak ada dua negara yang cukup keras merespon rencana eksekusi mati ini; Brasil dan Australia.
Brasil, pasca eksekusi mati jilid satu yang juga menimpa warganya, Marco Archer Cardoso, telah mengambil sikap memanggil pulang Duta Besarnya, serta menolak Surat kepercayaan ( Credential) Duta Besar Indonesia untuk Brasil. Sementara itu Australia sendiri telah menempuh berbagai cara, bahkan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, mengungkit masalah bantuan kemanusiaan yang telah Australia berikan ketika Tsunami melanda aceh, tahun 2004 silam, sebuah pernyataan yang sontak membuat geram rakyat dan bangsa Indonesia. Hal tersebut membuat aparat keamanan baik dari unsur TNI dan juga Polri melakukan tindakan preventif dengan melakukan pengawalan terhadap rencana eksekusi tersebut, suatu hal yang menimbulkan reaksi keras dari Canberra.
Di tengah tensi hubungan yang cukup panas, hal yang perlu disimak adalah pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryakudu, ketika ditanya tentang pengamanan menjelang eksekusi mati,” Mau perang endak gampang-gampang. Perang gara-gara orang kaya gituan kok perang, Tadi disampaikan dibantu oleh TNI. Tapi mau perang-perang masa karena narkoba malu-maluin aja," .
Melihat pernyataan tersebut paling tidak ada dua hal yang menjadi perhatian, pertama pernyataan bahwa perang itu tidak gampang, sepertinya ini tidak perlu diperdebatkan, selain landasan konstitusional, yang mengharuskan adanya persetujuan DPR selaku wakil rakyat ketika Presiden hendak memutuskan perang (UUD 1945 amandemen ke 3 pasal 11 ayat 1), harga yang harus dikeluarkan ketika sebuah Negara memutuskan perang pun tidak lah murah, bukan hanya materi tapi juga jiwa bahkan mungkin masa depan Negara itu sendiri.
Namun pernyataan kedua Menhan menarik untuk ditelaah, karena Narkoba pernah menjadi alasan perang yang merubah wajah perjalanan dunia. Perang candu atau yang sering juga dikenal sebagai perang opium (opium war) adalah perang yang terjadi akibat Maraknya perdagangan opium di negeri Chinna pada waktu tersebut. Tercatat terjadi dua periode perang candu yaitu perang candu kesatu (1839 – 1842) antara China (Dinasti Qing) melawan Kerajaan Inggris raya dan perang candu jilid 2 (1856 – 1860) antara Pemerintahan Chinna (dinasti Qing) melawan Kerajaan Inggris Raya dan Perancis. Menurut beberapa catatan, substansi kedua perang di atas sesungguhnya bukan menjadikan Cina sebagai jajahan, akan tetapi lebih kepada kepentingan perdagangan Barat sekaligus melemahkan daya juang rakyat Cina.
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya peperangan tersebut, dimana ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama lain. Pertama adalah faktor hubungan diplomatik kedua negara dalam hal ini perdagangan internasional. Zaman Dinasti Ming dan Qing berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. kebijakan Ming dan Qing jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah-rempah, tembikar, serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, walaupun akhirnya terjadi kepakatan dagang dua negara dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.
Kedua, faktor sosio historis, opium (candu) telah dikenal oleh bangsa Cina sejak abad ke 7 dan 8, dan dijadikan salah satu jenis obat - obatan karena khasiatnya sebagai penghilang rasa sakit. Tapi seiring perjalanan waktu opium banyak yang disalahgunakan olah masyarakat sehingga banyak penduduk yang kemudian kecanduan terhadap barang tersebut. Permasalahan ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan dinasti Qing berkuasa. Dampak negatif akibat candu yang sebenarnya telah disadari Cina, antara lain pengguna bisa mengalami kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, kerusakan pada hati dan ginjal, penurunan libido, kebingungan dalam identitas seksual, hingga kematian karena overdosis. Mereka menyadari para pecandu jarang melewati usia 50 tahun, dan pecandu berat hanya punya usia harapan hidup 5 tahun semenjak pertama kali menghisap candu.
Menyadari hal tersebut serta untuk menghadapi penyalahgunaan Opium yang semakin meresahkan maka Kaisar Jiaqing (1799), segera mengeluarkan titah yang berbunyi :
“candu memiliki pengaruh yang sangat merusak. Ketika seseorang mencandu menghirup asapnya, memang benar itu akan membuatnya merasa senang dan [merasa] sanggup melakukan apa saja yang menyenangkannya. Tetapi lambat laun, itu akan membunuhnya. Candu adalah racun, bertentangan dengan tradisi dan moralitas kita yang baik. Penggunaannya dilarang oleh hukum. Kini seorang bernama Yang telah berani membawanya ke Kota terlarang. Sehingga tentu saja ia telah melanggar hukum! Meskipun demikian, dewasa ini perdagangan dan konsumsi candu telah meningkat dengan pesat. Para pedagang yang curang membeli dan menjualnya demimendapat keuntungan [pribadi]. Kantor bea cukai Pelabuhan Gerbang Zhongwen aslinya didirikan untuk mengawasi barang-barang impor (tetapi tak berdaya dalam menghadapi penyelundupan candu ini). jika kita melakukan razia terhadap candu di pelabuhan-pelabuhan, dikahawatirkan bahwa hal ini masih belum memadai. Karenanya, kami juga memerintahkan para petugas keamanan di kelima gerbang untuk melarang candu dan merazianya di seluruh gerbang. Jika para pelakunya terungkap, maka mereka harus segera dihukum dan candunya secepatnya dimusnahkan. Sehubungan dengan provinsi Guangdong dan Fujian, yakni provinsi tempat masuknya candu, kami memerintahkan para raja muda, guburnur dan kepala bea cukai maritime untuk melakukan pencarian yang menyeluruh terhadap candu, serta memotong rantai penyelundupannya. Mereka semua hendaknya tidak mengabaikan titah ini serta tidak membiarkan penyelundupan candu merajalela.” (Taniputra, 2009: 507)
Namun ternyata titah tersebut tidaklah banyak membantu, hal ini karena banyak penduduk bahkan sebagian pejabat Dinasti qing ketika itu yang merasa susah meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi barang haram tersebut. Hal inilah yang kemudian disadari oleh Inggris, maka Ia pun menyalahi isi kesepakatan dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditi. Masuknya barang ilegal tadi malah direspon girang sebagian penduduk, terutama para pecandunya. Akhirnya peredaran kembali marak, apalagi Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah mengingat geografisnya bersebelahan dengan Cina.
Melihat masalah itu Kaisar Tao Kwang (1839) segera memerintahkan komisaris Lin Tse-Hsu untuk memusnahkan setiap opium yang ditemukan di daerah Guangzhou. Komisaris Lin adalah seseorang yang jujur serta memiliki komitmen yang tinggi dalam memberantas peredaran opium di di Chinna. Salah satu pernyataannya yang kemudian selalu di Ingat adalah, “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang”. Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, Perbedaan kepentingan inilah antara pihak Chinna dan Inggris Raya tersebut adalah faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya Perang Candu pertama.
Indonesia bukanlah Cina di masa Dinasti Qing, namun perlu kita sadari bersama negeri ini darurat Narkoba. Hasil penelitian BNN pada tahun 2014 lalu memperkirakanakan ada kenaikan prevalensi orang Indonesia yang terlibat penyalahgunaan narkoba pada 2015. Kenaikan prevalensi tersebut mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,1 juta orang dengan 22 persennya adalah pelajar. Sementara itu BNN juga merilis, bahwa dalam satu hari ada 40 hingga 50 orang yang meninggal akibat Narkoba, artinya dalam satu tahun ada sekitar 1800 orang yang meninggal akibat Narkoba. Belum lagi angka rehabilitasi untuk penyembuhan ketergantungan Narkoba yang berkisar diangka 4 juta Jiwa.
Di Sukabumi sendiri berdasarkan catatan LSM Rumah Cemara, terhitung sejak tahun 2006 hingga 2014 pengguna narkoba mencapai 1.200 orang. Merujuk pada fenomena gunung es, maka semestinya pengguna dan korban akibat penyalagunaan Narkoba bisa jadi lebih besar lagi. Lebih miris lagi, mayoritas pengguna narkoba adalah usia produktif, yang tentu saja dapat mengancam kelangsungan hidup suatu bangsa. Dikategorikan sebagai extraordinary crime, sudah sewajarnya pemerintah dan juga masyarakat menabuh genderang perang terhadap barang haram ini. Sehingga proses hukuman mati terhadap gembong dan pengedar narkoba adalah harga yang tidak bisa ditawar lagi. Apabila Chinna saja demi menyelamatkan bangsanya berani mengambil resiko berperang dengan negara lain, lalu kenapa kita tidak berani mengambil resiko dengan tegas dalam melakukan eksekusi hukuman mati terhadap seluruh gembong narkoba. [ ]
Rencana eksekusi mati jilid dua terhadap terpidana mati kasus Narkoba memunculkan beberapa polemik dalam hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara asal terpidana mati tersebut. Paling tidak ada dua negara yang cukup keras merespon rencana eksekusi mati ini; Brasil dan Australia.
Brasil, pasca eksekusi mati jilid satu yang juga menimpa warganya, Marco Archer Cardoso, telah mengambil sikap memanggil pulang Duta Besarnya, serta menolak Surat kepercayaan ( Credential) Duta Besar Indonesia untuk Brasil. Sementara itu Australia sendiri telah menempuh berbagai cara, bahkan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, mengungkit masalah bantuan kemanusiaan yang telah Australia berikan ketika Tsunami melanda aceh, tahun 2004 silam, sebuah pernyataan yang sontak membuat geram rakyat dan bangsa Indonesia. Hal tersebut membuat aparat keamanan baik dari unsur TNI dan juga Polri melakukan tindakan preventif dengan melakukan pengawalan terhadap rencana eksekusi tersebut, suatu hal yang menimbulkan reaksi keras dari Canberra.
Di tengah tensi hubungan yang cukup panas, hal yang perlu disimak adalah pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryakudu, ketika ditanya tentang pengamanan menjelang eksekusi mati,” Mau perang endak gampang-gampang. Perang gara-gara orang kaya gituan kok perang, Tadi disampaikan dibantu oleh TNI. Tapi mau perang-perang masa karena narkoba malu-maluin aja," .
Melihat pernyataan tersebut paling tidak ada dua hal yang menjadi perhatian, pertama pernyataan bahwa perang itu tidak gampang, sepertinya ini tidak perlu diperdebatkan, selain landasan konstitusional, yang mengharuskan adanya persetujuan DPR selaku wakil rakyat ketika Presiden hendak memutuskan perang (UUD 1945 amandemen ke 3 pasal 11 ayat 1), harga yang harus dikeluarkan ketika sebuah Negara memutuskan perang pun tidak lah murah, bukan hanya materi tapi juga jiwa bahkan mungkin masa depan Negara itu sendiri.
Namun pernyataan kedua Menhan menarik untuk ditelaah, karena Narkoba pernah menjadi alasan perang yang merubah wajah perjalanan dunia. Perang candu atau yang sering juga dikenal sebagai perang opium (opium war) adalah perang yang terjadi akibat Maraknya perdagangan opium di negeri Chinna pada waktu tersebut. Tercatat terjadi dua periode perang candu yaitu perang candu kesatu (1839 – 1842) antara China (Dinasti Qing) melawan Kerajaan Inggris raya dan perang candu jilid 2 (1856 – 1860) antara Pemerintahan Chinna (dinasti Qing) melawan Kerajaan Inggris Raya dan Perancis. Menurut beberapa catatan, substansi kedua perang di atas sesungguhnya bukan menjadikan Cina sebagai jajahan, akan tetapi lebih kepada kepentingan perdagangan Barat sekaligus melemahkan daya juang rakyat Cina.
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya peperangan tersebut, dimana ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama lain. Pertama adalah faktor hubungan diplomatik kedua negara dalam hal ini perdagangan internasional. Zaman Dinasti Ming dan Qing berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. kebijakan Ming dan Qing jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah-rempah, tembikar, serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, walaupun akhirnya terjadi kepakatan dagang dua negara dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.
Kedua, faktor sosio historis, opium (candu) telah dikenal oleh bangsa Cina sejak abad ke 7 dan 8, dan dijadikan salah satu jenis obat - obatan karena khasiatnya sebagai penghilang rasa sakit. Tapi seiring perjalanan waktu opium banyak yang disalahgunakan olah masyarakat sehingga banyak penduduk yang kemudian kecanduan terhadap barang tersebut. Permasalahan ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan dinasti Qing berkuasa. Dampak negatif akibat candu yang sebenarnya telah disadari Cina, antara lain pengguna bisa mengalami kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, kerusakan pada hati dan ginjal, penurunan libido, kebingungan dalam identitas seksual, hingga kematian karena overdosis. Mereka menyadari para pecandu jarang melewati usia 50 tahun, dan pecandu berat hanya punya usia harapan hidup 5 tahun semenjak pertama kali menghisap candu.
Menyadari hal tersebut serta untuk menghadapi penyalahgunaan Opium yang semakin meresahkan maka Kaisar Jiaqing (1799), segera mengeluarkan titah yang berbunyi :
“candu memiliki pengaruh yang sangat merusak. Ketika seseorang mencandu menghirup asapnya, memang benar itu akan membuatnya merasa senang dan [merasa] sanggup melakukan apa saja yang menyenangkannya. Tetapi lambat laun, itu akan membunuhnya. Candu adalah racun, bertentangan dengan tradisi dan moralitas kita yang baik. Penggunaannya dilarang oleh hukum. Kini seorang bernama Yang telah berani membawanya ke Kota terlarang. Sehingga tentu saja ia telah melanggar hukum! Meskipun demikian, dewasa ini perdagangan dan konsumsi candu telah meningkat dengan pesat. Para pedagang yang curang membeli dan menjualnya demimendapat keuntungan [pribadi]. Kantor bea cukai Pelabuhan Gerbang Zhongwen aslinya didirikan untuk mengawasi barang-barang impor (tetapi tak berdaya dalam menghadapi penyelundupan candu ini). jika kita melakukan razia terhadap candu di pelabuhan-pelabuhan, dikahawatirkan bahwa hal ini masih belum memadai. Karenanya, kami juga memerintahkan para petugas keamanan di kelima gerbang untuk melarang candu dan merazianya di seluruh gerbang. Jika para pelakunya terungkap, maka mereka harus segera dihukum dan candunya secepatnya dimusnahkan. Sehubungan dengan provinsi Guangdong dan Fujian, yakni provinsi tempat masuknya candu, kami memerintahkan para raja muda, guburnur dan kepala bea cukai maritime untuk melakukan pencarian yang menyeluruh terhadap candu, serta memotong rantai penyelundupannya. Mereka semua hendaknya tidak mengabaikan titah ini serta tidak membiarkan penyelundupan candu merajalela.” (Taniputra, 2009: 507)
Namun ternyata titah tersebut tidaklah banyak membantu, hal ini karena banyak penduduk bahkan sebagian pejabat Dinasti qing ketika itu yang merasa susah meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi barang haram tersebut. Hal inilah yang kemudian disadari oleh Inggris, maka Ia pun menyalahi isi kesepakatan dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditi. Masuknya barang ilegal tadi malah direspon girang sebagian penduduk, terutama para pecandunya. Akhirnya peredaran kembali marak, apalagi Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah mengingat geografisnya bersebelahan dengan Cina.
Melihat masalah itu Kaisar Tao Kwang (1839) segera memerintahkan komisaris Lin Tse-Hsu untuk memusnahkan setiap opium yang ditemukan di daerah Guangzhou. Komisaris Lin adalah seseorang yang jujur serta memiliki komitmen yang tinggi dalam memberantas peredaran opium di di Chinna. Salah satu pernyataannya yang kemudian selalu di Ingat adalah, “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang”. Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, Perbedaan kepentingan inilah antara pihak Chinna dan Inggris Raya tersebut adalah faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya Perang Candu pertama.
Indonesia bukanlah Cina di masa Dinasti Qing, namun perlu kita sadari bersama negeri ini darurat Narkoba. Hasil penelitian BNN pada tahun 2014 lalu memperkirakanakan ada kenaikan prevalensi orang Indonesia yang terlibat penyalahgunaan narkoba pada 2015. Kenaikan prevalensi tersebut mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,1 juta orang dengan 22 persennya adalah pelajar. Sementara itu BNN juga merilis, bahwa dalam satu hari ada 40 hingga 50 orang yang meninggal akibat Narkoba, artinya dalam satu tahun ada sekitar 1800 orang yang meninggal akibat Narkoba. Belum lagi angka rehabilitasi untuk penyembuhan ketergantungan Narkoba yang berkisar diangka 4 juta Jiwa.
Di Sukabumi sendiri berdasarkan catatan LSM Rumah Cemara, terhitung sejak tahun 2006 hingga 2014 pengguna narkoba mencapai 1.200 orang. Merujuk pada fenomena gunung es, maka semestinya pengguna dan korban akibat penyalagunaan Narkoba bisa jadi lebih besar lagi. Lebih miris lagi, mayoritas pengguna narkoba adalah usia produktif, yang tentu saja dapat mengancam kelangsungan hidup suatu bangsa. Dikategorikan sebagai extraordinary crime, sudah sewajarnya pemerintah dan juga masyarakat menabuh genderang perang terhadap barang haram ini. Sehingga proses hukuman mati terhadap gembong dan pengedar narkoba adalah harga yang tidak bisa ditawar lagi. Apabila Chinna saja demi menyelamatkan bangsanya berani mengambil resiko berperang dengan negara lain, lalu kenapa kita tidak berani mengambil resiko dengan tegas dalam melakukan eksekusi hukuman mati terhadap seluruh gembong narkoba. [ ]
Posting Komentar untuk "Candu Itu Bernama Narkoba"