Negara Iblis



Di tahun 2002, Saya sempat termenung demi membaca ringkasan buku De Civita Dei karya Santo Augustinus oleh Daniel Dono. Sebuah Negara ketika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya kerap kali menyengsarakan rakyat, mengabaikan fakta-fakta Sumber Daya Alam, menurut Augustinus, Negara tersebut telah layak disebut sebagai Negara Iblis.

Negara Iblis merupakan kebalikan dari Negara Tuhan (Civita Dei), di dalam sebuah Negara Iblis lahir berbagai potensi kejahatan; korupsi, kepicikan, kelicikan, hipokrisi, manifulasi, saling benci, rebutan kekuasaan, pengabaian kewajiban, pembuatan hak-hak palsu, pengebirian, dan penindasan terhadap rakyat. Para pemimpin di Negara Iblis jauh dari kebaikan yang keluar dari nurani. Mereka akan memanipulasi pajak, upeti, dan perampokan harta rakyat dengan berbagai klise kebaikan.

Negara ideal sama sekali tidak akan lahir dari rahim yang dibuahi oleh sperma Iblis, dari janin hingga lahir menjelma sebuah kebijakan dan aturan, semuanya akan dipenuhi oleh pemangkasan nilai-nilai keadilan. Saat janin-janin Iblis membesar dan lahir di Negara Iblis, mereka akan menemui habitatnya, siap mencabik rakyat dengan cakar-cakar tajamnya. Kehidupan sama sekali akan jauh dari potensi kebaikan, yang ada justru: saling curiga, saling hasud, dan saling bunuh.

Dalam kehidupan sosial, ‘Leviathan’ memang dibutuhkan ketika kehidupan berjalan normal, namun ketika kehidupan dalam negara telah dipenuhi oleh potensi-potensi kejahatan, ‘Leviathan’ hanya akan melahirkan ular-ular raksasa berkepala tujuh, siap menghancurkan apa pun yang ditemuinya. ‘Leviathan’ dalam Negara Iblis adalah ular berkepala tujuh, didukung oleh mafia-mafia judi, gembong-gembong narkoba, dan pejabat-pejabat culas.

Sepertinya, Negara Iblis  –saat ini – telah pantas disematkan kepada negara kita. Pasca penyelenggaraan Pilpres 2014, betapa kita sebagai rakyat telah benar-benar melihat semakin hebat potensi-potensi kejahatan di Negara ini. Partai-partai politik lahir kembali, bukan melakukan metamorphosis menjadi mahluk-mahluk indah namun lahir dari telur-telur mahluk jahat. Demokrasi sebagai inkubator pertemuan ovum dan sperma iblis telah melahirkan pemerintahan dengan berbagai kebijakan jahat yang tidak bisa dimengerti sama sekali.

Manusia-manusia berjubah, pamer dalam segala kebaikan yang diteriakkan dengan mengatasnamakan Tuhan. Lebih dari itu, tanpa kita ketahui, para pembela Tuhan itu tidak jauh berbeda dengan herder-herder para cukong judi, hidup bergelimpangan dalam balut jubah sutera dan rumah-rumah bertingkat. Mereka sedang berskenario, memainkan peran masing-masing atas arahan para sutradara jahat. Rakyat asik menyaksikan komedi putar ini.

Maka lihatlah, Sumber Daya Alam di negara ini sebagai sebuah fakta nyata sama sekali sedikit dinikmati oleh rakyat. Hari demi hari, rakyat di Negara Iblis hidup dalam serba ketakutan, takut menghadapi hari esok, sekolah-sekolah telah merubah diri menjadi lembaga prostitusi, pekerjaan dikejar dengan selembar ijazah, sekolah hanya mengajarkan apa yang telah ada di dalam buku-buku tanpa mau mengeksplorasi lebih jauh terhadap persoalan substantif kehidupan. Tujuan utama di Negara Iblis adalah pencapaian materi, pemberhalaan populeritas, dan penuhanan kemasyhuran.

Begitulah seorang Santo Augustinus menggambarkan kondisi Negara Iblis.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Negara Iblis"