Ciwangi: Dari Folklore Menuju Sejarah


Sumber foto: bubuh.id

Kita sama sekali tidak mengetahui siapa orang pertama yang tinggal di daerah memanjang dari lereng Gunung Gede hingga aliran Sungai Cimandiri. Toponomi dan asal-usul penamaan beberapa kampung di daerah ini pun belum bisa menjelaskan kondisi di masa lalu. 

Data sejarah baru bisa menjelaskan kenapa daerah subur berbukit dan ngarai ini dinamakan Sukabumi, pada tahun 1914, saat de Wilde membuka perkebunan teh di bagian selatan daerah ini. Selain itu, masih banyak praduga-praduga dari berbagai kelompok/komunitas atau orang perorang mengenai asal-usul penamaan daerah ini. 

Praduga terbaru menyebut, daerah ini pada masa kerajaan Pajajaran saat didatangi oleh Siliwangi diberi nama Pusaka Bumi, memiliki makna sesuatu yang harus dijaga, disakralkan, berupa pusaka dalam bentuk bumi/tanah. Alasan ini dilatarbelakangi oleh kesuburan daerah ini. 

Seharusnya daerah ini diberi mana Sakabumi, sebagai sebuah pusaka yang harus dijaga oleh para penghuninya dan kelak akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sampai sekarang, pandangan ini hanya baru praduga, sebab sedikit sekali bukti arkeologis yang bisa menjawab hal tersebut.

Beberapa teori menyebutkan, penyebaran penduduk di daerah ini berasal dari Pelabuanratu kemudian saat terjadi diaspora ras Aria terjadi pencampuran , akulturasi dan asimilasi budaya terjadi. Sayang sekali, teori ini kurang bisa menjelaskan, siapakah ras tau etnis Sunda yang menjadi penghuni asli daerah ini? Sebab, D Graff menyebutkan, saat terjadi migrasi orang-orang Aria dari Persia melalui jalur laut selatan di daerah pelabuanratu (sekarang) telah ada warga pribumi. 

Artinya, teori terkait orang-orang yang menempati daerah Sukabumi berasal dari Ras Aria masih lemah. Sisa-sisa peradaban masa lalu yang bisa menjawab persoalan ini pun masih harus digali dan dieksplorasi lebih utuh. 

Dari beberapa teori yang bersifat praduga, 17.000 tahun lalu, daerah Sukabumi (sekarang) merupakan bagian lingkar luar dari Sundaland, setelah runtuhnya peradaban masa lalu itu, karena berada di lingkar luar kekuasaan sedikit sekali menyisakan peninggalam dan bukti-bukti arkeologis, malah sampai sekarang, bukti-bukti arkeologis keberadaan Sundaland, Atlantis, dan Lemuria juga masih bersifat dugaan yang kurang didukung oleh semangat penelitian serta eksplorasi arkeologis.

Banyak folklore atau cerita rakyat yang berkembang di daerah Sukabumi (sekarang) namun telah jarang diceritakan. Apakah cerita rakyat yang berkembang di masyarakat bisa dijadikan dasar atau landasan mengenai asal-usul manusia dan peradabannya? Jika melihat pada pola penyusunan sejarah, di dunia ini sejarah pada mulanya disusun berdasarkan pada cerita rakyat kemudian dikembangkan melalui riset dan berbagai penelitian arkeologis. 

Sejarah ditulis sering berdasarkan pada asal-mula penamaan sebuah wilayah. Misalkan, sejarawan telah bisa mencacat sejarah Jerussalem pada mulanya didasari oleh folklore yang berkembang di masyarakat, sebuah mitologi tentang Dewa orang-orang Syiria bernama Shaleem yang bersemayam di gunung Zhapon atau Zion. Folklore atau cerita rakyat sendiri sebetulnya merupakan tradisi lisan, kebiasaan orang-orang dahulu menceritakan peristiwa masa lalu yang diwariskan secara turun temurun, bisa menceritakan asal-usul sebuah tempat, bangunan, atau gunung-gunung yang dianggap keramat. 

Namun kenapa, sekarang ini cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Sukabumi seakan meredup? Jarang sekali tradisi verbal mengenai asal-usul (toponomi) penamaan sebuah tempat dilakukan oleh generasi sekarang. Dengan bahasa sederhana dapat disimpulkan, jangankan untuk melakukan penelitian serius terhadap aspek-aspek kepurbakalaan yang bernilai sejarah, dalam hal menceritakan asal-usul daerahnya pun masyarakat masih dikatakan lemah.

Memang, para leluhur (karuhun) Sunda yang pertama tinggal di Sukabumi (sekarang) sudah bisa dipastikan menempati daerah ini secara sporadis, terjadi migrasi atau perpindahan dari daerah lain, mereka membangun perkampungan yang dikelola secara komunal. Pembukaan hutan menjadi daerah pemukiman dilakukan secara komunal dimulai dari wilayah tengah (Kota Sukabumi: Sekarang). 

Dalam memberi nama sebuah tempat, para leluhur di daerah ini tidak semudah yang kita bayangkan, terjadi konsensus, kesepakatan antara leluhur yang dituakan dengan para pengikutnya. Sampai tahun 1980-an di wilayah tengah daerah ini masih sering terdengar kata Cikotengsi (Cikole Tengah Sukabumi). Sebelum Wiratanudatar VI datang ke Sukabumi dan menjadikannya sebagai bagian dari kepatihan Cianjur, pemukiman dengan nama Cikole ini memang sudah ada. 

Hal yang biasa terjadi di tatar Sunda, penamaan tempat sering diawali oleh kata Ci, makna ambiguitas dari Ci adalah air dan kejernihan/kesucian. Hal ini dilatarbelakangi oleh, sebelum membuka lahan hutan menjadi areal pemukiman, para leluhur akan ‘ngariksa’ terlebih dahulu, apakah di daerah ini subur dengan mata air atau tidak? Sebuah wilayah akan dijadikan pemukiman jika memiliki pasokan air yang memadai. 

Fakta ini bukan berlaku bagi masyarakat Sunda di masa lalu, di berbagai wilayah pun sumber air akan menjadi ukuran apakah sebuah wilayah bisa ditempati atau tidak? Mekkah dan Jerusaalem misalnya, tanpa ada sumber air kedua wilayah tersebut sudah lama telah ditinggalkan oleh para suku nomaden. Perbedaan terletak dari proses pemaknaan terhadap konteksnya, bagi masyarakat nomaden di daerah Sub 

Sahara sebuah wilayah yang berkecukupan dengan air akan dikatakan sebagai daerah yang dilindungi oleh dewa , wilayah ilahiah, kemudian dijadikan tempat keramat atau suci. Penduduk di Jazirah Arab pada masa lalu menjadikan dewa air sebagai sesembahan mereka.

Berbeda dengan masyarakat Sunda di masa lalu, karena mereka terbiasa dengan lingkungan alam yang kaya dengan berbagai sumberdaya alam, air sebetulnya terdapat di daerah manapun, namun para leluhur di masa lalu akan memilih daerah yang memiliki pasokan air hidup sebagai pendukung kehidupan agraris mereka. 

Mereka tidak menisbatkan keberadaan air dengan hadirnya para dewa atau hal-hal yang bersifat ilahiah hadir di sana. Tidak pernah terjadi dalam sejarah kehidupan leluhur, sebuah tempat dijadikan dan disebut-sebut sebagai tanah suci. Mereka lebih senang menyebut hal ini sebagai daerah larangan, terlarang untuk dihuni, dirusak, dan diubah dari asalnya karena akan berdampak buruk bagi kehidupan. Hutan, gunung, dan daerah larangan ini harus dibiarkan begitu saja, jika pun tidak, maka mereka akan menjaganya. 

Seperti penamaan sebuah tempat dengan awalan Ci, dimaksudkan oleh para leluhur untuk memberi pertanda bahwa di daerah tersebut melimpah dengan air, kemudian kata kedua dari nama tempat memberikan informasi ciri khas yang ada di daerah tersebut. Menjadi sangat mungkin, para leluhur menamakan Cikole untuk wilayah tengah Sukabumi (sekarang) karena disana terdapat aliran Sungai dan di masa lalu daerah subur ini ditumbuhi banyak pohon pisang (tumbuhan tropis). Di sebelah utara dan timur ditumbuhi pohon jati dengan luas beberapa ratus meter persegi, sekarang daerah ini diberinama Kebonjati.

Kenapa para leluhur Sunda awal jarang mengaitkan penemuan dan penamaan sebuah tempat dengan unsur sakral dan ilahiah? Karena mereka sadar, alam merupakan anugrah dari Sang Pencipta, mereka pun sadar terhadap keberadaan Yang Maha Kuasa tidak akan dihadirkan secara lahiriah, misalkan menjaga dan menempati sebuah gunung atau tempat. 

Hubungan manusia dengan Tuhan diposisikan secara vertical-trancendent, bukan horizontal-material. Mereka telah sadar, dengan menempatkan Yang Maha Kuasa sejajar dengan alam justru akan menghilangkan kesucianNya dan akan menempatkan tempat-tempat menjadi lebih sacral dari yang dipujanya. 

Alih-alih mengabdi kepada Yang Maha Kuasa, jika Tuhan diposisikan sejajar dengan alam, yang lahhir adalah bentuk pemujaan terhadap tempat-tempat yang disucikan atau dikeramatkan. Penduduk awal di daerah ini (Sukabumi, Sekarang) sampai masuknya agama-agama lain dari daerah lain tidak pernah membuat dolmen, tugu pemujaan, dan sarkopagus. 

Folklore yang berkembang di masyarakat bukan menceritakan mitos dewa-dewi, tidak seperti pada peradaban lain seperti Mesir, Mesopotamia, Yunani, dan Semit. Cerita-cerita rakyat yang berkembang lebih banyak menceritakan bagaimana seharusnya manusia menjaga alam dari mahluk-mahluk perusak.

Cerita rakyat asal-usul Ciwangi misalkan, mengisahkan bagaimana kehebatan seorang wanita bernama Nyimas Tjai Wangi mengalahkan raksasa yang memiliki tabiat merusak alam, pepohonan di hutan dirusak, gunung digunduli. 

Hanya dengan menggunakan lembaran berwarna hijau dari tenunan daun suji, sang raksasa perusak bisa dikalahkan, tubuhnya menjadi hijau karena tergulung oleh lembaran daun suji, kulitnya berubah menjadi berwarna hijau, dan dia ketakutan oleh perubahan warna kulit tersebut, hingga dia berlali tunggang-langgang dan terjaduh kolam berair panas di daerah Cikundul (sekarang), sampai tubuhnya melepuh karena bersentuhan langsung dengan air panas Cikundul. 

Beberapa minggu setelah kematian sang raksasa tersebut, hutan dan gunung di selatan Cikundul kembali menjadi asri. Tempat tinggal Nyimas Tjai Wangi pun diberinama Kampung Ciwangi, terletak di sebelah Utara Kampung Cikundul. Saat ini, masyarakat Sukabumi lebih mengenal Jalan Ciwangi yang terletak di pusat kota daripada mengenal kampung Ciwangi. 

Cerita rakyat ini memiliki sentimen cukup baik, menhasilkan konteks kekinian, siapa pun yang bernafsu melakukan pengrusakan terhadap alam, tidak lain mereka adalah raksasa-raksasa jahat baik berbentuk manusia, perusahaan, mesin, atau pabrik-pabrik.

Folklore Nyimas Tjai Wangi dan Buta hejo ini sampai tahun 80-an masih sering diceritakan oleh orangtua melalui pendekatan alam bawah sadar. Misalkan, untuk menakut-nakuti anak-anak, para orangtua akan menunjuk ke arah selatan, Gunung Arca, sambil berkata : Awas, itu ada Buta Hejo turun dari gunung!, bahkan saat usia Saya menginjak 5 tahun, tanpa mendengar cerita dari kakek atau nenek tentang hal ini pun, pernah mengalami hal menarik, dalam pandangan Saya, terlihat seorang manusia berukuran besar berwarna hijau tua sedang menuruni gunung Arca, tentu dengan wajah menyeramkan.

Banyaknya cerita rakyat yang berkembang di Sukabumi ini sebetulnya bisa dijadikan dasar bagi orang Sukabumi untuk melakukan riset dan penelitian lebih jauh terhadap asal-usul daerahnya sendiri. Hanya saja, bukti arkeologis yang sudah ditemukan pun sama sekali jarang diteliti secara serius. Misalkan, di Gunung Arca terdapat sebuah tumpukan batu berbentuk dolmen dan arca telah sekian lama berada di tempat tersebut, luput dari penelitian. 

Memang bisa ditaksir, keberadaan arca berbentuk dolmen dan tumpukan batu ini merupakan akulturasi kebudayaan Sunda Buhun dengan Hindu. Tempat ini, selama lima generasi lalu dijadikan tempat penyimpanan sesajén (sesaji), sebuah ritual yang berkembang saat terjadi akulturasi Sunda dengan Hindu. Tidak terlalu populer di kalangan karuhun Sunda, kecuali dilakukan oleh orang-orang yang rakus dengan keyakinan, maka penempatannya pun berada di sebuah gunung, bukan pusat keramaian.

Kebiasaan membuat tempat pemujaan di gunung merupakan warisan dari daerah Timur Tengah dan Yunani Kuno bisa jadi dibawa orang orang-orang Aria, karena mereka memiliki anggapan; saat manusia berada di tempat tertinggi akan merasakan pengalaman spiritual lebih dekat dengan para dewa, bukan persoalan geografis kecuali persoalan spiritualitas. Dan para leluhur Sunda sama sekali menghindari hal tersebut.

1 komentar untuk "Ciwangi: Dari Folklore Menuju Sejarah"

  1. ijin share kang untuk relawan pelestari warisan budaya sukabumi, sangat menarik artikelnya, dan ini menjadi pr kami dan merupakan bahan garapan kami untuk kembali mengumpulkan cerita rakyat sebagai informasi awal untuk menggali sejarah sukabumi

    BalasHapus