Perbedaan kondisi dari satu jaman ke jaman lain disebabkan oleh perkembangan. Bagi generasi 70-80an, Idul Fitri di masa mereka ketika kecil dengan ketika mereka telah tumbuh besar tentu dirasa sangat berbeda. Ada banyak pergeseran baik secara fisik budaya juga nilai sosial.
Pada tahun 80-90an, dikatakan oleh salah seorang teman kepada saya, suasana Idul Fitri begitu membekas. Sejak matahari terbenam, takbir dikumandangkan, bedug ditabuh, anak-anak waktu itu mengisi surau-surau, ada juga beberapa dari mereka bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga subuh, anak-anak biasanya tidur di mesjid.
Sholat Idul Fitri begitu khusu', setelah menunaikan sholat dilanjutkan dengan ramah tamah, silaturahim dari tetangga ke tetangga, kerabat ke kerabat, melakukan ziarah ke pekuburan, kemudian anak-anak usia kelas 4 SD- kelas 2 SMP pergi ke pusat kota. Di kota, mereka menghabiskan uang jajan dengan membeli mie ayam juga dilanjutkan dengan menonton film di bioskop. Mie ayam merupakan makanan yang masih dianggap jarang dijual di kampung waktu itu.
Perbedaan ini begitu terlihat, antara suasana Idul Fitri 80-90an dengan sekarang. Bukan hanya dalam beberapa hal seperti disebutkan di atas, dalam hal budaya secara fisik pun tampak sekali beberapa perbedaan. Pada Idul Fitri saat ini, setelah selesai menunaikan ibadah sholat ied, biasanya ramah tamah antar warga dilakukan sepanjang jalan dengan memasuki rumah-rumah warga, sekarang hal itu mulai luntur meskipun masih ada yang melakukannya. Hal ini disebabkan oleh semakin kompleks dan heterogen warga. Wajah-wajah para pendatang mungkin terlihat lebih kaku untuk disapa atau menyapa penduduk tempatan.
Selama tiga dekade, pertumbuhan penduduk di setiap wilayah menunjukkan angka signifikan, saat generasi 2000-an tumbuh menjadi remaja, ada banyak pergeseran nilai, cara dan kebiasaan yang mereka aktualisasikan saat Idul Fitri berbeda dengan generasi sebelumnya. Silaturahmi lebih bersifat personal perorangan daripada dilakukan dengan cara komunal. Ada persebaran tidak memusat atau dilakukan bersama-sama.
Di setiap daerah sudah dipastikan memiliki beberapa perbedaan dalam rumusan merayakan Idul Fitri ini. Namun, meskipun demikian, secara kandungan atau isi, bahwa sikap manusia (Muslim) dimana pun, saat Idul Fitri tiba ada keinginan untuk merayakannya dengan berbagai suasana.
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
Pada tahun 80-90an, dikatakan oleh salah seorang teman kepada saya, suasana Idul Fitri begitu membekas. Sejak matahari terbenam, takbir dikumandangkan, bedug ditabuh, anak-anak waktu itu mengisi surau-surau, ada juga beberapa dari mereka bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga subuh, anak-anak biasanya tidur di mesjid.
Sholat Idul Fitri begitu khusu', setelah menunaikan sholat dilanjutkan dengan ramah tamah, silaturahim dari tetangga ke tetangga, kerabat ke kerabat, melakukan ziarah ke pekuburan, kemudian anak-anak usia kelas 4 SD- kelas 2 SMP pergi ke pusat kota. Di kota, mereka menghabiskan uang jajan dengan membeli mie ayam juga dilanjutkan dengan menonton film di bioskop. Mie ayam merupakan makanan yang masih dianggap jarang dijual di kampung waktu itu.
Perbedaan ini begitu terlihat, antara suasana Idul Fitri 80-90an dengan sekarang. Bukan hanya dalam beberapa hal seperti disebutkan di atas, dalam hal budaya secara fisik pun tampak sekali beberapa perbedaan. Pada Idul Fitri saat ini, setelah selesai menunaikan ibadah sholat ied, biasanya ramah tamah antar warga dilakukan sepanjang jalan dengan memasuki rumah-rumah warga, sekarang hal itu mulai luntur meskipun masih ada yang melakukannya. Hal ini disebabkan oleh semakin kompleks dan heterogen warga. Wajah-wajah para pendatang mungkin terlihat lebih kaku untuk disapa atau menyapa penduduk tempatan.
Selama tiga dekade, pertumbuhan penduduk di setiap wilayah menunjukkan angka signifikan, saat generasi 2000-an tumbuh menjadi remaja, ada banyak pergeseran nilai, cara dan kebiasaan yang mereka aktualisasikan saat Idul Fitri berbeda dengan generasi sebelumnya. Silaturahmi lebih bersifat personal perorangan daripada dilakukan dengan cara komunal. Ada persebaran tidak memusat atau dilakukan bersama-sama.
Di setiap daerah sudah dipastikan memiliki beberapa perbedaan dalam rumusan merayakan Idul Fitri ini. Namun, meskipun demikian, secara kandungan atau isi, bahwa sikap manusia (Muslim) dimana pun, saat Idul Fitri tiba ada keinginan untuk merayakannya dengan berbagai suasana.
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
Posting Komentar untuk "Idul Fitri"