Open dan Aki: Refleksi Terhadap Dua Karya Idrus

OPEN DAN AKI: REFLEKSI TERHADAP DUA KARYA IDRUS
Oleh: Kang Warsa



Aki Tidak Bisa Melawan Takdir

Tidak ada yang bisa menentang atau melawan takdir Alloh, kecuali seseorang bernama Aki. Tokoh –entah protagonis atau antagonis – dalam Novel karya Idrus ini. Beberapa kritikus sastra telah melahirkan dua pandangan. Aki dipandang sebagai sosok baik dan ada yang memiliki pandangan lain, Aki merupakan perwakilan tokoh kurang baik karena terlalu berani mencemooh takdir Tuhan.

Plot dalam novel ini mengalir apa adanya, seperti perjalanan kehidupan manusia pada umumnya. Pandangan tentang baik buruknya seseorang oleh kita selalu dipengaruhi dengan cara pandang kita yang hanya mengikuti alur kehidupan orang tersebut pada segmen atau beberapa babak dalam kehidupan si pemeran lakon saja. Misalkan, orang-orang pernah mencerca Gus Dur dan Cak Nur ketika babak kehidupan mereka menyentuk ranah –seolah mengagungkan-  pluralisme. Tapi ketika kehidupan dua tokoh ini telah sampai pada satu konklusi, barulah kita sadar betapa baik dan lurusnya pikiran-pikiran mereka, semua dilakukan demi kebaikan juga.

Aki, seorang lelaki meskipun usianya baru menginjak 29 tahun, namun karena mengidap penyakit TBC wajahnya tirus, payah, tubuh kering, tampak telah menginjak umur 40 tahun. Lahir sebagai seorang pesakitan tidak membuatnya lantas putus-asa untuk berlaku baik dan ramah kepada siapa pun. Celaka, kebaikan-kebaikan yang dia lakukan sering diukur oleh masyarakat dengan timbangan syariat atau fiqih. Aki selama hidupnya tidak pernah Sholat, Puasa pun tidak, apalagi menunaikan ibadah haji. Bagi dirinya hal ini merupakan problem, dia tidak melaksanakan atau menunaikan syariat, tetapi tetap berlaku baik kepada sesama, namun dalam agama yang dianutnya, ia tetap akan menerima siksa di akhirat nanti. Problem ini tidak bisa terjawab oleh dirinya.

Penyakit TBC telah membawa Aki pada satu kesimpulan, sakit ini tidak bisa terobati, dia memutuskan akan meninggal pada tanggal 16 Agustus tahun depan. Diberitakanlah tentang ramalan kematiannya kepada setiap orang. Orang-orang pun tentu hanya mencibir saja, meskipun sebagian besar dari mereka sangat yakin kepada ucapan Aki demi melihat penyakit yang diderita olehnya. Aki ibarat  mayat berjalan.

Tidak ada seorang pun yang berani seperti Aki, dia telah menyatakan hari kematiannya pada tanggal 16 Agustus mendatang. Orang tidak akan menggubris dan tidak perduli terhadap apa pun yang dilakukan oleh manusia yang tidak pernah menjalankan syariat atau fiqh. Akan disebut wajar, toh Aki berkata begitu seolah mendahului takdir Tuhan karena memang dia banyak melanggar perintah-printahNya.

Maka, demi menghadapi hari kematiannya itu, Aki bersama istrinya pergi ke pasar, membeli perlengkapan kematian. Memang sangat konyol sekali tokoh ini, bukan kain kafan sederhana yang berwarna putih yang dia beli. Aki dan istrinya membeli kain paling mahal. Apakah untuk membujuk Tuhan? Bahwa dengan kain mahal tersebut dia akan dibebaskan dari pertanyaan dua malaikat. Apakah dia ingin membawa tawaran kepada Tuhan? Bahwa kain kafan yang dipakainya kelak itu berbeda dengan mayat-mayat lain?

Lagi-lagi orang tidak menggubris, tetap bergeming pada pikirannya, orang nyeleneh memang begitu, ada-ada saja. Mereka hanya perduli terhadap tanggal kematian. Ya, ditunggu-tunggu juga pada akhirnya.

Pada tanggal kematian Aki, 16 Agustus, istrinya sudah melakukan persiapan, kain kafan mahal telah digelar. Aki tergeletak, tidak bangun-bangun, dibahasakan oleh istrinya kepada orang-orang, suaminya benar-benar telah meninggal. Tetapi tidak demikian, saat istrinya dan penduduk kampung memasuki rumah Aki, tampaklah lelaki kurus itu sedang mengisap cerutu, menghisap rokok dalam-dalam. Dengan bahasa sederhana dia menyampaikan, aku ini Aki, tidak jadi meninggal hari ini.

Orang-orang tentu saja ribut, Aki si pembual. Tetapi bagi Aki, peristiwa dia tidak jadi meninggal tanggal 16 Agustus telah membawa berkah bagi keyakinan dan semangat spiritualnya, takdir Alloh tidak bisa dilawan. Dia memutuskan ingin tetap hidup dan harus sehat! Harus hidup! Harus normal, selain percaya kepada Tuhan juga harus berbaur menunaikan syariat dan fiqh. Meskipun dalam benak Aki timbul satu pikiran, orang-orang hanya sibuk memikirkan amalan-amalan ibadah dan mempersoalkan fiqh saja, tanpa membereskan terlebih dahulu persoalan mendasar, keyakinan.

Cara pandang manusia terhadap perjalanan hidup seseorang sebaiknya harus utuh, tidak pantas kita memframekannya dalam bagian terpisah. Al-Ghazali tidak akan melahirkan renungan-renungan tasawuf yang tertuang dalam Ihya Ulumuddin jika di masa lalunya tidak bersentuhan dengan filsafat. Hujjatul Islam tersebut tidak mencaci filsafat, melainkan merindukan akan bersentuhan kembali dirinya dengan filsafat.

Open Si "Guru Goblok"

Open - dalam Jalan Lain ke Roma, karya Idrus- dicemooh oleh murid-muridnya sebagai "guru goblok". Aneh memang, di lingkungan ketika etika masih kuat dan mendominasi kehidupan, Idrus telah berani mengungkapkan sarkastik binal pada karyanya. Bukan itu sebetulnya yang diinginkan oleh Idrus. Bukan kejujuran dan sikap kepura-puraan yang menjadi sebab seorang Open dicemooh sebagai " guru goblok".

Open , sesuai namanya, dalam dirinya telah mengakar apa yang dipesankan oleh ibunya. Meskipun dunia dan kehidupan ini mau runtuh karena dibuai oleh kemunafikan, dusta, manipulasi, dan kepura-puraan, namun dia harus jujur kepada siapapun, tanpa kecuali, titik. Nah, kejujuran seorang Open di lingkungan para munafik inilah yang telah menjatuhkan dirinya diolok-olok sebagai "guru goblok". Setiap nabi disebut orang gila oleh masyarakat ketika kejujuran sama sekali telah menjadi barang langka.

Dengan jujur orang tidak akan menjadi goblok ketika kejujuran tersebut keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan dikeluarkan di lingkungan yang masih mendukung tradisi kejujuran. Apakah sekolah tempat Open mengajar telah dihuni oleh para pembual? Sehingga ketika dia bersikap jujur malah dicemooh oleh murid-muridnya sebagai seorang "guru goblok" yang takut oleh istrinya? Kenapa Idrus menjadikan sekolah sebagai latar dalam karyanya? Ada empat latar yang dipakai oleh Idrus dalam karya tersebut; sekolah, tempat pengajian, rumah, dan lingkungan.

Latar tersebut mewakili empat lembaga, kesemuanya merupakan pranata sosial yang sangat suci mulai dari pendidikan, agama, lingkungan, sampai rumah tangga. Tetapi semua pranata sosial tersebut hanya akan menjelma menjadi bangunan usang dan lambat laun rusak ketika diisi oleh manusia pemuja kemunafikan. Jujur sejujurnya pun disalahtafsirkan sebagai kedunguan yang telah menelanjangi dirinya sendiri.

Lingkungan yang dipenuhi oleh kemunafikan telah melahirkan tafsir yang salah kaprah. Hanya karena ingin mengajarkan etika bagaimana seorang siswa bersikap kepada guru, Open dikeluarkan atau dipecat "keguruannya" di sekolah tempat dia mengajar. Menurut pihak sekolah, terlalu jujur itu tidak penting jika seorang guru bersikap kasar dalam memberikan hukuman kepada murid. Jujur plus bijak itu yang ideal. Namun bagi Open,apapun itu namanya, jika sekolah telah kalah oleh murid yang harus dididik oleh sekolah sendiri, itu bentuk kegilaan. Tak perlu dipertahankan.

Selain menjadi guru, ada profesi lain yang lebih menggiurkan dan tetap kehormatan di mata masyarakat akan tetap terjaga, jadi kyai. Sungguh singkat untuk menjadi seorang tokoh agama dalam pikiran Open. Cukup membaca Quran dan membaca buku-buku agama, bertambahlah pengetahuan keagamaannya, sering berkhotbah di kedai, lalu setiap habis magrib mengajar ngaji anak-anak kampung di surau, maka terpandanglah seseorang itu oleh orang-orang kampung sebagai seorang kyai atau ustadz.

Ustadz itu memang harus mengamalkan dan menghormati tradisi yang sudah lama mengakar di masyarakat. Berpeci, disarung, dan disorban. Tapi tidak demikian bagi Open, persinggungannya dengan seorang tokoh agama dari kota, sebagai seorang ulama pembaharu, Open tidak perlu memakai atribut tradisional, cukup memakai celana panjang saja. Dan ketika seorang ustadz seperti Open melanggar tradisi, resmilah dia disebut ulama edan, kyai sinting. Masa kyai atau ulama memakai celana jeans? Di zaman sekarang mungkin orang akan berkata demikian.

Nah, ternyata memang sulit hidup ini jika terlalu berani melawan tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat. Tidak sekadar mampu membaca Quran dan faham akan aturan-aturan agama, juga harus diimbangi oleh sikap hormat terhadap lingkungan. Jangan sekedar ingin diakui keberadaan diri kita oleh masyarakat sambil melukai perasaan masyarakat sendiri. Melawan tradisi sama dengan menantang untuk dicemooh.

Profesi sebagai ulama tidak menjanjikan apapun, malah cemoohan yang didapat oleh Open. Saat dia mengajarkan ilmu Kalam kepada anak-anak, seorang anak Jawa karena tradisinya biasa mengucapkan kata terakhir menggunakan huruf O, saat melafal sifat dua puluh wujud kidam baka menjadi wujud kidam bako, Open tetap menginginkan Si anak melafalkan baka bukan bako ketika Si Anak tetap melafalkannya: wujud kidam bako. Anak lain karena kenakalannya melanjutkan dengan : wujud kidam bako cerutu lisong sigaret. Agama telah dilecehkan, begitu pikir Open. Dia mengamuk, Quran pun dibanting dan dibakar. Walhasil, tidak ada lagi seorang pun yang mau ngaji kepada ulama gila sepertinya.

Profesi menjanjikan lainnya adalah menjadi seorang pengarang. Sebab seorang pengarang bisa mengarang apapun, merekayasa, memanipulasi data. Maka lihatlah, SPJ dan Laporan Pertanggungjawaban apapun sebenarnya dipenuhi oleh karangan-karangan, tidak lebih dari itu. Di zaman edan, orang harus pandai mengarang agar tidak terlihat goblok maka sematkan titel di depan atau di belakang nama. Belajarlah mengarang bebas. Tapi Open tidak jauh berbeda dengan Sandra, seorang anak perempuan berumur 10 tahun dalam Cerpen : Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma, dia tidak mampu mengarang, tidak bisa mengada-ada. Karangan karya Open bukan karangan, melainkan kenyataan. Tulisannya dicap telah melukai Tenno Heika, dan Open pun dipenjarakan oleh Nippon.[]

Posting Komentar untuk "Open dan Aki: Refleksi Terhadap Dua Karya Idrus"