Memang benar, kita manusia sebagai ‘pemain’ dalam kehidupan ini tidaklah pantas menjadi wasit atau menghakimi dirinya sendiri, memprotes terhadap sikap dan tindak-tanduk yang dilakukan selama hidup. Pun kepada orang lain. Bentuk protes paling kentara akhir-akhir ini sering terjadi dalam ranah keyakinan, sebagai pemain dalam kehidupan ada baiknya kita menghindari penghakiman terhadap akidah, keimanan, dan keyakinan orang lain. Sebuah ayat dalam Al-Quran sering dibacakan dalam ceramah keagamaan: Fastabiqul khoirot, berlomba, bermain cantik, dan sebaik mungkin, maka bisa disimpulkan, Alloh lah Yang Maha Tahu tentang akidah manusia, manusia hanya dibolehkan memberikan kebaikan kepada manusia lain, kepada mahluk lain, kepada alam ini.
Persoalan di atas berkutat pada ranah phusis (aturan-aturan semesta) yang tentu saja berlaku secara keseluruhan. Namun pada tataran nomos, terdapat konvensi-konvensi dan kesepakatan antara satu manusia dengan manusia lain. Konvensi tersebut melahirkan aturan-aturan dan kesepemahaman dalam bingkat kearifan local. Menjadi satu phusis atau keniscayaan alamiah, kearifan local pun begitu beragam, adanya keheterogenan antara satu tempat dengan tempat lain. Artinya, pada dua hal ini manusia bertindak sebagai subyek dan obyek. Pikiran pun harus larut dalam dua hal ini sebagai diri pribadi , sang subyektif dan sebagai manusia yang hidup dalam keberagaman, sang obyektif, memandang satu perkara berdasarkan obyeknya, dengan kata lain manusia akan berulah sebagai wasit terhadap kehidupan dirinya sendiri hingga orang lain pun akan dikomentari juga. Ya, sangat manusiawi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, meskipun secara jelas dinyatakan dalam Undang-undang, Pemerintah Indonesia adalah Presiden, ketika tidak bersifat populis, janggal, cenderung merugikan rakyat yang dipimpimnya, maka akan melahirkan bukan hanya protes, bahkan penolakan dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini. Dalam skala local, bentuk protes dan penolakan tentu akan dialamatkan kepada pemerintah setempat.
Kebijakan yang tampak lamban dalam menjawab persoalan masyarakat, mengorbankan kesejahteraan bersama akan mendapat perlawanan dan reaksi keras dari masyarakat. Untuk hal ini, sudah pasti protes disahkan, dibolehkan dengan mengedepankan obyektifitas, tidak merujuk pada pribadi orang perorang. Seorang pendemo di Kota Sukabumi bukan melakukan protes kepada H.M Muraz sebagai manusia yang tinggal di Kota Sukabumi dan sedang menjabat sebagai Walikota, protes tersebut ditujukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Kota Sukabumi hasil dari kesepakatan seluruh element di Kota Sukabumi sendiri.
Siapapun dilindungi oleh Undang-undang mengemukakan pendapat, ekspresi, dan protes. Seorang seniman, budayawan, guru, petani, dan lain sebagainya tidak perlu sungkan menampilkan protes dalam karya dan ikhtiar-ikhtiarnya kepada pemerintah. Saya sering memutar lagu berjudul America karya Paul Simon, bagaimana sederhana dan tetapi menusuk lirik dalam lagur tersebut terhadap kebijakan-kebijakan Amerika pada masa perang dingin.
Perang dingin, sebagai kebijakan dua kekuatan besar di dunia pada saat itu, di tahun 60-an telah melahirkan generasi hampa dan kosong jiwa. Generasi hampa yang sering dibahas oleh para futuris sebagai the lost generation ini dilukiskan oleh Paul Simon begitu memenuhi jalanan dan menyesaki ruang-ruang public. Hampir saja, cinta tercerabut dalam diri manusia-manusia yang dibesarkan dalam lingkungan perang dingin. Mereka tidak lagi bertindak sebagai macan yang buas dan sangar ketika melihat mangsa, namun telah menjelma menjadi para pendiam namun hatinya dirasuki oleh kebencian.
Masyarakat merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah? Maka proteslah!
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Proteslah!"