Sastra Sejarah dalam Karya Kuntowijoyo

Membaca karya sastra Kuntowijo sama dengan memasukkan diri  sendiri ke dalam babak-babak sejarah dengan bahasan  sederhana, menggelitik, namun lugas. Prosesi sejarah dalam karya-karyanya tidak lepas dari unsur-unsur budaya; agama, sistem sosial kemasyarakatan,dan seni. Kuntowijoyo telah mampu merefleksikan dirinya sebagai ahli sejarah dalam karya sastra baik novel maupun cerpen. 
            Penulis telah melakukan analisa dan penelaahan terhadap renyahnya karya sastra beliau. Dari sekian banyak karya sastra tersebut, empat karya beliau dipandang oleh penulis sebagai maestro karya seorang Kuntowijoyo, yaitu; Cerpen Pistol Perdamaian serta Jalan Asmarandana dan  Novel Khotbah di atas Bukit dan Mantra Pejinak Ular.

A.   Tradisional Modern Dalam Pistol Perdamaian

Alam empiris biasa dituangkan ke dalam karya sastra, meskipun sastra sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh berbagai ide dan gagasan cerdas. Saling  memengaruhi. Kuntowijoyo, kecuali sebagai seorang ahli sejarah, guru besar, beliau pun semasa hidupnya telah melahirkan karya-karya sastra dengan formula penyatuan antara tradisi yang masih berkembang dalam masyarakat dengan unsur modern. Tidak mengherankan, perpaduan antara nilai-nilai tradisional dengan modern tersebut disebabkan oleh latar belakang beliau sebagai akademisi dan Orang Jawa.
Gaya penyampaian dalam beberapa karya sastranya sangat sederhana, mudah dicerna, menggunakan ungkapan dan gaya bahasa "basajan"*), dan tentu saja sering diselingi oleh jebakan sastra. Contoh jebakan sastra yang biasa ditemui dalam karya sastranya yaitu Pak Kunto biasa menempatkan subyek sentral dalam beberapa cerita seolah terbaca oleh pembaca adalah diri Pak Kunto sendiri.
Dalam Pistol Perdamaian, salah satu cerpen pilihan Kompas tahun 1996 tersebut termaktub beberapa kalimat yang bisa menjebak pembaca seperti  penggunaan idiom "ahli sejarah" kepada tokoh utama. Hal terpenting dalam cerpen tersebut, nilai tradisional ketika dipadukan dengan nilai modern telah melahirkan satu alur cerita menggelitik , renyah untuk ditelaah, dan pada dasarnya dua kutub berbeda ini bukan hal yang harus dipertentangkan.
Pistol Perdamaian, sebuah kontradiksi atau paradoks kata, bagaimana bisa sebuah pistol membawa kehidupan pada sebuah perdamaian? Pistol merupakan produk modern, meskipun benda mati namun ketika ada di tangan para penjahat, dia akan menjadi senjata mematikan. Tentu  saja kata 'mematikan yang melahirkan kematian' ini berlawanan dengan perdamamaian. Tetapi, maksud Kuntowijoyo dalam "Pistol Perdamaian" –bisa jadi- bahwa segala sesuatu itu pada awalnya dibuat oleh manusia demi kebaikan, pistol dibuat oleh manusia, digunakan untuk mengeliminasi para pelaku kejahatan yang sudah tidak takut lagi hanya dengan bentakan dan kata-kata. Tidak setiap orang bisa memilikinya.
Dalam tradisi dan etika Jawa - Sunda, memuliakan sesuatu tidak sebatas kepada mahluk hidup seperti manusia dan binatang saja. Terhadap alam, benda-benda, dan hal metafisik pun biasa dilakukan. Maksud dari totalitas kerukunan tersebut adalah untuk melahirkan sebuah kehidupan yang jauh dari merasa diri paling bisa menguasai terhadap apapun. Di masyarakat kita sering ditemui benda-benda pusaka ditempel pada dinding-dinding rumah, bisa berupa pedang, golok, tulisan-tulisan berupa wafak, hingga benda-benda lain yang biasa digantung di depan rumah.
Bagi masyarakat modern tentu saja hal ini disebut klenik dan khurafat. Dinamisme yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Tetapi ada penolakan dari masyarakat - tradisional-  terhadap tudingan itu, dengan alasan sederhana namun masuk akal. "Itu bukan klenik atau khurafat, kecuali bentuk penghormatan masyarakat terhadap sejarah benda-benda pusaka". Tidak ada sikap penuhahan terhadap benda-benda tersebut. 
Tokoh istri sang ahli sejarah dalam cerpen Pistol Perdamaian memiliki sudut pandang lain terhadap dipasangnya barang-barang pusaka pada dinding. Misalnya pedang, golok, dan pistol tetap dipandang olehnya sebagai internalisasi kekerasan kepada penghuni rumah terutama anak-anak. Barang-barang tersebut dipandang berbahaya dan mematikan. Bukan malah harus ditempel pada dinding, ada baiknya benda-benda pusaka disimpan saja pada laci, kotak, atau dibungkus dengan kain dan ditempatkan di gudang.
Di masyarakat kita, hal itu sebetulnya sudah biasa dilakukan. Barang pusaka disimpan rapi, dibungkus, diberi minyak wangi, dan pada tanggal 12 Mulud dibersihkan, keris, golok, hingga cawan dicuci pada jambangan berisi air dan bunga-bunga. Istri ahli sejarah itu menginginkan demikian, barang pusaka 'mematikan' tidak perlu dipasang apalagi dipajang agar terlihat oleh siapapun pada dinding.
Pistol dalam cerpen "Pistol Perdamaian" merupakan benda warisan. Di jaman penjajahan, pistol tersebut telah berjasa, membunuh penjajah, demi alasan itulah, barang tersebut diwariskan kepada sang ahli sejarah. Mewariskan sesuatu memiliki maksud barang tersebut harus dirawat. Namun karena pistol itu telah menjadi penyebab konflik pemikiran dalam rumah tangga, maka sang ahli sejarah memutuskan untuk membuangnya saja.
Dibuang beberapa kali tetap saja si pistol kembali lagi ke tangan pemiliknya. Ada cerpen lain yang memiliki kemiripan dengan alur cerpen Pistol Perdamaian , Kary Seni yang ditulis oleh Anton Chekhov dan Jékét cerita mini bahasa Sunda karya Godi Suwarna. Sudah tentu cerpen Chekhov telah dikenal luas jauh sebelum kedua cerpen karya Kuntowijoyo dan Godi Suwarna ditulis. Artinya, manusia sebaiknya tidak membuang haknya, hak harus dipertahankan dengan cara baik dan ditempatkan secara proporsional.

Masukan dari istri sang ahli sejarah pun diterima, barang pusaka tidak seharusnya dipasang pada dinding, ia cukup dibungkus saja dengan kain kemudian simpan di tempat aman. Itu sudah cukup sebagai bentuk penghormatan kita kepada benda mati. Seperti halnya pada manusia sendiri, ketika telah meninggal, tidak perlu jasadnya diawetkan kemudian ditempatkan di rumah, mayat harus dibungkus lalu disimpan pada tempatnya, kuburan.
Keluarga dalam cerpen Pistol Perdamaian merupakan sebuah keluarga yang hidup di era modern dengan pikiran-pikiran modern juga namun tetap setiap dalam mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh generasi pendahulunya. Tidak ada persoalan apapun antara tradisi dan modern ketika ditempatkan dengan tepat. (Kang Warsa)

*) Basajan = sederhana

B.   Monastisisme Liberal Khotbah di atas Bukit

Teeuw menilai novel Kuntowijoyo, Khotbah di atas Bukit merupakan novel ekstrim dan provokatif. Sementara itu, Y.B Mangunwijaya menyebutnya sebagai novel "magistral". Melalui novel ini, kita  diajak untuk merenungkan makna kehidupan, kebahagiaan, dan kebebasan.
Bagi penganut kristen yang taat dan rajin membaca kitabnya (Kristen Saleh), mereka dapat menemui cerita Khotbah di Bukit yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Injil Matius pencerahan Yesus kepada orang-orang Israel dibahasakan dengan lugas. Pesan kenabian ini didominasi oleh bagaimana sikap manusia terhadap gemerlap dunia?
Ada benang merah antara isi  ajaran Yesus saat melakukan Khotbah di Bukit dengan novel Khotbah di atas Bukit , yaitu monastisisme, cara manusia hidup sendiri dan melepaskan belenggu dunia untuk meraih kebahagiaan lahir serta batin. Sejak Konsili Nicea pada abad ketiga, ajaran monastisisme dipegang teguh oleh para rahib dan pendeta-pendeta aliran ortodoks. Mereka hidup di dalam biara, lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tuhan. Memperkecil interaksi dengan dunia, bagi mereka kebahagiaan itu lahir dan memancar saat proses efifani terjadi.
Barman, seorang lelaki tua - dalam novel Khotbah di atas Bukit - yang telah merasa penat dengan kehidupan di kota, kota sebagai sarang penyakit, memutuskan pergi ke gunung. Dia berpikir udara di pegunungan akan mampu mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh orang-orang kota seperti dirinya. Bagian dalam novel ini merupakan awal bagaimana seorang manusia berusaha untuk mengkoneksikan dirinya dengan alam dan masa lalunya sebagai makhluk yang berasal dari alam.
Koneksi kehendak Barman tersambung dengan dimensi lain, saat telah sampai di pegunungan dia bertemu dengan Humam, lelaki tua bersahaja, hidup menyendiri, merdeka, dan tanpa kepentingan-kepentingan apapun apalagi persoalan dunia. Dunia ditinggalkannya begitu saja.
Sudah tentu, setiap orang mencari kebahagiaan dalam hidup ini. Wejangan Humam kepada Barman tidak jauh  berbeda dengan apa yang dikotbakan oleh Yesus kepada orang-orang di Yerussalem, kebahagiaan diraih dengan meninggalkan pengaruh - pengaruh duniawi, penyebab manusia menjadi orang rakus, dan sumber segala penyakit.
Orang dengan mudah terserang sakit baik gangguan fisik atau psikis salah satunya karena mereka terlalu intens berhubungan dengan persoalan dunia melulu. Padahal kemilau dunia tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan kebahagiaan itu sendiri.
Barman bisa melihat langsung hidup seorang Humam. Orang tua ini tidak tersangkut problematika kehidupan, tidak memikirkan bagaimana cara berebut posisi dan jabatan, bahkan tidak pernah terbersit satu pun ucapan dari Humam tentang kecantikan paras perempuan. Dan hidup Human ini  dipandang oleh Barman sebagai bentuk format ideal di dunia ini.  Humam meninggal dengan sangat memukau, terpancar ketenangan bukan ketenaran dalam dirinya.
Provokasi keadaan ini telah melabilkan diri Barman meskipun pada akhirnya dia memilih lebih condong ke arah monistisme. Humam dan Khotbah di atas Bukit-nya merupakan ajaran yang harus diikuti demi kebahagiaan lahir maupun batin. Dia memang tidak sepenuhnya menjadi seorang monistis yang diam di gunung, paling tidak dengan begitu Barman telah berani berpikir melepaskan istrinya,  Popi.
Dalam monastisisme, manusia benar-benar dipandang sebagai sebuah berlian, semakin mendekati kutub spiritual maka dia semakin bersinar, tidak terlihat secara kasat mata oleh manusia pada umumnya karena penglihatan mereka tertutup oleh kabut tebal material. Maka, sebenarnya, kehidupan dunia ini sama sekali tidak penting, kehidupan sebenarnya lahir saat manusia menjumpai ajal atau kematian. Barman berpikir demikian, di pegunungan saat kabut turun semakin menebal, dia terus berjalan menembus kabut, hingga pada akhirnya dia terjerumus masuk ke dalam jurang.

Kematian Barman tentu begitu jauh berbeda dengan Humam, antara yang diharapkan dengan keikhlasan. Antara demi meninggalkan dunia dengan tidak membutuhkannya secara berlebihan. Barman meninggalkan sesuatu, persoalan dunia yang belum terselesaikan, sementara Humam sama sekali meninggal dengan tidak meninggalkan persoalan apapun.
Sebelum kematiannya, kebebasan yang dilakukan oleh Barman sepenuhnya direstui oleh Popi, dia tidak mengharapkan kebahagiaan bathin Barman justru menjadi pangkal masalah ketidakbahagiaan dirinya. Ada pembatas yang begitu samar antara kebahagiaan bathin dengan lahir. Antara monistisme dengan liberalisme, toh pada akhirnya kedua konsep ini berujung pada kebebasan. Takarannya saja yang berbeda, spiritual dan material.
Popi menjelma menjadi perempuan dahaga, sejak Barman mengikuti jejak Humam, selama itu juga dirinya tidak pernah merasakan apa sebenarnya kebaagiaan yang dialami oleh mendiang suaminya ketika dirinya sendiri sama sekali tidak bisa menyentuh berlian monistis, dalam hal ini adalah Barman. Maka Popi, setelah kematian suaminya dia turun gunung memburu, lantas melampiaskan hasrat tertingginya dengan seorang lelaki, entah siapa.

C.   Tradisi dan Agama dalam Diri Abu Kasan Sapari

Membaca novel “Mantra Pejinak Ular” karya Kuntowijoyo tidak memerlukan pikiran mengada-ada, alur dan plot dalam novel ini begitu bersahaja, dan memang seperti itulah Pak Kunto, sering menyajikan kalimat-kalimat sederhana dan mudah dipahami dalam karya sastranya. Lebih tepatnya jarang menggunakan kata yang tidak akan dipahami oleh pembaca atau lebih ekstrimnya kalimat-kalimat jangan menyusahkan orang lain. Kuntowijoyo merasa dirinya tidak seharunya memosisikan diri di tempat mentereng, meskipun dia bisa, karena sebagai seorang akademisi.
Tradisi dan agama begitu besar memengaruhi novel ini. Penamaan tokoh utama, Abu Kasan Sapari , merupakan perpaduan dua kebudayaan, Bahasa Arab dengan logat Orang Jawa dalam melafalkan kata dari bahasa asing. Kasan berarti Hasan, cucu Nabi saudara Husein, sapari berarti safari, bulan Safar. Di kampung-kampung bukan hanya di Jawa, di Tatar Pasundan pun kebiasaan ini telah lama berkembang. Seorang lelaki bernama Omid pada mulanya diberi nama Ahmid oleh orangtua atau kakek –neneknya, ada juga bernama Oleh padahal ketika lahir diberi nama Soleh. Begitulah orang –orang di masa lalu, lebih mudah dan praktis dalam memberi nama, yang penting nama tersebut mengandung doa, demi kebaikan si pemilik nama juga.
Dari awal kelahiran Abu Kasan Sapari ada sinyal-sinyal sederhana, dimana Kuntowijoyo berusama memasukkan unsur cerita Semitik (Baca: Israilliyat), cerita dari bangsa Semit. Beberapa lama setelah kelahiran Abu Kasan Sapari ada pertanda khusus, saat telah tumbuh besar, jabang bayi akan menjelma menjadi orang penting. Ada pertanda, rombongan orang-orang  membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan seolah menyambut kedatangan Abu Kasan Sapari ketika dibawa berziarah ke Makam Leluhurnya , Ronggowarsito. Kakekanya yakin pertanda itu adalah pesan supranatural dari dimensi lain. "Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi  pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan."
Percakapan antara sang kakek dengan kedua orangtua Abu sering mengingatkan saya pada cerita Yesus dan Nabi Muhammad. Dalam cerita bibliKal disebutkan, rombongan orang-orang Parsi melihat bintang bersinar  sangat terang dari Timur, mereka menafsirkan; tanda-tanda dilahirkan seorang messiah sebagaimana yang sering diceritakan oleh nenek –moyang mereka telah dekat. Dan peristiwa ini bersamaan dengan kelahiran Yesus (Isa). Nabi Muhammad pun demikian, sejak kelahirannya hingga usia anak-anak, kehidupannya sering disertai oleh berbagai pertanda. Kemiripan lain antara Abu Kasan Sapari dengan dua cerita ini yaitu: Abu dibanggakan oleh kakeknya (kerabata terdekat), sebagaimana Yesus dibanggakan oleh Zakaria dan Muhammad oleh Abdul Mothallib. Tentu saja, ini hanya asumsi , perlu penelitian serius terhadap masalah ini.
Dalam etika dan budaya Jawa serta Sunda, beberapa dekade paska feodalisme mulai mencair, pernikahan antara kaum priyayi, ningrat dengan rakyat biasa mulai terbiasa. Diyakini  sepenuhnya, kelak anak yang dilahirkan dari pernikahan campuran kelas di masyarakat ini akan lebih didominasi oleh kekuatan keluarga ningrat. Dalam tradisi Arab Kuno, dikenal pernikahan silang, bahkan tanpa menikah pun bisa, agar darah yang mengalir dalam diri seorang anak berwarna bangsawan, seorang wanita dengan rela bisa memberikan kehormatannya kepada lelaki bangsawan. Namun tradisi seperti ini tidak dikenal dalam masyarakat kita yang lebih beradab.
Ibu Abu Kasan Sapari berasal dari keluarga bangsawan, minimal disebut orang berada, sementara ayahnya berasal dari keluarga biasa yang memegang teguh tradisi. Ayahnya ketika Abu masih dalam kandungan rajin berpuasa namun tidak pernah melakukan ritual sembahyang. Sudah tentu, istrinya memberi masukan agar puasa itu dilengkapi dengan sembahyang. Sang suami hanya menjawab dengan ringan:
"Nantilah, orang Jawa itu kalau saya sudah sembahyang, sembahyang sungguhan.”
"Lha iya, sungguhan. Tapi kapan mulai?"
"Nanti itu ya nanti."
Itulah sebabnya, di beberapa daerah di Jawa, dalam satu rumah atau keluarga  bisa ditemukan adanya perbedaan keyakinan atau agama dari anggota keluarga tersebut. Bukan hal aneh jika dalam satu keluarga ada orang Islam, Kristen, dan penganut aliran kepercayaan. Fenomena sosial ini sudah tentu berbeda dengan apa yang terjadi di Tatar Sunda, keluarga inti ya keluarga inti dengan segala tetek-bengek apa yang diyakininya. Bahkan dalam satu keluarga jika ada salah satu anggota keluarga memiliki perbedaan aliran pemahaman (madzhab) bisa menjadi bahan pertanyaan.
Kemiripan lain setiap budaya di berbagai pelosok dunia manapun, ketika pasangan suami istri memiliki anggota keluarga baru akan disambut dengan berbagai ritual dan upacara tradisi. Di masyarakat Sunda dikenal acara marhabaan dan mahinuman. Sebagai sikap penyambutan lahirnya manusia baru, “ngabagyakeun anu anyar datang.”
Tradisi di atas telah mengalami eliminasi dalam kehidupan masyarakat modern. Masyarakat Sunda modern  telah lebih mengarah kepada penyambutan tanpa mengedepankan seremonial dan ritual , cukup mengadakan acara selamatan, membuat nasi tumpeng, lalu membagikannya kepada para tetangga. Masyarakat Sunda modern–sekarang ini -  lebih memilih mengadakan perayaan hari ulang tahun anaknya dengan acara makan atau pesta.
Abu Kasan Sapari disambut oleh masyarakat dengan acara-acara bernuansa tradisi. Ada pembacaan macapat dan kenduri doa. Kesemuanya dilakukan demi kebaikan sang bayi. Apalagi kakeknya meyakini, Abu Kasan Sapari kelak akan mewarisi apa yang pernah dimiliki oleh leluhurnya, seorang pujangga agung seperti Ronggowarsito. Kenduri dan acara selamatan seperti ini tidak hanya dilakukan oleh para trah priyayi saja, sejak kekuasaan Mataram menyebar ke bagian barat Jawa, kebiasaan ini diikuti oleh masyarakat Sunda.
Kemeriahan  atau “kariaan” puncak di masyarakat Sunda-Islam biasanya berlangsung saat seorang bayi laki-laki akan disunat. Diselenggarakanlah pesta sebangsa hajatan. Di beberapa perkampungan, saat seorang bayi laki-laki akan disunat, biasanya pada usia 3-5 tahun, solawat dan barjanzi dibacakan melalui pengeras suara bermerk Toa. Selain pesta sunat, ada juga tradisi akikah, di masyarakat Sunda biasa disebut “ékah”, menyembelih dua ekor kambing jika bayinya laki-laki atau seekor saja untuk bayi  perempuan.
Tradisi-tradisi dilakukan, tidak ada maksud lain kecuali untuk menyambut kedatangan manusia baru dengan penuh suka cita, meskipun pada saat dilahirkan, siapapun sebagai seorang bayi selalu menjerit-jerit menangis. Ada juga yang berpendapat, upacara atau kenduri itu dimaksudkan untuk menghubungkan dunia tempat kita hidup dengan dimensi lain, lantas harus ada hal-hal sakral yang disiapkan misalkan dibaca macapat dan doa-doa, hingga pupuh pun bisa dibaca. Tidak bertentangan dengan agama manapun, tradisi merupakan penafsiran masyarakat tentang kebaikan yang harus dilakukan agar orang menjadi baik.

D.   Jalan Asmarandana: Ketua RT Bertitel Magister Namun Gagal

Orang memperebutkan jabatan itu telah berlangsung sejak manusia memerankan lakon dalam panggung sejarah kehidupan ini. Berbicara soal jabatan, tentu ada yang dipinta atau ada yang direbut, namun pada sisi lain ada yang mendapatkannya sebagai hasil pemberian dari atasan. Apapun dan bagaimanapun cara jabatan diperoleh tetap saja hal tersebut merupakan amanah, amanah itu bisa jadi sebagai anugerah atau  juga bisa menjadi bencana. Arti amanah sendiri berarti hal yang bisa membuat orang lain menjadi nyaman karena memberikan kepercayaan secara penuh kepada yang diberi amanat.
Dulu, pemegang kunci kekuasaan di kampung biasanya para tokoh masyarakat. Sejak era reformasi telah terjadi pergeseran dalam memberi label kepada seseorang yang akan mendapatkan gelar tokoh masyarakat. Bisa jadi di zaman ini banyak tipe tokoh masyarakat, ada yang benar-benar tokoh, ditokohkan, bahkan tidak sedikit orang yang menokoh-nokohkan diri. Era reformasi sebagai bentuk nyata dari wujud demokrasi modern ditandai oleh perubahan besar dalam memilih pimpinan negara, imbasnya begitu kuat memengaruhi hingga ke daerah hingga kekuasaan terkecil, RT.
Dalam cerpen Jalan Asmarandana, Kuntowijoyo memaparkan bagaimana peran penting ketua RT dalam hidup bermasyarakat. Jadi tokoh masyarakat ternyata tidak sekadar mengandalkan apakah seseorang harus keluaran sekolah tinggi baik dari perguruan tinggi dalam negeri apalagi luar negeri. Faktanya, tidak bisa dipungkuri, lebih banyak tokoh masyarakat mulai dari tokoh agama, ketua RT dan RW, mereka merupakan kaluaran sekolah rakyat atau sekolah dasar tapi mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Tentang kelompok manusia yang biasa menokoh-nokohkan diri, ini fenomena biasa. Imbas dari rebutan kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi, tidak jarang di kampung-kampung, seorang ketua RT sekalipun berusaha mati-matian mencalonkan kembali di pemilihan ketua RT periode berikutnya. Kuntowijoyo tidak menjelaskan hal demikian dalam cerpen Jalan Asmarandana, tidak ada suksesi kepemimpinan, justru jabatan itu diterima oleh tokoh utama cerpen tersebut dari ketua RT lama. Diberikan karena pindah rumah. Jabatan ketua RT awalnya ditolak dengan berbagi macam alasan, hanya saja, dalam pikiran seorang akademisi lulusan dari sebuah perguruan tinggi luar negeri ditafsirkan lah, menjadi ketua RT bagaimanapun juga merupakan panggilan besar bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepadanya. Terdengar konyol, seorang lulusan magister jebolan sekolah luar negeri menjabat menjadi Ketua RT.
Pak Kunto mengawali setting cerpen ini di sebuah kompleks perumahan. Bisa diterka, kompleks adalah sebuah lingkungan dimana keheterogenan terpampang, multidimensi persoalan sudah siap dihadapi oleh Ketua RT baru. Kompleks perumahan merupakan perpaduan beragam jenis warga dari beragam latar belakang juga. Kohesi sosial rendah, sering menjadi penyebab lahirnya persoalan yang disebabkan oleh permasalahan atau hal kecil. Di kompleks tersebut Sang Ketua RT menjumpai ragam pemikiran dari warganya, maka untuk menghadapinya dibutuhkan berbagai pendekatan, bila perlu se-ilmiah  mungkin.
Ada warga memiliki pandangan, hidup ini sekadar canda tawa saja. Dia sebagai seorang pemborong mengklaim dirinya sebagai pembohong. Setiap tahun sudah pasti berbohong, jalan baik disebut rusak dan butuh perbaikan. Itulah tugas seorang pemborong, memperbaiki jalan, gang, MCK, dan jembatan-jembatan. Bagi seorang pemborong, tentu saja, ada berita jalan atau sekolah rusak itu merupakan kabar gembira. Bahkan, yang ikut berbahagia itu tidak dirinya saja, mulai dari pejabat teras atas  sampai lurah pun turut bersukacita. Masyarakat pun demikian, sebab mereka tahu betul, jalan atau apapun yang rusak-rusak itu sudah pasti akan diperbaiki lagi oleh pemerintah.
Dwiyatmo, seorang warga, misterius, istrinya telah meninggal, di Jalan Asmarandana ini telah  menjadi pangkal utama keresahan para tetangga dan petugas ronda. Dari dalam rumah Dwiyatmo - setiap malam -  sering terdengar bunyi tok tok tok, kayu dipaku menggunakan palu. Bukan tukang kayu kok bertingkah seperti tukang kayu?. Tetangga dekat Dwiyatmo, Said dan istrinya, pengantin baru merasa benar-benar terganggu oleh suara tok tok tok tersebut. Sebagai pengantin baru sudah tentu membutuhkan ketenangan dan suasana sepI di malam hari.
Begitulah hidup bertetangga, kita sering banyak menerka apa yang dilakukan dan dimiliki oleh tetangga. Informasi dikorek, lantas dikoreksi dengan ukuran penilaian versi masing-masing, hasilnya terkaan, menjurus fitnah bagi tetangga yang terlampau antipati. Namun kita juga sebaiknya jangan melakukan perbuatan-perbuatan ganjil di masarakat, sebab keganjilan itu akan lebih dikenali daripada yang genap dan biasa dilakukan di masyarakat. Contoh, berjamaah dan menunaikan jumaatan itu biasa dilakukan oleh mayoritas masyarakat, baik orang saleh sampai tukang berkelahi. Jika kita dengan sengaja malah diam di warung sambil merokok saat orang-orang menunaikan solat Jum'at, kita akan dicap ganjil oleh masyarakat sekitar.
Bukan apa-apa, Dwiyatmo ternyata hanya membuat sebuah keranda. Mungkin sebagai barang semacam kenang-kenangan untuk mengingat bahwa istrinya telah merasakan diusung di dalam keranda. Tentu saja itu menjadi masalah besar,sebab di dalam tradisi kita keranda merupakan barang yang sangat ditakuti. Sebagai seorang Ketua RT lulusan sekolah luar negeri, dia tentu saja memiliki tanggungjawab moral. Atas sarannya, Dwiyatmo menghentikan kelakuan konyolnya. Namun para tetangga tetap saja bertanya-tanya, kenapa tidak terdengar lagi suara tok tok tok dari rumah Dwiyatmo di malam hari. Kangen!!!
Ada rasa bangga. Ketua RT baru ternyata tidak sia-sia menggantikan Ketua RT lama. Dia memang pandai menyelesaikan persoalan padahal cukup misterius. Dan itu tidak pernah berhasil diselesaikan oleh Ketua RT lama.
Dwiyatmo berubah drastis dari misterius menjadi warga yang lebih terbuka. Dia selalu membersihkan halaman rumahnya setiap pagi, sontak saja inipun menjadi perhatian warga lainnya. Termasuk seorang perempuan setengah baya. Di bawah ini salah satu kutipan cerpen Jalan Asmarandana ;
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
“Kok menyapu sendiri, Pak?”
“He-eh, tidak ada yang disuruh.”
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”
“He-eh, habis bagaimana lagi.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”
“Ya tidak ada.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”
“Mau saja.”
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Begitu sederhana seorang Dwiyatmo dalam bertutur namun telah bisa menikam perempuan itu. Sebentar dulu, setelah menikah, warga ramai lagi sebab di malam hari mendengar suara gesekan gergaji memotong kayu dari rumah Dwiyatmo. Ketua RT menerima pengaduan lagi, pagi-pagi dia mendatangi rumah Dwiyatmo sekadar untuk memastikan apa yang diperbuat oleh pengantin baru itu. Diketahui lah, keranda yang dulu dibuat oleh Dwiyatmo, kini telah diubah menjadi kursi kayu. Siangnya sudah bisa ditebak, warga kembali diam.
Tetap saja lahir kembali pengaduan baru terutama dari tetangga Dwiyatmo sendiri, Said Tuasikal.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Tanpa penyelesaian konflik warga antara satu tetangga dengan tetangga lainnya telah membuat warga lain pada akhirnya harus keluar dari kompleks perumahan, Jalan Asmarandana. Said pindah rumah entah kemana.
Harus diakui, ternyata tidak mudah menjadi pemimpin itu, meskipun hanya sebagai seorang Ketua RT. Apalagi menjadi presiden, apalagi juga menjadi pemimpin agama.

Tentang Penulis 

Kang Warsa lahir 37 tahun lalu di Kota Sukabumi. Aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Bekerja sebagai Guru Bahasa Sunda di salah satu sekolah di Kota Sukabumi. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti; Pengelola Pemberdayaan Masyarakat di bidang penyampaian informasi, Media Center KPU Kota Sukabumi, Analis terhadap berbagai Peraturan Daerah dan Pandangan Umum DPRD Kota Sukabumi. Sekitar 1.500 karya tulis terdiri dari; kolom, opini, essai, cerpen, dan refleksi tersebar di media cetak dan elektronik sejak tahun 1997 hingga sekarang. Penulis saat ini aktif mengisi opini di media cetak Radar Sukabumi, Kritik Sasta di Radar Sumedang, dan essai di Sukabumi Discovery. 

Posting Komentar untuk "Sastra Sejarah dalam Karya Kuntowijoyo"