Beberapa -bahkan jumhur- mufassir memberikan interpretasi kata "auliya" dalam al-Maidah ayat 51 sebagai pemimpin, meskipun dalam Bahasa Arab, kata pemimpin secara lugas lebih khusus menggunakan kata "imam", orang terdepan.
Jika melihat sebab diturunkan ayat tersebut: adanya konspirasi antara Abdullah Ibn Ubay dengan kelompok Yahudi Bani Quraidzah untuk menjatuhkan Muhammad SAW, maka cara berpikir kita harus merunut sejarah di masa itu secara utuh. Konspirasi dua kelompok: Munafik dan Quraidzah terjadi karena agitasi politik oleh Abdullah Ibn Ubay di Madinah sangat kuat. Lahirnya disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, Abdullah Ibn Ubay sebagai seorang terpandang di Madinah pada awal kedatangan kaum Muhajirin dari Mekah bersikap simpati, namun di kemudian kedudukan dirinya sebagai seorang tokoh setempat merasa terancam, pada saat nanti popularitas dirinya meredup karena tersisihkan oleh kelompok pendatang.
Kedua, sumberdaya terutama sandang pangan papan yang disediakan oleh kelompok Anshor Madinah bagi kelompok Muhajirin lambat laun semakin menipis. Hal ini tentu memengaruhi pikiran-pikiran materialis: " Mereka -para Muhajirin- begitu enak menikmati apapun yang disediakan oleh hasil kerja keras kita. Sementara kita?" Abdullah Ibn Ubay terus-menerus mengkampanyekan atau lebih tepat melakukan propaganda kepada penduduk asli Madinah dengan provokasi seperti ini.
Ketiga, Kelompok Yahudi pada awal kedatangan Muhammad SAW dan Muhajirin bersikap terbuka, bahkan diskusi dan diskursus tentang ajaran Yudaisme dan Islam Awal sering dibahasakan. Yahudi memang tidak akan pernah mengakui jika Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dengan beberapa alasan: masa kerosulan telah selesai, Muhammad SAW bukan seseorang dari salah satu 12 suku Yahudi. Sama halnya dengan kaum Nashrani, mereka telah meyakini jika masa kenabian telah tuntas di era Isa. Tidak berbeda dengan kita sebagai umat Islam memiliki keyakinan bahwa masa kenabian telah berakhir dengan diutus Muhammad SAW. Ketika ada orang mengaku dirinya nabi? Akan dinyatakan ajaran sesat.
Kekecewaan Muhammad SAW kepada kaum Yahudi dan Nashrani bermula dari persoalan profetik tersebut, dua kelompok tersebut tidak mau mengakui beliau sebagai utusan Alloh. Demi hal tersebut, diputuskanlah hubungan antara ummat dengan tradisi Yudaisme dengan mengalihkan arah Kiblat dari Masjidil Aqsha ke Mekah. Pengalihan arah kiblat ini sebagai pernyataan sikap bahwa Islam Awal telah berlepas dari tradisi Yudaisme. Desas-desus ketidakkonsistenan Rosululloh dijawab oleh ayat: kebaikan seseorang bukan karena dia menghadapkan wajah ke Barat atau Timur, kecuali karena keimanan kepada Alloh.
Kondisi chaos dalam perang pemikiran dan intrik politik tersebut menjadi salah satu sebab diturunkan al-Maidah ayat 51. Artinya, di masa Rosululloh setiap persoalan kehidupan telah mendapatkan jawaban langsung baik dari Rosululloh maupun melalui wahyu. Bisa jadi di masa itu, kata auliya dalam ayat 51 memang benar secara lugas diartikan wali atau loyalitas. Dan ini begitu bisa dicerna oleh nalar sehat, bagaimana bisa ummat memberikan loyalitas kepada kelompok yang nyata-nyata menabur benih permusuhan.
Berbeda dengan di masa Rosululloh masih hidup. Masa setelah kerasulan, persoalan semakin kompleks, kehidupan terus berkembang, sementara ummat tidak mungkin mendapatkan jawaban langsung dari wahyu karena telah selesai, hal ini melahirkan penafsiran-penafsiran baru terhadap wahyu dan sunnah. Mengenai kodifikasi ayat-ayat Al-Qur'an menjadi mushaf pun terjadi silang pendapat di kalangan sahabat, meskipun pada akhirnya hal ini diselesaikan melalui jalur kekuasaan, oleh Utsman Ibn 'Affan.
Jarak antara era kerosulan dengan kehidupan sekarang sudah hampir 15 abad. Interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sangat beragam dan terus mengalami perkembangan, peran akal dan hati kemudian fakta-fakta empiris bergumul menjadi satu. Artinya, bukan Al-Qur'an secara tektual yang harus memberi makna kepada fakta-fakta yang ada melainkan nilai-nilai substantif dalam Al-Qur'an yang harus dikemas agar dapat memberikan jawaban setiap persoalan yang ada. Al-Qur'an harus ditempatkan sebagai basis nilai, bukan juklak dan juknis dalam kehidupan agar semangat spiritualitasnya tetap terjaga. Bagaimana bisa kita menemukan ayat tentang "tata cara merakit alat elektronik" atau "coding html,java script" jika Al-Qur'an dijadikan juklak dan juknis, hal tersebut malahan akan melahirkan sangkaan ternyata tidak ada dalilnya, bukankah Al-Qur'an ini kitab yang sempurna?
Untuk kata auliya dalam al-Maidah ayat 51, saya lebih condong dengan pemaknaan "memberikan loyalitas" saja. Di dalam ranah politik, terutama saat pilkada, bisa saja ayat ini dijadikan komoditas atau dijadikan alat untuk menyerang lawan politik meskipun hal tersebut tanpa melalui proses berpikir, apakah lawan politik tersebut memiliki kesamaan sikap dengan kaum Yahudi dan Nashrani seperti di zaman Rosululloh atau tidak? Atau dengan melihat kepada diri sendiri, apakah kita memang seorang pengikut Rosululloh atau sikap-sikap kemunafikan masih bersemayam dalam diri kita?
Kang Warsa
--
Kang Warsa
Jika melihat sebab diturunkan ayat tersebut: adanya konspirasi antara Abdullah Ibn Ubay dengan kelompok Yahudi Bani Quraidzah untuk menjatuhkan Muhammad SAW, maka cara berpikir kita harus merunut sejarah di masa itu secara utuh. Konspirasi dua kelompok: Munafik dan Quraidzah terjadi karena agitasi politik oleh Abdullah Ibn Ubay di Madinah sangat kuat. Lahirnya disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, Abdullah Ibn Ubay sebagai seorang terpandang di Madinah pada awal kedatangan kaum Muhajirin dari Mekah bersikap simpati, namun di kemudian kedudukan dirinya sebagai seorang tokoh setempat merasa terancam, pada saat nanti popularitas dirinya meredup karena tersisihkan oleh kelompok pendatang.
Kedua, sumberdaya terutama sandang pangan papan yang disediakan oleh kelompok Anshor Madinah bagi kelompok Muhajirin lambat laun semakin menipis. Hal ini tentu memengaruhi pikiran-pikiran materialis: " Mereka -para Muhajirin- begitu enak menikmati apapun yang disediakan oleh hasil kerja keras kita. Sementara kita?" Abdullah Ibn Ubay terus-menerus mengkampanyekan atau lebih tepat melakukan propaganda kepada penduduk asli Madinah dengan provokasi seperti ini.
Ketiga, Kelompok Yahudi pada awal kedatangan Muhammad SAW dan Muhajirin bersikap terbuka, bahkan diskusi dan diskursus tentang ajaran Yudaisme dan Islam Awal sering dibahasakan. Yahudi memang tidak akan pernah mengakui jika Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dengan beberapa alasan: masa kerosulan telah selesai, Muhammad SAW bukan seseorang dari salah satu 12 suku Yahudi. Sama halnya dengan kaum Nashrani, mereka telah meyakini jika masa kenabian telah tuntas di era Isa. Tidak berbeda dengan kita sebagai umat Islam memiliki keyakinan bahwa masa kenabian telah berakhir dengan diutus Muhammad SAW. Ketika ada orang mengaku dirinya nabi? Akan dinyatakan ajaran sesat.
Kekecewaan Muhammad SAW kepada kaum Yahudi dan Nashrani bermula dari persoalan profetik tersebut, dua kelompok tersebut tidak mau mengakui beliau sebagai utusan Alloh. Demi hal tersebut, diputuskanlah hubungan antara ummat dengan tradisi Yudaisme dengan mengalihkan arah Kiblat dari Masjidil Aqsha ke Mekah. Pengalihan arah kiblat ini sebagai pernyataan sikap bahwa Islam Awal telah berlepas dari tradisi Yudaisme. Desas-desus ketidakkonsistenan Rosululloh dijawab oleh ayat: kebaikan seseorang bukan karena dia menghadapkan wajah ke Barat atau Timur, kecuali karena keimanan kepada Alloh.
Kondisi chaos dalam perang pemikiran dan intrik politik tersebut menjadi salah satu sebab diturunkan al-Maidah ayat 51. Artinya, di masa Rosululloh setiap persoalan kehidupan telah mendapatkan jawaban langsung baik dari Rosululloh maupun melalui wahyu. Bisa jadi di masa itu, kata auliya dalam ayat 51 memang benar secara lugas diartikan wali atau loyalitas. Dan ini begitu bisa dicerna oleh nalar sehat, bagaimana bisa ummat memberikan loyalitas kepada kelompok yang nyata-nyata menabur benih permusuhan.
Berbeda dengan di masa Rosululloh masih hidup. Masa setelah kerasulan, persoalan semakin kompleks, kehidupan terus berkembang, sementara ummat tidak mungkin mendapatkan jawaban langsung dari wahyu karena telah selesai, hal ini melahirkan penafsiran-penafsiran baru terhadap wahyu dan sunnah. Mengenai kodifikasi ayat-ayat Al-Qur'an menjadi mushaf pun terjadi silang pendapat di kalangan sahabat, meskipun pada akhirnya hal ini diselesaikan melalui jalur kekuasaan, oleh Utsman Ibn 'Affan.
Jarak antara era kerosulan dengan kehidupan sekarang sudah hampir 15 abad. Interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sangat beragam dan terus mengalami perkembangan, peran akal dan hati kemudian fakta-fakta empiris bergumul menjadi satu. Artinya, bukan Al-Qur'an secara tektual yang harus memberi makna kepada fakta-fakta yang ada melainkan nilai-nilai substantif dalam Al-Qur'an yang harus dikemas agar dapat memberikan jawaban setiap persoalan yang ada. Al-Qur'an harus ditempatkan sebagai basis nilai, bukan juklak dan juknis dalam kehidupan agar semangat spiritualitasnya tetap terjaga. Bagaimana bisa kita menemukan ayat tentang "tata cara merakit alat elektronik" atau "coding html,java script" jika Al-Qur'an dijadikan juklak dan juknis, hal tersebut malahan akan melahirkan sangkaan ternyata tidak ada dalilnya, bukankah Al-Qur'an ini kitab yang sempurna?
Untuk kata auliya dalam al-Maidah ayat 51, saya lebih condong dengan pemaknaan "memberikan loyalitas" saja. Di dalam ranah politik, terutama saat pilkada, bisa saja ayat ini dijadikan komoditas atau dijadikan alat untuk menyerang lawan politik meskipun hal tersebut tanpa melalui proses berpikir, apakah lawan politik tersebut memiliki kesamaan sikap dengan kaum Yahudi dan Nashrani seperti di zaman Rosululloh atau tidak? Atau dengan melihat kepada diri sendiri, apakah kita memang seorang pengikut Rosululloh atau sikap-sikap kemunafikan masih bersemayam dalam diri kita?
Kang Warsa
--
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Auliya Dalam Al-Maidah Ayat 51"