" BEFORE THE FLOOD : PERJALANAN DAN KANTOR POS"
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
Dalam cerita –baik biblikal maupun Qur'ani – banjir besar pernah melanda planet ini di zaman Nabi Nuh. Bangsa Akkadea juga meyakini peristiwa ini, mereka mengabadikannya di dalam naskah Epos Gilgamesh. Ada kemiripan cerita , banjir tersebut sebagai akibat perbuatan manusia-manusia ingkar, ketidakkonsistenan mereka dalam menjaga warisan yang telah diberikan oleh Adam dan Idris. Secara ilmiah, beberapa ahli telah mengemukakan teori, banjir besar ini memang pernah melanda bumi sebagai akibat dari jebolnya bendungan alam di perairan Mediterania. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada 7.000 tahun lalu.
Hollywood memroduksi berbagai film tentang peristiwa tersebut, baik bergenre religi, sci-fi atau satir, seperti film Noah. Pembuatan film ini kecuali dilatarbelakangi oleh motif "mencari keuntungan" juga memiliki maksud lain, mengilmiahkan mukjizat di masa lalu agar lebih dekat dengan konteks kekinian. Bagi masyarakat Barat, menampilkan sosok seorang Nabi seperti Nuh tidak dipandang sebagai persoalan tabu, dalam diri mereka telah tertanam pemikiran, simbol dengan apa yang disimbolkannya begitu berbeda. Pandangan seperti ini – mungkin – masih merupakan hal yang belum mendapatkan toleransi dalam masyarakat kita.
National Geographic telah merilis sebuah film dokumenter berjudul Before the Flood, Leonardo Di Caprio hadir di sana. Sejak diangkat menjadi duta peduli lingkungan oleh PBB, artis ini aktif dalam kegiatan lingkungan dan upaya-upaya untuk menyadarkan manusia terhadap pentingnya menjaga alam. Film dengan durasi satu jam lebih ini diawali oleh narasi Leonardo terhadap sebuah lukisan "The Garden of Earthly Delights" karya seniman Belanda, Hieronymus Bosch. Lukisan ini menggambarkan tiga fase kehidupan. 1) Kehidupan Sorgawi, ketika alam benar-benar masih berwujud sebagaimana alam adanya. 2) Kehidupan Pertengahan, suatu zaman ketika kehidupan telah diisi oleh beragam kemajuan, populasi manusia semakin bertambah, lahirnya perbedaan, dan kompeksitas kehidupan. 3) Kehidupan akhir, imaji yang menggambarkan satu masa ketika manusia telah hidup dalam kondisi saling cakar, rakus, perang, dan gelimang darah.
Baik lukisan yang dihasilkan oleh seorang seniman ataupun buku ilmiah yang ditulis oleh beberapa ahli, seperti Alvin Toffler telah memberi gambaran sederhana terhadap perjalanan kehidupan manusia sejak zaman prasejarah hingga sekarang. Penafsiran terhadap karya-karya tersebut begitu beragam namun memiliki beberapa titik temu. Dalam "Third Wave", Toffler menyebutkan kehidupan manusia diawali di era Gelombang Pertama ketika manusia telah mampu melakukan lompatan besar dari masyarakat nomaden ke masyarakat agraris. Budaya agraris telah menghasilkan bentuk kebudayaan baru, penemuan dan pembuatan barang-barang baru. Bisa disimpulkan, kebudayaan ini pada dasarnya bermula dari tumbuhan apa yang ditanam oleh manusia.
Masyarakat agraris telah melahirkan kebudayaan baik dalam bentuk alat, teknologi, seni, hingga sistem religi sebagai induk dari kebudayaan yang berkembang di gelombang-gelombang selanjutnya. Selama Gelombang Pertama, masyarakat Sunda telah menghasilkan kearifan-kearifan melebihi unsur budaya seperti semangat kontemplatif dan renungan-renungan. Hasil permenungan tersebut dibumikan melalui bahasa verbal dalam bentuk babasan dan paribasa yang erat hubungannya dengan alam, seperti: "Ulah sok papaséaan bisi pajauh huma", " Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak.
Budaya ngahuma masyarakat Sunda Buhun telah mencetak manusia-manusia 'pejuang' dan 'pejalan'. Kebiasaan melakukan kontemplasi dan merenung telah melahirkan jawaban terhadap persoalan-persoalan dalam kehidupan. Hubungan yang erat antara manusia dengan alam, seperti ungkapan Paolo Coelho dalam Chemistry-nya, akan menimbulkan konspirasi dan dukungan alam dalam kehidupan manusia. Sampai zaman Kerajaan Pajajaran, kita tidak pernah menemukan peristiwa bencana alam terjadi di Tatar Pasundan.
Masyarakat agraris telah menghasilkan sistem religi, dimana manusia sebagai mahluk memiliki kewajiban menjaga dan merawat mahluk-mahluk lain yang ada di alam ini. Permenungan yang dilakukan oleh masyarakat agraris telah mampu menemukan jawaban terhadap persoalan hidup. Manusia-manusia yang mampu menembus alam Buana Nyungcung – dalam term Keislaman alam ini disebut alam Lahud-Jabarut-Malakut - telah dihasilkan dalam lingkungan agraris. Kehidupan dijalani dengan cara sederhana namun spiritualitas manusia begitu meningkat. Dalam lingkungan agraris hampir tidak ditemukan percekcokan dan konflik besar hingga menjadi pertempuran perang. Banjir pemikiran dan opini tidak pernah hadir dalam kehidupan masyarakat sederhana ini. Sangat "Tiis ceuli hérang panon".
Pada Gelombang Kedua, zaman ketika manusia telah sampai pada sebuah revolusi pemikiran: industrialisasi. Manusia mulai mencari jawaban terhadap persoalan kehidupan dengan cara menggeserkan piranti pencari jawaban dari hati ke otak. Rasionalisme menjadi pegangan hidup manusia di era industri. Semangat kontemplasi masih dilakukan namun harus bisa dicerna oleh rasio. Lompatan besar terjadi, banjir seperti dalam kisah Nabi Nuh sebagaimana tersebut di atas bukan lagi berbentuk air, dia telah menjelma dalam bentuk lain. Teknologi dan informasi yang melanda dan menenggelamkan manusia di era Gelombang Ketiga, sebuah zaman perpaduan antara Gelombang Pertama dengan Gelombang Kedua.
Arus informasi begitu kuat. Bukan hanya telah menjadi arus, informasi juga diproduksi secara massif dan terkonsentrasi. Seperti kantor pos yang siap membagikan surat serta dokumen terbungkus rapi kepada penerima. Kita sendiri – telah terjebak – bukan sebagai penerima informasi saja, juga telah dengan sukarela menjadi kurir-kurir informasi. Informasi disebarluaskan dengan cara dibagikan melalui media sosial, tanpa kita mengetahui seberapa akurat dan benar informasi tersebut. Bahkan dengan hanya membaca judulnya saja sebagai sampul sebuah informasi dengan cekatan disebarkan dan didistribusikan agar dibaca oleh orang lain, sama halnya dengan Si Kurir, informasi yang diterima oleh pembaca pun hanya dibaca judul atau sampulnya saja.
Di zaman ini, kita seolah tidak memerlukan lagi sikap tabayun, check and recheck, dan keseimbangan, yang begitu kentara justru keberpihakan. Masing-masing dari kita memiliki argumentasi berpihak kepada kebenaran dengan berbagai dalih dan dalil pembenaran. Pihak lain dinyatakan sebagai pihak pesakitan yang selalu salah. Manusia-manusia tak berpihak disebut sebagai kelompok abu-abu atau hipokrit. Sikap seperti ini merupakan penafsiran wahyu Tuhan terhadap konteks sekarang; Iman, Munafik, dan Kafir.
Saat sikap kontemplatif telah jarang dilakukan sudah bisa dipastikan spiritualitas manusia akan menukik tajam sementara super-ego meningkat. Manusia seperti sudah tidak lagi membutuhkan jawaban yang benar, kecuali sikap merasa paling benar. Akal dicacimaki namun digunakan untuk melawan pihak lain. Nurani dikesampingkan karena penjara keduniawian telah mengerangkeng manusia.
Pengrusakan alam terjadi karena manusia tidak lagi berpikir secara holistik dan utuh. Sebutan-sebutan dengan berbagai varian bahasa kepada kelompok-kelompok lain disematkan. Kebenaran tidak dicari melalui permenungan dan komunikasi antara manusia dengan Tuhan, sebagian besar manusia telah memilih melakukan komunikasi dengan tiga tuhan baru: TV, Smart-Phone, dan Komputer (Internet). Dan kita telah menjelma menjadi nabi-nabi palsu yang gemar berkhotbah melangit namun begitu jauh dengan bumi.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Before The Flood"