Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
Faktor penarik utama lahirnya ruralisasi di daerah Sukabumi antara lain: harga lahan di daerah perdesaan relatif murah jika dibandingkan dengan lahan di daerah perkotaan. Hal ini dipengaruhi juga oleh faktor penarik lainnya seperti; wilayah peripheral antara daerah perdesaan dengan pusat kota semakin berkembang, suasana di perdesaan lebih tenang jika dibandingkan perkotaan. Masyarakat urban perkotaan – usia 50 tahun ke atas – mengalami depresi sosial karena kehidupan di perkotaan sering tampak menjenuhkan bahkan memuakkan.
Sudah bisa diprediksi , ruralisasi besar-besaran akan terjadi di Sukabumi saat jalur tol Bogor-Sukabumi selesai. Pembangunan jalur tol Bogor - Sukabumi saat ini bukan hanya sebagai penghubung dua daerah, juga akan membuka akses penting sebagai pintu masuk ruralisasi penduduk/warga Bogor dan Jakarta ke Sukabumi. Akan berbeda dampaknya antara pembangunan jalan tol yang menghubungkan dua kota besar seperti Jakarta - Bandung dengan jalur penghubung kota besar dengan wilayah peripheral dan perdesaan.
Walaupun pada awal pembuatan jalur tol Bogor - Sukabumi dimaksudkan untuk menanggulangi kemacetan yang sering terjadi di jalur Cibadak - Cicurug - Bogor, namun pada akhirnya akan membuka celah ruralisasi dan sirkulasi penduduk Jakarta - Bogor - Sukabumi dalam skema masif. Pada tahun 2020, daerah periferal di Sukabumi akan mengalami pertumbuhan cukup pesat di wilayah perbatasan Sukabumi – Cianjur kemudian meluas menuju kea rah lebih dalam hingga ke Selatan: Sagaranten sampai Jampang Kulon.
Kecuali itu, pertumbuhan lapangan usaha baru, berdirinya beberapa pabrik di Sukabumi menjadi alasan lain ruralisasi besar-besaran akan terjadi dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Gejala ruralisasi di Sukabumi telah ditandai oleh pembelian lahan-lahan perdesaan; sawah, ladang, dan perkebunan oleh pengusaha-pengusaha asal Korea dan Taiwan. Sudah tentu, pemerintah Kabupaten dan Sukabumi harus memikirkan secara matang penyiapan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi fenomena sosial ke depan sebagai langkah antisipatif.
Analisa penulis terhadap betapa mudah dan seolah tanpa regulasi yang jelas wanrga negara lain bisa membeli dan menguasai lahan-lahan strategis di Sukabumi dan dalam skala lebih luas yaitu Indonesia, ruralisasi bukan sekadar perpindahan penduduk dari daerah perkotaan ke perdesaan saja. Ia akan berkembang menjadi lebih luas dalam bentuk ruralisasi global, perpindahan penduduk dari satu negara maju ke negara berkembang. Faktor penarik darinya – sebagaimana disebutkan di atas – adalah betapa murah dan mudahnya tanah-tanah di negara berkembang bisa dibeli dan dimiliki oleh warga negara lain. Kita sama sekali jarang berpikir, apakah warga negara ini bisa membeli lahan di negara lain sebanding dengan luas lahan yang saat ini dikelola oleh asing?
Bisa dikatakan, faktor penarik ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan faktor lain, Indonesia sebuah negara yang berada di garis Khatulistiwa merupakan negara equator sebagai wilayah kaya raya, sumberdaya alam baik fosil maupun non-fosil melimpah ruah. Kenyataan ini telah menjadi pendorong bangsa-bangsa lain untuk mencicipi hingga memiliki kue raksasa bernama Nusantara sejak era merkantilisme dan kolonialisme.
Keberkahan Sekaligus Ancaman
Zamrud Khatulistiwa, jika pada zaman dahulu digadang-gadang sebagai wilayah yang rentan dengan ancaman bencana karena berada di sabuk pegunungan berapi atau sirkum Mediterania, ancaman saat ini justru dari negara-negara yang terletak di atas dan bawah Khatulistiwa. Dua hal tersebut merupakan sinyal: kecuali sebagai negara atau wilayah sorgawi, Indonesia juga merupakan wilayah yang sedang menghadapi ancaman serius.
Populasi manusia telah mencapat 7,4 milyar. Batas ideal bumi kita menampung sekitar 7-10 milyar manusia, itupun jika dipukul rata luas permukaan bumi ditanami oleh vegetasi sebagai produsen atau sumber makanan, jika permukaan bumi ini telah banyak dipadati oleh pemukiman dan beton, bisa ditaksir jumlah populasi ideal akan lebih menyusut lagi. Ini memiliki arti, merupakan satu keniscayaan negara yang berkelimpahan oleh sumberdaya alam akan menjadi rebutan negara yang memiliki kekuatan untuk merangsak mengambil hingga merampok sumberdaya alam strategis negara ini.
Kekisruhan di Timur Tengah, konflik berkepanjangan baik di dalam negeri maupun disebabkan adanya invasi dari negara Barat disebabkan oleh persoalan minyak bumi, sumberdaya fosil. Tetapi, sumberdaya alam ini bukan jenis barang yang bisa diperbaharui, lambat laun, dari tahun ke tahun produksi minyak bumi akan semakin menurun. Penurunan harga minyak bumi sering mamicu persoalan ekonomi di sisi lain. Krisis ekonomi hingga depresi ekonomi bisa terjadi. Negara-negara petro-dollar telah pecah karena persoalan ini entah oleh rebutan kekuasan di dalam negara ataupun oleh invasi negara lain. Yang jelas, mereka hampir lenyap dan sudah tidak bisa diandalkan lagi sebagai negara-negara penghasil minyak. Indonesia menjadi bidikan negara-negara lain.
Perubahan yang terjadi secara global terutama persoalan ekonomi dan politik sering membawa imbas kepada negara lain, tanpa kecuali Indonesia; konflik dan kejahatan semakin meningkat , tatanan masyarakat semakin melemah dan menuju kehancuran. Kenyataan ini sudah diprediksi 200 tahun lalu oleh para ilmuwan sosial sebagai pemantik lahirnya kompetisi global, sebuah panggung persaingan seluruh umat manusia baik secara berkelompok, bernegara, atau juga individual. Ketika dunia telah kehabisan sumber energi – teori terkini menyebutkan konflik dan peperangan disebabkan oleh rebutan sumber energi -, wilayah di khatulistiwa seperti Indonesia akan menjadi rebutan. Bisa dibayangkan; ketika populasi manusia telah mencapai jumlah 10 milyar, 8 milyar manusia yang berada di daerah non equator akan membutuhkan sumber daya energi non-fosil atau vegetasi yang berada di daerah equator seperti Indonesia.
Sampai saat ini, negara-negara luar memang belum menemukan alasan jelas bagaimana cara memasuki dan menginvasi negara ini, tidak seperti dulu di era kolonialisme. Namun tanpa kita sadari, sejak selesainya Perang Dunia I dan II, negara ini telah diserobot melalui jalur ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Ketidaksadaran ini telah melengahkan dan melemahkan kita. Kita – saat ini – masih terjebak dalam perangkap sederhana perbedaan, suku, etnis, kultur, dan agama. Lebih sederhana lagi, berbagai ormas, paguyuban, OKP, dan lembaga lainnya. Kita menjadi bangsa yang mudah tersulut oleh persoalan SARA atau perbedaan kelompok. Kebhinekaan dengan sangat mudah bisa lepas hanya karena perbedaan pikiran dan pendapat. Jika masih belum sadar, maka kita akan menyadari saat negara ini telah dianeksasi bahkan diinvasi oleh negara lain entah dengan mengatasnamakan agama, ekonomi, dan politik. Masih belum sadar? Maka tontonlah sebuah film berjudul Avatar!
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Ruralisasi Global: Sebuah Ancaman Bagi Nusantara "