Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
KESULITAN terberat dalam menyusun ulang hingga mengurai legenda, mitos, sage, dan folklore (cerita rakyat) yang telah lama berkembang di Tatar Sunda disebabkan oleh karena sedikit sekali kesusastraan tersebut telah dikompilasi dalam bentuk buku. Persoalan lain, cerita-cerita yang berkembang di Tatar Sunda begitu beragam sekaligus memiliki tingkat kerumitan dalam bagaimana cara memaparkannya. Sage dan legenda yang berkembang di Tatar Sunda jika dirunut hanya menyisakan dongeng atau sasakala besar saja seperti: Sasakala Tangkuban Parahu, Asal-usul Situ Bagendit, Si Leungli,Dalem Boncel dan cerita-cerita rakyat atau carita pantun lain yang tidak terlalu familiar di masayarakat.
Membahasakan secara verbal cerita rakyat, seperti halnya mahakawi-mahakawi (ahli sejarah) pada abad ke-15 hingga abad ke-18 merupakan hal penting. Sebab cerita rakyat yang berkembang merupakan genre sastra yang terpisah dari roman, novel, carpon, juga cerpen. Cerita rakyat lebih memiliki kekentalan landasan filosofis dan basis moral suatu masyarakat karena diwacanakan secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini memiliki arti, cerita rakyat sebagai bagian dari sastra akan lebih mudah diterima oleh setiap lapisan masyarakat. Seorang sejarawan Sunda, Wangsakerta memerlukan waktu hingga 23 tahun untuk menyusun Sejarah Nusantara secara utuh, tentu saja dengan tingkat kesulitan lebih besar jika dibangdingkan dengan pewacanaan cerita rakyat.
Salah satu cerita rakyat yang sangat jarang diwacanakan atau didongengkan secara verbal di masyarakat Kota Sukabumi yaitu dongeng Nyimas Tjai-wangi. Dalam budaya Sunda, legenda, mitos, sage, sasakala, dan cerita rakyat merupakan dongeng yang selalu mengambil setting atau latar belakang di zaman Purwayugha atau dikenal dengan masa "Paratwan atau Pararaton". Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita-cerita rakyat di Sukabumi pun tidak terlepas dari cara seorang penutur mengambil setting cerita dengan latar era Paratwan atau Pararaton ini.
Era Paratwan atau Pararaton ini telah disitir oleh Wangsakerta pada tahun 1677 M ketika Pangeran dari Cirebon ini menyelenggarakan Gotrasawala (Musyawarah) dengan ratusan Mahakawi (ahli sejarah) dari Nusantara. Dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara disebutkan: di zaman Purwayugha, diperkirakan jutaan tahun lalu, ketika bumi ini mulai mendingin kemudian tumbuhlah berbagai vegetasi, satwa, dan mahluk baru. Selanjutnya, antara 500.000 sampai 300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas.
Merujuk kepada sumber sejarah yang ditulis oleh para Mahakawi (ahli sejarah) seluruh Nusantara yang difasilitasi oleh Wangsakerta ini, cerita rakyat Nyimas Tjai-wangi mengambil setting di era Purwayugha ini dengan beberapa alasan. Pertama, konflik dalam cerita terjadi ketika seorang Danawa atau Raksasa berusaha menculik seorang putri bernama Tjai-wangi. Penting diketahui, cerita rakyat Nyiwas Tjai-wangi ini berkembang di perbatasan Kota Sukabumi Selatan dengan Kabupaten Sukabumi yang dibatasi oleh Sungai Cimandiri. Pada akhirnya nama Tjai-wangi sendiri disematkan sebagai nama sebuah kampung di sebelah selatan Cibodas, Kecamatan Lembursitu.
Dalam salah satu segmen atau adegan cerita itu disebutkan seorang Danawa atau Raksasa jatuh hati kepada seorang perempuan bernama Tjai-wangi, lantas menculiknya. Karena kedunguan sang Danawa, Tjai-wangi menggulungkan anyaman daun suji kepada Sang Danawa hingga kulitnya berubah berwarna hijau. Sang Danawa berpikir kulit hijau itu akan berubah kembali menjadi biasa jika dia berendam di kolam berair panas. Tanpa sungkan dia langsung menceburkan diri ke dalam kubangan berair panas ( Sekarang: Cikundul), hal ini justru menyebabkan kulit Sang Danawa melepuh sampai dia tewas. Di masyarakat Baros dan Lembursitu dikenal istilah Buta Héjo, sebuah sebutan untuk Yaksapurusa berkulit hijau.
Kedua, sumber cerita rakyat di daerah ini menyebutkan, pada masa zaman Purwayugha antara wilayah Kapitan hingga Cibodas, di sekitar wilayah perbukitan, saat ini telah menjadi Perumahan Bumi Raharja merupakan pertamanan, tempat para putri bermain. Secara ilmiah dapat dikatakan, permusuhan sengit antara mahluk-mahluk bernama Yaksapurusa – dalam term ilmu sosial bernama Meganthropus Palaeojavanicus - sebagai bagian dari seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest dengan Homo Sapiens, mahluk berperadaban. Dan pada akhirnya, para Yaksa Purusa (Meganthropus Palaeojavanicus) ini punah karena tingkat atau ukuran otak mereka jauh lebih kecil dan berada di bawah para Homo Sapiens, manusia berperadaban. Dari salah satu segmen cerita rakyat Nyimas Tjai-wangi ini bisa ditarik sebuah jawaban sementara: teori evolusi yang dicetuskan oleh Charles Darwin telah dikemukakan oleh Wangsakerta dan masyarakat Nusantara, 200 tahun sebelum Darwin menerbitkan The Origin of Species.
Dongeng atau cerita rakyat Nyimas Tjai-wangi dengan Butaijo inipun sejak tahun 80-an sudah mulai tidak dikenal lagi oleh masyarakat setempat. Selain oleh alasan-alasan di atas juga disebabkan oleh semakin gencarnya ekspasi cerita dan dongeng dari negara lain yang lebih banyak diceritakan oleh masyarakat mengalahkan keinginan mereka mewacanakan dan mebahasaverbalkan cerita-cerita milik sendiri. Karena apa? Pertama, cerita-cerita dari wilayah lain dibahasakan melalui pendekatan agama, ini berlaku untuk dongeng-dongeng dari Timur Tengah dan bangsa Semit. Kedua, cerita-cerita dari Eropa dan Amerika dibahasakan melalui pendekatan teknologi , melalui tayangan audio-visual dalam bentuk film. Saya berani bertaruh, masyarakat Sukabumi lebih mengenal cerita Samson, Peter Pan, Goliath, dan Barbie daripada dongeng Nyimas Tjai-wangi.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Nyimas Tjaiwangi: Cerita Rakyat Sukabumi Yang Terabaikan"