MUI dan DNK, Antara Takdir dan Kedewasaan
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
BEBERAPA hari ini, saya jarang memosting tulisan, bukan berarti tidak menulis, kecuali menyimpannya terlebih dahulu, hingga belum mengirimkan tulisan-tulisan tersebut ke beberapa media. Ada yang harus dipikir ulang ketika kita menulis dan memostingnya sebelum diserap publik sebab bagaimana juga, seilmiah apapun sebuah tulisan sering tampak dipengaruhi secara kuat oleh subyek penulisnya. Subyek tentu saja berbeda-beda, bahkan untuk mengamati sebuah obyek pun tidak lepas dari persepsi, perspektif, dan interpretasi.
Mungkin, pengertian obyektif dalam karya ilmiah adalah ketika kebenaran diakui secara umum, didukung oleh teori yang telah ditemukan dan dikemukakan oleh orang-orang yang memang memiliki kapasitas terhadapnya. Kesimpulan sederhana dari dua paragrap ini adalah: apa yang kita lihat, amati, dan tafsirkan hanya menyentuh obyek-obyek permukaan luarnya. Dan dengan mudah kita sering memiliki anggapan, permukaan luar tersebut telah mewakili sebuah obyek secara keseluruhan. Padahal semua bidang kehidupan dan keilmuan memiliki tingkat kesulitan yang cukup besar saat menjumpai tantangan dalam mengemukakan pandangan tentang obyek secara detail.
Beberapa hari lalu, salah seorang guru dan teman satu profesi saya, Dudung Nurullah Koswara (DNK) dipanggil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Sukabumi untuk mengklarifikasi status di facebook karena dinilai mengarah ke penistaan agama. Meskipun tidak terlalu serius mengikuti perkembangan penyelesaian masalah tersebut, tetapi melalui berbagai pemberitaan, opini, dan berdialog langsung dengan DNK, penulis memiliki beberapa catatan terhadap persoalan ini.
Obyek yang dikaji oleh Majelis Ulama Indonesia Kota Sukabumi adalah isi status DNK di facebook yang ditafsirkan oleh MUI Kota Sukabumi sebagai penistaan terhadap 'Rukun Islam'. Dalam status tersebut, jika ditelaah secara jelas: "Pertama sehat, kedua syahadat, ketiga sholat", DNK sama sekali tidak menyebutkan secara eksplisit baik di awal atau pun di akhir status kata-kata "Rukun Islam". Artinya, status ini masih bersifat multi tafsir, umum, tidak secara spesifik menunjuk pada satu pengertian. Maka sangat wajar jika panggilan MUI Kota Sukabumi kepada DNK merupakan permohonan klarifikasi terhadap status tersebut.
Hal baik yang saya terima dari DNK secara langsung adalah DNK mengucapkan istigfar dan akan lebih berhati-hati lagi dalam menulis status dan statement, pernyataan tersebut bukan sekadar diucapkan juga ditulis di hadapan MUI dan Walikota Sukabumi. Hal lainnya, terutama pandangan saya terhadap status DNK dan penafsiran MUI atas dasar 'laporan' ormas antara lain: kebebasan berpendapat setiap orang tetap akan berbenturan dengan kebebasan menafsirkan pendapat tersebut dari pihak lain. Artinya, dalam kehidupan manusia sama sekali tidak ditemukan kebebasan mutlak sebab kemerdekaan manusia mengemukakan pendapat tetap dibatasi oleh kemerdekaan orang lain dalam merespon pendapat kita. Dalam dunia ilmu pengetahuan hal ini menjadi sebuah kewajaran dan harus ada. Bahkan dalam keyakinan pun, sampai saat ini kaum 'mutakallimun' masih tetap mempertahankan diskusi tentang eksistensi Tuhan.
Apalagi jika segala hal seperti di atas dihubungkan dengan landasan teologis dalam Islam, mengenai Qodlo dan Qodar, begitu banyak sekali takdir ini mengerubuti kehidupan setiap orang. Dengan segera kita akan menyimpulkan: segala yang telah terjadi dalam kehidupan ini memang telah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, siapa dapat menolaknya? Seseorang beragama Kristen, lahir dari keluarga Kristen merupakan kebebesan mutlak Tuhan. Saya dan anda terlahir dari keluarga muslim, beragama Islam bahkan akan mempertahankannya "walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun" telah menjadi keputusan mutlak Yang Maha Kuasa.
Dalam setiap persoalan kehidupan ini, Elia atau Nabi Ilyas telah memberikan arahan yang jelas: Tuhan tidak hanya menggerakkan atau berada pada satu sisi saja, jika anda menganggap Tuhan berpihak pada satu kehidupan dan mengabaikan kehidupan lainnya, maka dimanakah letak kemahakuasaan-Nya? Sejauh ini saja, kita terlalu sering membahasakan Tuhan dengan cara pandang sebagai manusia. Pembahasan persoalan takdir dan nasib ini memang telah diulang-ulang sejak era klasik sampai saat ini.
Siapa yang menggerakkan DNK untuk menuliskan sebuah status? Akan timbul alasan lain, manusia telah diberi akal , konsekwensinya adalah manusia harus menggunakan pemikiran yang jernih sebelum melakukan tindakan. Lahir lagi pertanyaan susulan: lantas, siapakah yang telah memberikan akal? Apakah akal bekerja dengan kesadaran akal sendiri? Apakah akal tersebut berpikir sendiri? Dari pertanyaan-pertanyaan itulah telah melahirkan para pemikir di dunia ini, mencoba mencari jawaban terhadap triliunan misteri yang masih tersembunyi. Jika kita telah mengerti bahka segala sesuatu digerakkan oleh penyebab utama, causa prima, Tuhan, maka sudah menjadi kemestian tidak akan menimbulkan kekisruhan dalam kehidupan ini, karena semua telah menyadari segala sesuatu telah disebabkan oleh penyebab utama.
Pada awalnya, Islam menihilkan pembahasan-pembahasan seperti ini, namun ruang kosong inilah yang telah melahirkan sarjana-sarjana di dunia Islam. Dunia Islam tidak akan melahirkan Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd jika dalam Islam semua pembahasan telah tercakup secara utuh. Ada ruang kosong yang harus diisi oleh para sarjana muslim itu terutama dalam persoalan metafisis. Ruang kosong dalam persoalan metafisis ini sebagai akibat dari ayat: yasaluunaka 'anirruuh. Tidak akan lahir pemikiran baru ketika kita memandang dalam Islam segala sesuatu telah dipadatkan ibarat sebuah batu, bervolume penuh, dia akan memiliki sifat stagnan, itu-itu juga.
Peristiwa beberapa hari yang dihadapi oleh DNK dan MUI bagi saya merupakan kejadian biasa dalam kehidupan. Masih mending berlangsung di zaman ini, bisa kita bandingkan ketika Galileo memberikan pandangan bumi bulat, pihak gereja langsung mengecapnya sebagai kafir, pemuja setan, dan menjadikan Galileo sebagai tahanan rumah. Ibnu Sina pernah diadili dan dituding telah menyalahi hukum Alloh oleh para Mullah di Isfahan karena melakukan prosesi bedah saat pengobatan. Artinya, kita telah lebih maju beberapa langkah jika dibandingkan dengan kejadian ratusan tahun lalu.
Sikap MUI Kota Sukabumi telah lebih dewasa jika dibandingkan dengan sikap para Mullah di Isfahan saat mengadili Ibnu Sina. Begitu juga sikap seorang DNK telah menunjukkan kebesaran jiwa dengan 'beristigfar', dalam term Islam seagai bentuk pertobatan, bahkan bukankah setiap selesai sholat kita selalu mengucapkannya. Saya menegaskan, takdir atau tetapan-tetapan Alloh merupakan rangkaian pendewasaan bagi siapapun sesuai dengan kata 'kadar' itu sendiri. Semakin kita meyakini tentang takdir maka kita akan semakin meyakini kemahakuasaan-Nya. Jika sebaliknya, maka silakan cari alasan-alasan lain, dan yang lebih spektakuler adalah dengan menyalahkan Tuhan, kenapa Dia menciptakan kehidupan?
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Antara Takdir dan Kedewasaan "