Jahannam

JAHANNAM, GEHENNA, PURGATORIUM, DAN SAMSARA
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi

BEBERAPA bulan ke belakang, saya sempat tertegun, bukan karena memikirkan pilkada, kecuali  tiba-tiba rasa yang ada di dalam diri seperti terhenyak ketika di sebuah masjid terdengar seorang anak sedang melantunkan 'pupujian' dalam bahasa Sunda. Cuaca sore itu tiba-tiba cerah, padahal biasanya hujan turun dengan deras setiap sore, bahkan pagi, mungkin saja pengaruh cuaca ekstrim. Di ufuk sebelah barat, langit menguning, kemilau emas tercipta, di dalam dada pun berbisik: alam raya ini begitu indah memukau.  Subhanallah.. 'pupujian' yang dilantunkan di masjid tersebut begitu  dipenuhi oleh nasehat, mengingatkan setiap orang agar memperbanyak menafakuri diri sendiri, bukan sebaliknya, waktu hanya dihabiskan membicarakan kejelekan orang lain.

Saya teringat ketika masih kanak-kanak, setiap hari Kamis dan Minggu biasa diajak mengikuti pengajian 'minggonan' oleh nenek ke masjid. Beberapa  ibu (perempuan) telah melantunkan 'pupujian' memiliki isi: di hari akhir nanti, setiap orang berlari menuju para nabi, memohon agar mereka diberi pertolongan atau syafaat. Nihil! Hatta para nabi dan rosul saja tidak sanggup memberikan syafaat karena pertanggungjawaban setiap perkara memang dibebankan kepada setiap diri, dalam sebuah ayat dijelaskan: Walaa taajiru wajirotun wijro ukhro. Nabi Adam sebagai manusia berperadaban pertama saja tidak dapat memberikan syafaat kepada anak cucunya. Yang terbayang saat para ibu (perempuan) menyebutkan Nabi Adam adalah tentang bagaimana tinggi fostur nabi Adam ini. Saya selalu bertanya kepada nenek dan kakek, Nabi Adam itu apakah memang benar-benar tinggi atau seperti kita? Nenek hanya mengerlingkan mata sambil mengatakan: Pamali, jangan membayangkan seperti itu, yakini saja.

'Pupujian' yang dilantunkan oleh para ibu di masjid saat pengajian itu merupakan imaji yang akan berlangsung di hari kebangkitan atau Armageddon nanti. Di pengajian anak-anak pun demikian, para kyai telah biasa memaparkan bagaimana keadaan alam setelah kematian yang disebut barzakh atau alam kubur. Dijelaskan juga alam-alam lain sebelum kita benar-benar sampai ke alam tujuan yaitu akhirat, alam paling akhir, sebuah tempat di mana manusia akan menentukan dirinya sebagai manusia selamat atau celaka. Malah, kata guru pengajian, di sebuah padang pasir atau mahsyar, jarak matahari dengan tubuh manusia hanya beberapa meter saja. Anak-anak di pengajian tidak menanyakan ini dan itu, yang jelas apa adanya saja seperti ucapan guru pengajian.

Guru pengajian memaparkan bahwa manusia-manusia jahat, para pelaku kejelekan akan ditempatkan di sebuah tempat penyiksaan bernama neraka. Term neraka telah terbentuk bukan hanya di dalam tradisi lisan dan kitab tertulis agama Islam. Kata neraka sendiri merupakan serapan dari kata Naar berarti api. Tiga agama besar; Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda satu sama lain tentang neraka. Islam menyebutnya jahannam sebuah nama untuk neraka paling dahsyat dan dasar neraka, di dalam tradisi biblical dan yudaisme disebut dengan gehenna, tradisi-tradisi lain yang telah mengalami akulturasi antara satu budaya dengan berbagai kebudayaan lainnya, misalnya gereja abad pertengahan menyebut ini sebagai purgatorium secara letterlerk kata ini berarti penyucian.

Dan Brown dalam sebuah novel yang ditulisanya: Angel and Demond memaparkan dengan kalimat imajinatif namun provokatif, purgatorium diperkenalkan oleh gereja abad pertengahan sebagai bentuk penyucian diri di dunia sebelum para penganut bidat (bid'ah) meninggal. Tradisi ini sebenarnya merupakan perkembangan dari tradisi Mesopotamia, bangsa Babilonia telah mengenal tradisi purgatorium  dengan cara membakar jasad para pelaku kejahatan besar. Ibrahim pada masa Nimrod dibakar hidup-hidup meskipun di kemudian selamat, Nebukadnezar sebagai seorang raja Babel telah membumihanguskan pemukiman liar bangsa Yahudi dengan cara dibakar. 

Penyucian ini pada akhirnya membekas pada kognisi masyarakat Timur Tengah bahwa jiwa para pendosa akan bersih jika jasad mereka dibakar terlebih dahulu, baik ketika di dunia atau setelah kematian. Tetapi tradisi gereja abad pertengahan tidak hanya mengenal bahwa tata cara purgatorium dilakukan dengan cara dibakar saja, penyiksaan dalam bentuk apapun pada dasarnya merupakan cara untuk menyucikan jiwa  manusia. Saat novel Dan Brown menjadi best seller, seluruh gereja memberikan maklumat agar orang yang mengimani kristus jangan mempercayai dan membaca buku ini, penuh fitnah!. Di dunia Islam, bisa jadi buku ini sebanding dengan Satanic Verse karya Salman Rusdie.

Berbeda dengan keyakinan yang berkembang di Timur Tengah, keyakinan-keyakinan dari Timur lebih memilih untuk mengkontekstualkan penyucian jiwa ini merupakan sebuah perjalanan atau siklus kehidupan. Hindu menyebutnya samsara. Ini sangat berbanding terbalik dengan keyakinan semitis, kita menganggap kematian dan penyiksaan akan dialami setelah hidup, sementara di dalam keyakinan  Timur, kematian justru ada di saat kita hidup. Kehidupan fana merupakan penjara bagi manusia, manusia akan merasa lapar, haus, dan memerlukan segala hal yang dibutuhkan, ini memiliki arti mereka masih dibelenggu oleh keinginan, bukan keserbacukupan apalagi merasa telah cukup. Bagi sebagian besar manusia, keinginan untuk memiliki mobil atau uang saja telah menjadi penjara. 

Keberadaan konsepsi jahannam, gehenna, purgatorium, dan samsara tidak harus diartikan bahwa Tuhan sangat Kejam kepada mahluk-Nya, empat hal tersebut merupakan sebuah sistem atau aturan yang telah diciptakan oleh Tuhan agar manusia dapat kembali kepada Yang Maha Kuasa dalam keadaan suci kembali. Lantas bagaimana konsep penyucian jiwa dalam konsepsi Sunda dan masyarakatnya? Hampir tidak jauh berbeda dengan keyakinan lain, di dalam tradisi Sunda, kita –para manusia- di dunia ini sedang berada di sebuah alam atau buana panca tengah, hakikatnya kita sedang ada di alam 'marakayangan' yang masih terus mencari jalan kembali atau pangbalikan kepada Tuhan. Perjalanan jiwa manusia selama triliunan tahun ini akan terus berlangsung sampai manusia kembali kepada Tuhannya, konsep ini pada abad ketujuh diformulasikan oleh para hunafa dan Rosulullah dalam ayat Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rojiun. Al-farabi menyebutnya sebagai emanasi atau teori pancaran. Memang sulit dipahami, sebab sebagian besar dari hidup ini merupakan triliunan misteri yang belum terpecahkan.

Posting Komentar untuk "Jahannam"