Di negara yang berketuhanan ini, warga negara, siapa pun dia, diberikan kemerdekaan untuk menganut agama atau kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya. Begitulah nilai ideal yang tercantum di dalam Pancasila sila pertama dan dibakukan dalam landasan konstitusional negara ini, di dalam UUD 1945 Pasal 29. Bagi saya – sebagai orang Islam – nilai yang terkandung di dalam dua landasan bangsa ini sejalan dengan salah satu ayat di dalam kitab suci yang sering saya baca: لا اكراه فى الدين , Laa Ikraaha fi ad-diini, tidak ada paksaan kepada orang lain dalam meyakini satu kepercayaan/agama.
Kemerdekaan dan kebebasan warga negara di dalam menganut suatu agama atau keyakinan bukan berarti siapa pun dengan sebebasnya dan seenak perut melecehkan keyakinan lain yang tidak sejalan dengan keyakinan dirinya. Sebenarnya, sejarah pertikaian antara satu keyakinan dengan keyakinan lainnya justru tidak disebabkan oleh inti dari ajaran agama. Ajaran agama sama sekali tidak pernah mengajarkan pertikaian, bencana kemanusiaan, hingga pertumpahan darah. Pandangan orang-orang Barat terhadap sejarah Islam yang acapkali diwarnai oleh perang, pertumpahan darah, secara ilmiah selalu tidak selalu berimbang. Mereka sering menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang –seolah- terlibat langsung dalam peristiwa sejarah yang telah berlangsung terjadi jauh di belakang kita.
Begitu juga dengan kita, hanya karena pertimbangan ketauhidan, keesaan Tuhan, beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pernyataan seseorang yang berpredikat ulama menyerang keyakinan umat kristiani dengan kalimat kurang baik: Jika Tuhan memiliki anak, lalu siapa bidan yang membantu proses kelahirannya. Karena sampai saat ini, konsep ketauhidan yang kita yakini baru sebatas pada hitungan matematis, kita sering memperdebatkan Tuhan dengan pemikiran yang sangat dangkal. Saat kita meyakini Tuhan ada satu, dengan spontan pikiran kita akan berprasangka "satu" secara matematis, satu yang dapat dihitung dengan acungan satu jari, satu dalam bentuk hitungan bilangan asli. Ketika ada orang lain yang memiliki pandangan trinitas dan tritunggal, maka pikiran kita langsung memberikan vonis, pandangan trinitas, tritunggal, dan trimurti tentang Tuhan itu sungguh tidak mencermintkan ketauhidan. Karena apa? Karena satu dalam versi kita bukan merupakan kesatuan atau manunggal. Tokh sampai saat ini pun kita masih menyatakan sama antara kalimah (kata) احد Ahad dengan واحد Wahid.
Beberapa bulan lalu, seorang pendeta bernama Abraham Ben Moses dinyatakan telah menistakan agama Islam karena terbukti melecehkan dan melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW. Telah sejak lama, saya mencermati konten-konten pidato dari pendeta ini. Seseorang dengan latar belakang Muhammadiyah, pernah menjadi pengajar di Pesantren Az-Zaitun, memiliki nama Saifudin Ibrahim saat masih memeluk Islam, sejak tahun 2007 silam. Dalam pidato-pidatonya memang sering menebar kebencian, Nabi Muhammad SAW sering disebutkan oleh pendeta ini dengan julukan Mr. M. celakanya, dia telah memosisikan diri seolah sebagai pelaku sejarah yang pernah hidup di jaman Jahiliyyah. Dia sering mempertanyakan kenapa Nabi Muhammad SAW tidak memiliki nabi pendamping seperti halnya Musa oleh Harun atau Isa oleh Yohannes? Terus terang bagi saya sendiri, muatan-muatan pidato yang disampaikannya sama sekali tidak memiliki nilai apa pun, kering, dan cenderung tidak memiliki aspek historis berarti meskipun disampaikan dengan nada berapi-api. Biasa-biasa saja, pemahamannya terhadap sejarah bangsa Semit pun hanya dia dapatkan dari cerita-cerita yang secara tekstual hanya tertulis di dalam kitab suci saja.
Beberapa tahun lalu, barangkali demi alasan dirinya sebagai seorang pendeta mengkonversi nama dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Ibrani dan anglo saxon: dari Saifudin Ibrahim menjadi Abraham Ben Moses. Cerita ini mungkin akan mengingatkan kita kepada prosesi baiat sekaligus pembaptisan di dalam salah satu aliran dalam Islam. Orang-orang yang masuk ke dalam gerakan NII (Negara Islam Indonesia) beberapa saat setelah melakukan baiat atau sumpah setia akan dibaptis, diganti namanya. Ujang bisa berubah nama menjadi Zaid atau Abu Bakar, Kemed juga harus diganti nama menjadi Utsaimin. Artinya muatan-muatan berbau lokal oleh gerakan sempalan dan kaum purifikasi telah dianggap kafir tulen. Padahal mereka hanya mengganti nama saja dari nama-nama lokal menjadi nama dalam Bahasa Arab. Jelas, sama sekali tidak akan pernah menambah dan mengurangi keimanan seseorang.
Abraham Ben Moses pun bisa jadi memiliki pikiran yang sama dengan orang-orang NII. Jika kita mencermati leksikal makna, Abraham Ben Moses memiliki arti Ibrahim anak laki-laki Musa. Sebuah nama yang sangat menarik. Jika diusut melalui pandangan biblical saja, nama seperti ini sama sekali kurang mencerminkan pemahaman si pemakai nama terhadap cerita yang berkembang di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sejak kapan Ibrahim menjadi anak Nabi Musa? Bukankan Musa memiliki dua anak Gersom dan Eliezer? Bukankan ayah kandung Ibrahim itu bernama Terah atau Azar dalam versi Islam? Alasan menjadi lebih kuat, bagaimana seorang Abraham Ben Moses dapat dengan mudah mempertanyakan sejarah Nabi Muhammad SAW dan menyerangnya dari berbagai sudut saat dirinya sama sekali tidak pernah memahami sejarah yang diceritakan di dalam kitab sucinya.
Maka, jika manusia telah menjadikan agama yang dianutnya sebagai Tuhannya, menjadi ladang mengais rejeki, menjadi media untuk menghantarkan dirinya menjadi penguasa, dan dijadikan alat politik, sudah dapat dipastikan, agama hanya akan dijadikan senjata untuk menyerang dan melecehkan agama serta keyakinan orang lain. Pikiran manusia-manusia seperti ini hanya akan tersita untuk membicarakan: perang salib, perang sabil, perang akhir zaman, dajjal, dan kebangkitan Imam Mahdi. Sangat aneh, peperangan sering ditunggu-tunggu dan dinantikan kedatangannya. Bukankah arti agama itu anti kekacauan?
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Abraha Ben Moses"