Pierre Bennoit

Cerpen ini Saya karang pada tahun 2002, Pernah di muat di salah satu media cetak.. Pesan dari cerpen ini, mayoritas manusia merupakan korban politik, mereka mau berperang, mau membunuh, tampil sebagai pemenang atau gugur karena kalah tetap sebagai korban. Seorang Hitler pun, yang kita pandang sebagai manusia rakus tetap merupakan korban, politik, ideologi, dan kesemerawutan sejarah! Sebab pada dasarnya setiap manusia adalah mahluk pecinta kebaikan, itu saja..


Lurus saja Anda berjalan melintasi jalan berdebu di Cavlier Galant. Anda tidak perlu takut pada orang-orangnya, pada umumnya mereka ramah-ramah. Yang perlu Anda waspadai adalah serbuan binatang seperti serangga yang dengan tiba-tiba bisa menyerang dan mempecundangi Anda dari berbagai sudut. Atau, serbuan virus=virus berbahaya. Sampar pernah menyerang Cavlier Galant lima tahun lalu. Oh, ya.. setelah Anda berjalan lurus, tepat di ujung jalan, Anda akan melihat sebuah rumah. Lebih tepatnya gubuk rongsokan, pemiliknya adalah Pierre Benoit.

Rumah Pierre Benoit bukan tidak terurus, melainkan pemiliknya sering meninggalkan rumah tersebut dalam jangka waktu lama. Tapi saat ini Dia sedang berada di rumahnya. Usia pria ini hampir empat puluh tahun. Belum memiliki istri, kulit mukanya kasar dengan tulang pipi menonjol, brewokan, kepala pelontos, jangkung, tegap, dengan tatapan mata yang tidak menentu. Kesan pertama yang Anda tangkap tentangnya adalah seorang ksatria gagah berani. Orang-orang mengenal betul kehalusan perangainya. Ia tidak pernah membuat keonaran. Sikap penolongnya selalu ia pertaruhkan kepada siapa pun.

Sekarang ini tatapnya sedang kosong. Terlihat jiwanya yang rapuh, sekilas seakan ada batu mengganjal hatinya. Tangannya terkepal erat membentuk tinju. Hatinya sesak, gundah mengenang peristiwa-peristiwa yang telah membawanya pada siksa bathin. Musim semi di Cavlier Galant tak mampu menghalau dinginnya hati Pierre. Orang-orang keluar menyesaki jalanan, meramaikan karnaval. Pierre hanya sesekali mengintip keramaian, memorinya terperas pada darah, gelimpanG mayat, suara tangis pekikan anak-anak dan wanita.

Terdengar, terlihat, dan hadir dalam dirinya. Ia rebahkan tubuhnya di dipan. Kemudian menatap langit-langit. Sejenak ada rindu menyeruak dalam dirinya. Rindu pada anak kecil bernama Zaid.

###

Lima tahun lalu, sampar hampir menggulung Cavlier Galant. Ratusan nyawa melayang. Mencekam. Perang melawan epidemik mematikan pun dikumandangkan oleh pemerintah setempat. Kematian akibat sampar telah menyulap Cavlier Galant yang bersih menjadi daerah kusam dan berbau aroma kematian.

” Hapus kesedihanmu, kawan!” Ucap Jean Papin, menepuk bahu Pierre.

” Hhh..!” Pierre hanya bisa menarik nafas panjang. Dia masih memperlihatkan rasa harunya. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan selaksa kepedihan. Burung pelatuk masih asyik mematuki dahan pohon simpres. Pierre melemparnya dengan segenggam tanah, burung itu pun terbang ke pohon simpres lain. Tiga orang yang sangat ia cintai meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan karena sampar. Ayah, ibu, dan adiknya, Dorothea. Terbetik di hatinya untuk menyalahkan takdir Tuhan , meskipun sejak kecil dia tidak diajari untuk memaki takdir oleh orangtuanya. Ia sempat memaki pendeta dan tokoh agama Cavlier Galant yang hanya bisa cas-cis-cus alam khayalan, namun jauh dengan alam nyata. Apa upaya mereka untuk melawan sampar?

” Aku harus bagaimana, Papin?” Tanya Pierre. Air mata masih membasahi pipinya.

” Simpan kesedihanmu, kita pulang dulu!”

Pierre mengangguk. Menatap teman dekatnya. Perawakan Papin sungguh di luar pengamatan dirinya. Tiba-tiba ia merasakan Papin yang berdiri di hadapannya sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan Papin sebulan lalu. Papin terlihat semakin kurus, matanya sayu, sering batuk-batukan, dan kekonyolan yang sering dilontarkannya seakan menghilang. Pierre semakin sedih. Dia tidak ingin ditinggalkan kembali oleh orang terdekatnya. Bukankah Jean Papin kecil yang sering bermain dengannya itu dulunya anak gembur dan sehat? Namun… Pepain saat ini seperti seonggok mahkul yang mengkuatirkan. Mayat hidup! ” Kau jangan menatapku seperti itu, kawan!” Papin seakan memahami jalan pikiran Pierre.” Kau tidak memiliki firasat bahwa aku akan meninggak besok, kan?”

” Tentu..Tttentu ,sobat!” Jawab Pierre terbata. Matanya menatap wajah Papin yang cekung. Seakan tercermin gambar masa lalu, ketika musim dingin dia bersama Papin bermain lempar salju. Lelmparan Papin tepat mendarat di wajah Pierre. Tiba-tiba datang Tuan Deschamp, pensiunan militer yang galaknya bukan alang -kepalang. Mereka pun berhamburan menjauhi amarah Tuan Deschamp. memori itu pecah berkeping-keping ketika Pierre melihat kondisi temannya seperti itu.

Kurang dari seminggu , Papin , sahabat terdekat yang paling dia sayangi pun meninggal dunia. Untuk mengurangi rasa sedih yang terus larut dalam jiwanya, Pierre memutuskan pergi ke Marseille, bergabung dengan para martirdom ksatria salib suci. Tekadnya sudah bulat. Agar hidupnya tidak sia-sia ia harus menjadi ksatria salib suci. Agar hidupnya tidak hina, ia harus menjadi manusia yang akan dikenang oleh generasi mendatang.

###

Pasukan ksatria salib suci siap diberangkatkan ke Jerusalem. Untuk merebut kembali tanah kelahiran Kristus dari tangan orang-orang Arab bar-bar. Pierre bersama para ksatria lainnya telah lengkap berpakaian tempur. Sorot matanya berkobar, panas. Ia ingin sesegera mungkin tiba di Jerusalem dan melampiaskan kepedihan dirinya kepada orang-orang Arab.

” Ini adalah pertempuran pertama kita dengan orang-orang yang belum pernah kita kenal sebelumnya!” Kata panglima Jacques Troamp. ” Perjuangan kita mulia, mati kita suci!!!” Kalimat itu disambut gegap gempita oleh para ksatria salib suci sambil mengacungkan pedang tinggi-tinggi. Wajah Pierre diselimuti keringat dingin. Terbayang kembali wajah -wajah oranng yang ia cintai. Apakah dia harus menyusul mereka? Terlintas begitu saja dalam dirinya. Untuk saat ini perjuangan suci adalah merebut tanah kelahiran kristus untuk menegakkan kembali lambang suci di Jerusalem.

Hidupnya sekarang, dia rasakan begitu berarti, jika memang perjuangan itu betul-betul terjadi. Hidupnya sekarang menjadi lebih bermakna ketika hampir seluruh penduduk Marseille keluar berkerumun melepas keberangkatan pasukan ksatria salib suci. Gadis-gadismengedipkan mata birunya kepada Pierre. Meskipun ada larangan bagiksatria salib suci untuk menikah toh tidak ada larangan bagi mereka sekedar untuk memandang para gadis Marseille itu, juga tentang kemolekannya tentu saja. Mata Pierre membentur pandangan seorang gadis. Wajah gadis itu mengingatkannya pada Dorothea, adik tercintanya. Kulit putih, matabiru, perawakannya sedang. Gerak-geriknya pun mirip dengan Dorothea.

” Atas nama Bapa, mari kita pergi. ” teriak panglima Throamp, mebuyarkan memori Pierre. Dia berusaha mencari-cari , namun gadis itu seakan menghilang. Tak terlihat.

Pasukan ksatria salib suci melangkah berderap menuju Jerusalem. Debu mewarnai jalanan, membumbung tinggi seperti asap pembakaran. Beruntung sekali angin bertiup agak kencang, sehingga debu-debu menyingkir cepat, terebawa angin. Kendatipun demikian, mata mereka tetap harus dipejamkan erat-erat untuk menahan masuknya debu ke dalam mata.

Langkah mereka merayap lambat. Jika dilihat dari atas ibarat sekelompok semut hitam yang sedang berjaln di dinding. Langit musim panas memang nyaris tanpa awan. Sinar matahari menyengat keras, memukul badan mereka tanpa kompromi. Wajah Pierre merah legam. Keringat menyesaki sekujur tubuhnya. Padang pasir yang luas harus dilewatinya. Dalam suasana seperti itu kegigihan untuk mempertahankan hidup semakin menggebu.

Satu bulan lamanya mreka melintasi gurun pasir gersang. Sekarang mereka telah berada di pinggir kota Jerusalem. Keterkejutan adalah hal biasa bagi orang yang melihat sessuatu yang mencengangkan. Begitulah yang dialami oleh para ksatria salib suci. Bagaimana mereka tidak terkejut, mereka melihat penataan pemukiman yang rapi dan bersih, jauh dari kesan jorok dan kumuh. Adanya sanitasi air serta parit-parit dialiri oleh air jernih. Mereka juga menyaksikan taman-taman. Anggapan terhadap prilaku orang Arab jauh melesat. Kumuh, dekil, jorok, dan menjijikkan sering menghinggapoi batok kepala Pierre ketika ia mendengar tentang orang-orang Arab. Belum lagi ditambah ucapan beberapa orang yang menyebutkan perilaku orang Arab; barbar, haus seks, arogan. alangkah kagetnya dia melihat kenyataan yang jauh berbeda. Pierre jadi teringat pada kampung halamannya, Cavlier Galant yang kumuh, kotor, penyakitan setelah sampar menerjang.

” apa yang harus kita perangi?” Tanya Pierre agak jengkel ” Tidak ada keganjilan di tempat ini!” lanjutnya.

” Bodoh, kita akan berperang demi kehormatan dan keyakinan kita!” tukas sa;lah seorang ksatria menanggapi ucapan Pierre.

” Demi masa depan kita, kawan..” sambung yang lainnya.

Pierre mengalihkan pandangan, menatap kota Jerusalem yang dikelilingi benteng kokoh. Dia teringat pada Kristus. Kemudian perlahan ia melangkah. Nyanyian requim ksatria salib suci memekakkan telinganya. Alis matanya terangkat naik ketika melihat beberapa wanita Arab diolok-olok oleh beberapa ksatria salib suci.

” Hajar..hajar…!” bisik Pierre. Ah, sepertinya bisikan itu akurat. Seorang wanita menampar pipi salah seorang ksatria dengan sandalnya. ” Bagussss!” teriak Pierre tak terkendali.

###

” Apakah harus dengan perang kita merebut Jerusalem? dan memerangi orang yang sama dengan kita, mengajak manusia pada Tuhan!?” bisik Pierre semakin kuat.

Pasukan ksatria salib suci siap menerjang benteng Jerusalem. Gemuruh nyanyian menggema, lebih keras daripada semangat mereka. Padahal diri mereka diliputi oleh rasa syak, untuk apa mereka berperang? untuk alasan apa mereka merebut Jerusalem?

Baru kali ini Pierre menyaksikan jalanan bergelimang darah. Sepanjang mata memandang adalah hamparan jasad tanpa nyawa. Dia merasa perih, sabetan pedang seorang tentara Arab melukai pahanya. Darahnya menetes di tanah berdebu. Udara panas memanggang. Wajahnya semakin keras dan kecut. Tatapannya semakin sayu dan mengabur, tak sanggup dia berdiri lagi. Yang dia rasakan saat itu hanyalah sikap pengecut para ksatria salib suci yang memilih kabur daripada harus menghadapi para pejuang Arab, lalu dia pun tersungkur. Jatuh.

Yang pertama dia dengar ketika siuman adalah suara merdu seorang anak kecil yang sedang melantunkan sesuatu. Seseatu yang terdengar suci. Ruangan remang-remang oleh cahaya pelita redup yang meliuk-liuk tertiup angin. Pierre menyadari dirinya terbaring di atas dpan kayu. Sekelompok orang dengan wajah dihiasi janggut mengelilinginya, melingkar. Ia berusaha bangkit, namun tak sanggup. Salah seorang dari mereka memberi isyarat kepadanya untuk tetap berbaring. Orang-orang itu berbsik-bisik. Sementara Pierre Benoit mulai menceracau.

” Di mana aku!?” teriaknya dalam racauan.

Anak kecil yang sedang melantunkan sesuatu itu menghentikan nyanyiannya. Seseorang, mungkin ketua dari mereka, memberi isyarat kepada si anak agar menuangkan segelas air rempah. Anak itu kemudian memberikan air rempah kepada Pierre yang masiuh terbaring. Ada rasa gamang dalam diri Pierre untuk meminumnya.

” Minum tuan!” kata salah seorang dari mereka.

” Ada di mana aku!?” kembali tanyanya lagi.

” Tuan ada di Jerusalem!” Kata orangtua itu sambil tetap memperlihatkan sikap sopannya. Pierre memejamkan matanya.

###

Tiga hari Pierre berada di pembaringan, dirawat oleh orang-orang itu. Selama itu pula ia mendengar lantunan Al-Qur an yang dibacakan oleh orang-orang secara bergantian. Selama itu pula ia mengenal sopan-santun orang Arab dalam memperlakukan dirinya. Selama itu ia tidak melihat sekalipun kekasaran dari mereka. Dan dia pun telah mengenal lebih dekat anak kecil yang bernama Zaid itu.

” Besok Zaid akan mengantar tuan sampai ke perbatasan,” kata Sayyid, orangtua yang menjadu pimpinan kelompok itu, ” Tidak perlu kuatir, perbekalan akan kami sediakan secukupnya.!”

Pierre hanya diam, duduk lunglai.Dia benar-benar malu pada diri sendiri.Rasa malunya tidak bisa disembunyikan lagi. Matanya berkaca-kaca ketika melihat Zaid menatap dirinya.

” Maafkan aku!” ucap Pierre lirih.

Orang-orang itu hanya saling bertatapan, lantas tersenyum.

###

Musim Semi.

Sudah seminggu Pierre Benoit masih berbaring di tempat tidurnya. Dia hanya mendengar keriuhan musim semi di Cavlier Galant tanpa mau melihat keramain orang-orang, apalagi mengikuti karnaval. Bayangan orang-orang tercintanya datang silih berganti. Ayah, ibu, dorothea, dan Jean Papin. dan puncak kerinduannya adalah kepada anak kecil bernama Zaid. Dia sangat ingin medengar, di musim semi ini, Zaid membaca Al-Qur an di sampingnya, seakan nyanyian indah. Atau, anadai bisa, ia ingin menyanyikannya langsung. Pierre Benoit memejamkan matanya. Matahari mulai termenang, layar malam membentang, dan keramaian Cavlier Galant mulai beringsut.Sepi pun berguguran.

Sukabumi, Tahun 2002
Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Pierre Bennoit"