Pusaka Bumi Pajajaran

Teori baru tentang asal-usul penamaan Sukabumi telah dideklarasikan oleh Pemerintah Kota Sukabumi pada hari Sabtu lalu di Cikundul. Teori ini, secara singkat mengupas asal-usul Sukabumi bukan hanya dilihat dari toponominya saja sebagai Suka Bumi, sebuah tempat yang memiliki kesejukan. Lebih dari itu, Sukabumi memang telah dikenal sebelum kedatangan de Wilde dan R.A Wira Tanu Datar VI yang mendirikan Kepatihan Sukabumi. Dalam teori ini dikatakan, kata Sukabumi bisa saja berasal dari Pusaka Bumi Pajajaran, disingkat menjadi Sakabumi.

Dalam beberapa tulisan terakhir, penulis sering menyebutkan, untuk menuliskan sejarah lokal mengenai asal-usul penamaan sebuah tempat, sejarawan sering mengalami kesulitan karena dua hal; pertama, minimnya data primer dan sekunder mengenai sejarah lokal, jarang ditemui peninggalan-peninggalan baik dalam bentuk arca, batu, candi, kitab, apalagi orang yang menyaksikan langsung peristiwa sejarah tersebut terjadi.

Kedua, banyaknya teori sejarah lokal yang bersumber bukan pada sumber primer dan sekunder tadi karena beberapa tuntutan; penulisan sejarah ingin segera diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, sejarah terlalu didominasi oleh kepentingan pribadi (self –Interest), dan tekanan politis. Hal tersebut telah melahirkan skeptisisme dan kemandegan dalam melakukan penelitian terhadap sejarah lokal itu sendiri.

Merunutkan peristiwa masa lalu agar terpampang menjadi sebuah time-line sejarah bukan pekerjaan mudah. Membutuhkan proses dan waktu cukup lama. Kajian dan penelaahan tidak hanya bersumber pada satu kitab, buku , atau literatur. Namun memerlukan kajian dari berbagai teori, sebab pengkajian sejarah kehidupan di masa lalu harus selalu bersinergi dengan kajian lalin seperti Geologi, Arkeologi, Antropologi, bahkan Sosiologi. Ilmu-ilmu sosial ini penting dilibatkan dalam mengkaji sejarah lokal. Jika hanya mengandalkan satu buku atau sumber tertulis, sementara kita tidak mengetahui dengan jelas apakah sumber tertulis itu merupakan data primer atau sekunder? Apakah ditulis langsung oleh pelaku sejarah atau hanya berupa catatan-catatan kaki saja? Maka validitas yang dihasilkan baru pada tahap dugaan sementara.

Artinya, teori-teori sejarah yang telah ada harus tetap dibangun namun dengan cara fair, bukan dibuat atas kepentingan pencocokan – antara apa yang tertulis dalam buku atau naskah kuno – dengan penemuan benda pusaka atau barang-barang peninggalan jaman dulu. Akan menimbulkan arus terbalik, karena yang seharusnya dilakukan dalam kajian sejarah adalah; penemuan benda bersejarah sebagai data primer kemudian dilakukan kajian serius terhadap penemuan tersebut.

Sejarah Kerajaan-kerajaan Jawa yang tertuang dalam Babad Tanah Jawi pun sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan dan masih diteliti. Babad merupakan rangkaian cerita (fiksi) yang ditulis kemudian disesuaikan dengan peristiwa sejarah pada saat itu. Penulisan Babad ini dilakukan oleh Carik Braja atas perintah Paku Buwono III. Hanya saja, meskipun naskah ini berbentuk babad, namun diyakini sebagai jejak besar bagi sejarawan untuk menemukan perjalanan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa ini.

Pendeklarasian teori ke-dua mengenai asal-usul penamaan Sukabumi ini menjadi pembahasan di media sosial. Ini merupakan bentuk kepedulian warga Sukabumi terhadap sejarah daerahnya. Agar penulisan sejarah mengenai asal-usul Sukabumi tidak dihasilkan dari proses; “Cocokologi”, mencocok-cocokkan antara sebuah kitab yang dianggap mengandung sejarah dengan barang pusaka yang ditemukan. Sebab, teori dalam Arkeologi masih berlaku: Satu buah fosil yang ditemukan oleh seorang arkeolog tidak bisa memenuhi jawaban kehidupan di masa lalu secara utuh.

Dalam media sosial seperti twitter dan facebook, penulis memberikan beberapa catatan kecil yang harus dipikirkan oleh siapa pun yang perduli terhadap sejarah Sukabumi. Pertama, karena deklarasi Pusaka Bumi Pajajaran dilakukan di Cikundul berdekatan dengan Sungai Cimandiri, penulis menuliskan sejarah singkat Cikundul dan Cimandiri.

Ada korelasi signifikan antara Cikundul yang berada di Cianjur dengan Cikundul yang berada di Sukabumi. Kepatihan Sukabumi didirikan pada masa kekuasaan R.A Wira Tanu Datar VI. Beliau melakukan perjalanan dari pusat kepatihan hingga ke sebuah Kampung bernama Cijeruk, kedatangan dalem dari Cikundul , Cianjur ini telah mengubah nama Cijeruk menjadi Cikundul.

Sebuah Sungai bernama Cimandiri mengalir sebagai perbatasan antara Cikundul dengan beberapa perkampungan di lereng gunung. Pada awalnya, Cimandiri bukan merupakan nama sebuah Sungai, Cimandiri adalah sebuah Sesar (fault) yang memanjang dari daerah Pelabuhan Ratu hingga Lembang. Terjadi pergeseran Sesar Cimandiri pada tahun 1699, hal ini mengakibatkan gempa bumi besar. Sejak peristiwa tersebut, wilayah dari lereng Gunung Gede hingga perbatasan aliran Sungai Cikundul diberinama Cimandiri. Melihat kepada toponomi Cimandiri sendiri tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan pendahulu R.A Wira Tanu Datar VI, yaitu R.A Wira Tanu I yang telah berhasil mendirikan kekuasaan secara Mandiri di jamannya.

Kedua, Pusaka Bumi bagi penulis tidak hanya sebatas pada barang-barang peninggalan karuhun Sunda saja. Pusaka Bumi adalah rangkaian alam ini yang telah dirawat oleh karuhun Sunda. Tidak heran, sampai saat ini, jarang sekali kita menemukan warisan literasi yang mencukupi dari karuhun Sunda karena sikap para karuhun Sunda sendiri dalam memandang alam sering terhenti pada sikap kontemplatif. Ajaran dan keyakinan terhadap kekuasaan Zat Yang Maha Tunggal jarang dituliskan, ajaran lahir dari tekad, ucap, dan lampah yang baik. Itulah sebabnya, tidak akan pernah ditemui Kitab Suci di tatar Sunda atau tanah Parahyangan ini. Ajaran tidak dibubuhkan dalam bentuk teks-book karena karuhun Sunda memahami agar para penerusnya tidak menjadi manusia-manusia atau generasi auto-teks, yang senang melakukan dan melihat segala persoalan berdasarkan ranah tekstual semata.

Ketiga, lahirnya perbedaan teori dalam mengkaji sejarah lokal tidak hanya terjadi saat ini saja. Hal ini terjadi karena adanya deviasi dan perubahan besar dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, sebagai akibat dari turbulensi alam dan turbulensi sosial dalam kurun waktu yang relatif lama, bisa jutaan bahkan milyaran tahun lamanya sejak dimulai panggung sejarah kehidupan manusia. Demi hal itu, maka sejarah harus dipandang sebagai sebuah sumber nilai saja. Menasbihkan pembenaran dan merasa benar dengan salah satu teori sejarah akan membawa kita pada penciptaan mitos baru yang tidak berlandaskan pada keilmuan.

Dalam Al-Quran terdapat sebuah Surat bernama Al-Qoshosh, kumpulan kisah. Kenapa disebutkan sebagai kumpulan kisah bukan kumpulan sejarah? Sebab, kisah-kisah di dalam Al-Quran sendiri tidak didukung oleh fakta historis, Al-Quran hanya menyajikan nilai-nilai penting dalam sebuah kisah untuk diteladani oleh manusia. Sampai saat ini, fakta historis turunnya Adam dari Surga ke bumi tidak pernah diketemukan, karena bersifat immaterial berupa basis moral dan nilai. Apalagi ketika kita mengaku-aku terhadap salah satu kitab atau naskah kuno sebagai sebuah kebenaran yang sahih tanpa melihat fakta sejarah tentang peristiwa yang termaktub di dalam buku itu, ini akan menceburkan kita pada sikap menasbihkan pembenaran tanpa melalui proses yang benar terlebih dahulu. Dalam kajian keilmuan, hal ini tertolak.

Kang Warsa

1 komentar untuk "Pusaka Bumi Pajajaran"

  1. leres kang Warsa... kisah-kisah di lebet Al Qur'an henteu didukung data ilmiah.. Borobudur peninggalan nabi Sulaeman mah hasil penelitian 15 tahun... piramid di gunung Padang Garut saurna berdasarkan archeologi langsung sepuh tibatan piramid di mesir... ari kitu mah mungkin Nabi Adam oge lungsurna di tatar Sunda...hehehe

    BalasHapus