Awalnya
Beberapa tahun lalu pernah aku ceritakan kepada kalian, mungkin kalian juga telah melupakannya. Benar, cerita itu tentang kampung halamanku. Jika kalian masih mengingatnya, kampung halamanku, ketika aku masih kanak-kanak, tentu saja begitu berbeda dengan sekarang.
Umurku sudah hampir lima puluh tiga tahun. Anak dan cucu kalian sudah tentu tidak pernah tahu seperti apa kampung halamanku empat puluh sampai dua puluh tahun ke belakang. Benar-benar jujur, toch mereka belum pada lahir ke dunia ini. Bagi kalian yang lupa dengan ceritaku, hari ini akan aku ceritakan lagi, seperti apa kampung halamanku empat puluh sampai dua puluh tahun ke belakang. Bukan hanya peristiwa yang menyertai waktu itu saja, juga bagaimana indah dan permainya alam di kampung halamanku saat senjakala di musim kemarau, apalagi di bulan Ramadlan.
Sebuah Mitos
Di tempat yang sekarang ini telah menjadi terminal bis, jalan panjang, dan di pinggirnya berdiri banyak pertokoan itu, dulu merupakan areal persawahan, lapang tanah merah, dan kebun-kebun dengan berbagai tanaman palawija, ketela, dan ubi jalar. O, iya.. cerita dari kakek, masyarakat di kampung halamanku tidak akan berani bermain ke tempat itu saat matahari telah berada satu tombak di atas puncak gunung di ufuk barat.
Masyarakat mempercayai, pernah ada satu peristiwa, seorang anak diculik oleh mahluk halus dan disembunyikan di rapatnya pohon bambu di sebelah utara tempat itu. Ada juga cerita yang lebih menyeramkan lagi, mungkin tidak penting aku ceritakan kepada kalian, orang-orang modern yang hanya akan mempercayai fakta, data, dan segudang persoalan yang kalian yakini harus diselesaikan secara logis.
Lapang Voli
Di sebelah selatan lapang tanah merah yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk bermain bola sepak, ada sebuah lapang kecil, digunakan untuk permainan bola voli atau tempat anak-anak bermain galasin, di kampung halamanku permainan itu diberi nama galah, tetapi saat aku duduk di bangku SMP, guru olahraga menyebutnya permainan gobak sodor, katanya berasal dari bahasa serapan, go back to door.
Setiap sore, karena tempat itu berada di pinggir jalan, jadi tidak terlalu menakutkan jika digunakan tempat bermain, selalu ramai oleh masyarakat. mereka menyaksikan permainan bola voli para pemuda kampung halamanku. Lawan main biasanya pemuda-pemuda dari kampung tetangga.
Bagi masyarakat, menonton permainan bola voli itu sangat menyenangkan, tidak perlu beli tiket atau karcis, cukup berbekal uang lima ratus rupiah saja. Mang Kodir, seorang tukang tahu goreng selalu mangkal di tempat itu, tidak ada lagi pedagang lain, hanya dia seorang.
Pamali
Orang-orang di kampung halamanku masih meyakini satu hal yang telah lama diwariskan oleh orangtua, orang tua, dan leluhur, yaitu kata: pamali. Permainan bola voli dan permainan apa saja yang dilakukan oleh anak-anak tanpa harus disuruh oleh siapa pun akan berhenti atau dihentikan oleh mereka sendiri tepat pada pukul 17.30 WIB, beberapa saat menjelang dikumandangkan adzan maghrib. Mereka pulang ke rumah, membersihkan badan, kemudian bersiap-siap pergi ke surau atau masjid. Semua orang mentaati petuah orangtua hanya dengan satu kata saja: pamali.
Adzan maghrib dikumandangkan di masjid, lembayung di ufuk barat menggurat, melukiskan hamparan warna merah kekuning-kuningan atau bisa jadi sebaliknya. Pohon kelapa menghasilkan silhuet negatif, tidak pernah diabadikan oleh masyarakat melalui tustel atau kamera, mereka kadung percaya kepada sangkaan bahwa keindahan alam seperti itu tidak akan pernah hilang dari kampung halamanku. Bahkan tidak sedikit masyarakat –termasuk diriku- sangat yakin bahwa keindahan kampung halamanku meskipun tidak diabadikan melalui jepretan tustel dan kamera akan tetap seperti saat itu, indah dan keindahannya tidak akan pernah sirna.
Kolam Masjid
Kepak sayap lelawa di atas kampung halamanku seirama dengan alunan adzan. Anak-anak mengambil air wudlu di kolam depan masjid. Beberapa anak telah terbiasa mempermainkan air, mereka dengan sengaja menyipratkan air kepada beberapa anak lainnya dengan cara melempar batu besar ke kolam itu. Atau anak-anak itu mengayunkan telapak tangan tepat di atas permukaan air kolam, diarahkan kepada anak-anak lainnya agar menghasilkan cipratan air. Permainan jahil seperti itu akan terhenti jika ada orang tua melotot sambil ngedumel: hareureuy baé, kéhéd (becanda saja, sialan!).
Kolam di depan masjid, tidak hanya digunakan untuk berwudlu saja. Anak-anak juga biasa berenang dan mandi di sana. Terus terang, anak-anak kampung halamanku rata-rata dapat berenang bukan karena mereka berlatih renang di kolam renang, tapi mereka biasa mandi di kolam masjid. Di bulan puasa, kolam di depan masjid itu sering digunakan oleh anak-anak kampung berendam, pura-pura menyelam, padahal sambil meminum air kolam. Anehnya, meskipun mereka telah menelan air kolam, tetap saja mereka melanjutkan puasa sampai saatnya buka.
Amiiiinnnn…
Melaksanakan sholat maghrib berjama'ah merupakan satu hal menakjubkan bagi anak-anak kampung halamanku. Bagaimana tidak, mereka seolah menemukan kemerdekaan mengucapkan dengan lantang kata: amiin, setelah imah selesai membaca fatihah.
Mereka tidak memerdulikan siapa pun, seolah mereka menyadari tidak akan pernah ada siapa pun yang dapat menghentikan teriakan mereka, orang galak sekalipun tidak akan berani melarang mereka, jika melarang? Ya, tentu saja solat orang itu batal.
Adakalanya anak-anak saat meneriakkan kata: amiiin itu tidak berbarengan, tetapi sengaja saling bersahutan seperti lagu bergenre canon dan acapella. Tanpa disuruh oleh siapa pun mereka akan melakukan hal seperti itu dengan penuh keceriaan. Seorang anak bisa mengakhiri rangkaian kekonyolan saat beribadah itu setelah anak-anak lain selesai mengucapkan amiin, lalu diakhiri olehnya mengucapkan amiiin, seolah-olah dia tertinggal melafalkannya.
Orang paling yang galak kepada anak-anak, di kampung halamanku bernama Wa Udin. Setelah imam mengucapkan salam terakhir, dia akan mebalikkan badan, cemberut, mata melotot, dan mendengus, meneliti anak mana saja yang mempermainkan ucapan amiin. Mungkin saja, kekhusuan sholat maghrib Wa Udin sangat terusik oleh sikap anak-anak. Suatu maghrib, Wa Udin pernah mengomel: sétan téh, ngan hareureuy wé!.
Nadzom
Jika bukan hari Kamis, setelah melaksanakan sholat maghrib berjama'ah, anak-anak melanjutkan kegiatan mereka dengan mengikuti pengajian di masjid. Pertama-tama, mereka diharuskan membaca dulu al-Qur-an. Satu persatu setiap anak diajari oleh orang yang lebih tua, bahkan batas toleransi yang diberikan oleh muallim kepada orang tua yang mengajar anak membaca al-Qur-an dapat disebutkan sangat longgar. Terpenting, orang tua itu ada kemauan dulu dan sudah lancar membaca al-Qur-an meskipun tanpa ilmu tajwid.
Kesalahan anak-anak dalam membaca al-Qur-an dapat diluruskan oleh muallim secara perlahan saat pengajian ilmu tajwid disampaikan oleh muallim kepada mereka. Pengajaran ilmu tajwid juga dilakukan dengan menggunakan metode bagus yang disenangi oleh mayoritas anak-anak. Mereka belajar dengan cara bernyanyi (nadzom) melafalkan bait-bait sambil berteriak-teriak: linnuuni in taskun walittanwiini.. (Bersambung)
Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah
Anggota PGRI Kota Sukabumi
Posting Komentar untuk "Kampung Halaman"