Ma Acih dan Jumsih




Ide cerdas Gubernur Jawa Barat - Kang Emil - agar setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat dapat melakukan kolaborasi setiap program merupakan sikap 'kebapakan' seorang gubernur kepada anak-anaknya di daerah. Kolaborasi program antara satu daerah dengan daerah lainnya merupakan upaya untuk mengikis tren "ngadu geulis" antar wilayah. Gubernur Jawa Barat sudah tentu menginginkan agar setiap kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat ini tidak jomplang dalam pencapaian program, visi, dan misinya. 

Jabar Juara akan terwujud jika setiap daerah yang ada di Jawa Barat benar-benar telah memiliki kesetaraan prestasi kebaikan dalam memajukan kabupaten dan kotanya masing-masing. Ide cerdas gubernur seperti ini memang seharusnya menular juga kepada setiap kepala daerah agar terlihat dalam setiap kebijakan daerah yang diterbitkannya. Kesetaraan baik pembangunan infrastruktur atau pembangunan sumber daya manusia di setiap kecamatan dan kelurahan harus benar-benar terejawantah.

Landasan berpijak kesetaraan bukan 'ngadu geulis' dalam pembangunan yaitu semangat gotong royong, satu terma yang tidak akan pernah ditemukan di mana pun kecuali di negara ini. Gotong royong telah melahirkan sebutan dan istilah-istilah seperti bahu membahu, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, dsb merupakan tradisi yang telah membumi bahkan mengakar dengan sejarah perjalanan masyarakat di negara ini. 

Saat kecil, saya dan beberapa teman sering membayangkan terma gotong royong ini sebagai sesosok mahluk  suci, baik, dan disenangi oleh masyarakat. Dikatakan sebagai tradisi masyarakat karena memang demikian adanya, pada tahun 1980-an penulis menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat di kampung halaman bergotong royong menancapkan seluruh tiang listrik bersama tentara melalui program AMD (ABRI Masuk Desa), tanpa diberi upah sedikit pun. Satu minggu sekali, warga masyarakat memberihkan lingkungan, membersihkan rumput liar di pinggir jalan berbatu, padahal waktu itu belum terlalu marak dengan sampah anorganik seperti sekarang.

Gerakan dan semangat gotong royong masyarakat ini merupakan kebiasaan tidak tertulis, telah terpatri di dalam alam bawah sadar masyarakat era 60-90-an. Karena telah menjadi semacam coding-programs yang tertanam dalam kehidupan maka kebijakan-kebijakan yang dilahirkan dan dikeluarkan oleh pemerintah pun cenderung bersifat swakarya dan menyentuh ranah gotong royong ini. Program Santri Raksa Desa (Sarasa) dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1996 para santri dikerahkan untuk mengurai permasalahan di masyarakat kemudian menyelesaikannya dengan pendekatan kearifan lokal. 

Masalah sosial yang dibidik antara lain bagaimana para santri dapat menggeliatkan kembali semangat gotong royong di masyarakat yang mulai terlihat terkikis oleh ego pribadi dan kelompok. Masih di tahun 90-an, kebiasaan masyarakat membersihkan lingkungan di hari Jum'at oleh pemerintah Provinsi diikuti oleh kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat dengan menerbitkan  Instruksi Jumsih (Jum'at Bersih). Dua program tersebut dapat dikatakan sangat berhasil. Keberhasilan program pemberdayaan (swadaya) disebabkan oleh hal penting karena program yang digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah memang sesuai dengan akar dan tradisi masyarakat.

Dalam hal keuangan, pada tahun 1990-an pemerintah berhasil mengeluarkan kebijakan "Rereongan Sarupi", setiap siswa dibiasakan mendermakan uang sebesar seratus rupiah (Rp. 100,-), uang yang terkumpul disetorkan oleh sekolah kepada pemerintah daerah, selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi. Hasil dari "Rereongan Sarupi" tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai Jaring Pengaman Sosial sederhana. Cikal bakal kelahiran Jaring Pengaman Sosial itu sebetulnya dari kebiasaan dan tradisi masyarakat gameinschaft (paguyuban) yang benar-benar mencirikan keharmonisan dan kekompakan.

Entahlah, program-program berbasis gotong royong dan mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan masyarakat itu tiba-tiba hilang sejak fajar reformasi. Masyarakat kehilangan program yang menyatukan visi mereka dengan narasi besar keagamaan: Rahmatan Lil 'Alamin. Membersihkan lingkungan tidak lagi dilakukan secara berjamaah melainkan dilakukan sendiri-sendiri. Tidak ada lagi terma Jumsih dalam bentuk aplikasi nyata. Desa- desa dan wilayah rural mulai menampakkan geliat sebentar lagi wilayah penyangga pangan ini akan menjadi wilayah industri atau diserbu oleh industrialisasi. Dan benar, terciptanya wilayah rural-urban merupakan salah satu ciri utama awal era reformasi. Masyarakat neo urban lebih memilih membershikan sepeda motor daripada menyabit rumput liar.

Sudah hampir dua dekade terma Jumsih itu hilang dalam kehidupan masyarakat. Program-program pemerintah yang dikeluarkan sejak awal reformasi pada dasarnya memang dimotivasi oleh kebaikan, tetapi acap kali program tersebut tidak berisisan dengan nilai azali masyarakat: homo homini socius. Program padat karya malah telah menempatkan masyarakat sebagai buruh baru, buruh harian lepas. Dapat dibayangkan, dengan lahirnya program-program pemberdayaan namun pada intinya men-tidakberdaya-kan masyarakat kita lebih sering mendengar masyarakat bertanya: ada buruhannya atau hanya kerja bhakti? Orang akan ogah-ogahan jika program bersifat kerja bhakti dan akan bersemangat jika proyek membersihkan selokan itu dibayar!

Dua bulan lalu, saya seolah dibawa kembali ke alam tahun 90-an saat Sekretaris Kecamatan Lembursitu, Aries Ariandi mengatakan di Kecamatan Lembursitu ada satu komunitas yang didirikan oleh masyarakat, memokuskan kegiatan mereka membersihkan sungai Cipelang dan Cimandiri. Komunitas tersebut menamakan dirinya Ma Acih (Masyarakat Aliansi Cipelang Cimandiri Bersih). 

Bulan September 2018, keberadaan komunitas tersebut menjadi salah satu penilaiain Lomba Kelurahan tingkat Provinsi dan Nasional. Saya belum mengenal dan mewancarai siapa saja para pelopor komunitas ini, tetapi paling tidak kelahiran komunitas pecinta lingkungan seperti Ma Acih ini dapat menjadi pembangkit alam bawah sadar masyarakat tentang semangat gotong royong yang telah lama tertidur (selama 20 tahun) ini.

Pemerintah Kota Sukabumi juga telah mengintsruksikan kembali Gerakan Jum'at Bersih di lingkungan masyarakat, pemukiman, tempat kerja, dan perkantoran. Instruksi Wali Kota Sukabumi tersebut mengajak agar kegiatan Jum'at Bersih (Jumsih) digiatkan kembali oleh seluruh lapisan masyarakat. Program file dan kode-kode program yang telah tertanam lama di dalam diri masyarakat yaitu gotong royong memang harus dihidupkan kembali. Warga Sukabumi baik sebagai masyarakat atau aparat sudah seharusnya memiliki visi dan misi bersama untuk membangun dan perduli kepada lingkungannya. Keberadaan Ma Acih dan Jumsih merupakan pemantik sel alam bawah sadar gotong royong yang telah lama tertidur.

Posting Komentar untuk "Ma Acih dan Jumsih"