Ghiroh jika diterjemahkan secara lugas berarti gairah atausemangat keislaman umat Islam di Indonesia merupakan salahsatu keinginan umat agar ajaran ini benar-benar tegak berdiridalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagai akibat karenaselama tiga puluh tahun lebih, selama masa Orde Baru berkuasatidak sedikit kebijakan pemerintah waktu itu yang dinilai olehbeberapa kelompok kurang memihak atau adatif kepadagolongan legalis, kelompok yang sampai saat ini masih memilikikeyakinan hukum Tuhan harus benar-benar dijadikan sebagaihukum positif di Indonesia.
Tetapi, jika diteliti secara runut dan obyektif, pemerintah OrdeBaru sebenarnya hendak menempatkan Islam dan ajarannyapada hal yang seharusnya, pada kedudukan yang semestinya di mana Islam dan ajarannya berhabitat. Hal-hal yang bersentuhandengan umat tetap dijaga dan dilestarikan, umat masih diberikeleluasaan dan kebebasan menyelenggarakan pengajianmingguan (di masyarakat Sunda dikenal dengan sebutanminggonan), khitanan massal diselenggarakan setiap tahun, tahlilan, yasinan, dan upacara-upacara perpanduan antara tradisikebudayaan dengan Islam tetap dipertahankan. Artinya, ikhtiarumat Islam dalam menjaga dan melestarikan ajaran di bidangsosial tidak dihalang-halangi oleh pemerintah selama tidakmenyentuh ranah politik.
Di tahun 1980-an, keluar satu gerakan, menurut beberapaanggotanya gerakan tersebut dilakukan untuk mengembalikankembali umat kepada ghiroh Islam di Indonesia. Munculnyagerakan ini merupakan berawal dari wacana atau narasi semakinmelemahnya kekuatan dan peran umat Islam dalam ekonomi danpolitik. Bagi mereka kondisi umat Islam di Indonesia seperti inidiartikan sangat bertolak belakang dengan prediksi propehtikRasulullah; tentang kebangkitan umat Islam di abad 15 hijriyyah. Narasi ini dikemukakan oleh mereka, kelompoklegalis yang masih tetap merperjuangkan sisa-sisa pemikiran(diskursus) tentang dasar negara.
Harus diakui secara jujur, gerakan kaum legalis ini memasukikampus-kampus hingga ke sekolah-sekolah lanjutan asas. Wacana yang dihembuskan oleh mereka antara lain: Islam Kaffah, Islam Kontemporer, Islam Paripurna, dan sebutan-sebutan lainnya yang tampak lebih progresif misalnya: hukumjahiliyyah, thogut, hingga kata-kata kafir disematkan kepadakata yang telah digagas oleh wali songo yaitu rakyat. Sebetulnya, apa yang telah mereka wacanakan bahkandidakwahkan dengan penuh semangat sama sekali tidak pernahmenyentuh dan menyoal Islam secara kaffah karena merekahanya menyentuk secuil saja dari ajaran Islam, mereka hanyamemokuskan dakwah dan ajakan di ranah politik. Buktinya, ketika gerakan yang mereka gagas memiliki satu tujuan: menegakkan negara agama di Indonesia. Dan ketika tujuanmereka sampai saat ini tidak tercapai pun tokh Islam, ajarannya, dan umatnya tetap eksis sampai sekarang. Pondok pesantrentidak kehilangan para santrinya, bahkan umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ibadah harian dan perayaan keislamanlainnya dengan tenang.
Tahun 1990-an hingga pascareformasi merupakan milieu panggung pementasan kaum legalis di Indonesia. Ormas dangerakan seperti Neo NII, HT, dan Kelompok Tarbiyah (IM) telahmemiliki kader-kader inti sampai ke pelosok. Kaderisasidilakukan secara sembunyi-sembunyi atau melalui acara-acarakeislaman. Aktivitas mereka di masyarakat sangat halus, masjid-masjid dikuasai dengan bungkus kajian Islam, Remaja Masjid, Rohis, hingga Pesantren Kilat. Kader inti diciptakan, selanjutnyadiberi tugas oleh para murabbi untuk mengajak danmenyebarluaskan kembali isu-isu yang mereka bahas dalamhalaqah-halaqah.
Dalam kegiatan seperti di atas inilah isu strategis tentangpenegakan Islam dalam hukum positif diindoktrinasiasi kepadagenerasi muda. Strategi jitu mereka adalah denganmembenturkan antara peradaban Barat sebagai musuh denganIslam. Padahal mayoritas umat saat itu kebergantungan kepadaproduk Barat sangat tinggi. Diakui atau tidak, ajaran Islam yang mereka dakwahkan untuk mencocok generasi muda dilakukandengan penuh kepura-puraan.
Sementara itu, di kelompok tradisional, di tahun 90-an, pondokpesantren di perkampungan mulai menggelora kembali. Di kampung penulis, salah seorang kyai muda alumni PondokPesantren Al-Masthuriyah dan Pondok Pesantren Panjalumengajak untuk mendidik dan membina para generasi muda. Sholawatan, manaqib, barjanzi, dan membaca puji-pujiandikumandangkan kembali secara intensif. Para remaja diberikankesempatan mengaji dan mengkaji kitab-kitab kuning. AjaranIslam yang memiliki sifat tradisional namun dapat menjawabtantangan zaman ini merupakan salah satu bentuk counter terhadap semakin maraknya gerakan kaum legalis seperti NII di kampung penulis.
Santri kalong, sebutan untuk anak-anak kampung yang mengikuti pengajian mulai meramaikan dan memenuhipengajian remaja setelah maghrib dan subuh. Kitab-kitab klasikdikaji kembali. Trandisi pesantren yang pernah dialami olehpenulis diperkenalkan kembali kepada anak-anak, remaja, danmasyarakat secara nyata. Satu strategi yang sangat berbedasecara diametral dengan apa yang dilakukan oleh kaum legalis.Cara dan metode ajakan yang sering dilakukan oleh kaumlegalis yaitu melakukan dakwah personal atau berkumpul di rumah-rumah. Mereka sering menisbatkan strategi seperti itupernah dilakukan oleh Rasulullah pada periode Makiyyah.
Kyai muda itu sering mawanti-wanti kepada anak-anak danremana, bahwa Islam bukan sekadar persoalan formal saja, Islam justru lebih menuntun dan menuntut umat agar memerhatikan pertanda atau ayat yang nyata ada di alam ini(kauniyah). Secara sederhana dapat disimpulkan, Islam merupakan ajaran yang tidak menyusahkan umatnya. Kita tidakperlu dipusingkan hingga stress oleh persoalan-persoalan yang sebetulnya hanya mengejar tujuan duniawi, politik dankekuasaan. Jika kita percaya sepenuhnya kepada Allah, Islam dan ajarannya tetap akan tegak jika dipraktikkan sesuai denganhati nurani manusia.
Para santri juga dibiasakan memakai celana pendek, panjangnyabeberapa senti di bawah lutuh. Di kalangan pondok pesantrenSunda, model celana ini disebut "sontog akhirat". Setelahmenunaikan sholat ashar, para santri berduyun-duyun ke sawahuntuk menangkap belut (ngurek). Satu bulan sekali para santriitu diajak mengunjungi tempat-tempat yang benar-benarterkoneksi dengan jiwa mereka, memiliki keindahan alam.
Hemat kami waktu itu, Islam dan ajarannya akan mewujudmenjadi hal yang menyenangkan ketika dipraktikkan dalamkeseharian dengan mengakomodir unsur-unsur yang ada di masyarakat (budaya dan tradisi). Persoalan-persoalan politikumat sebetulnya dapat diselesaikan oleh umat sendiri. Bagaimana caranya? Harus sesuai dengan pakem kehidupan di mana kita tinggal. Bukankah para pendahulu negeri dan para founding father telah memberikan contoh kepada kita?
--
Posting Komentar untuk "Sontog Akhirat Santri Sunda"