Dari Jogyakarta ke Sukabumi
Oleh Kang Warsa
Kunjungan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi Bagian Organisasi ke Jogjakarta dua minggu lalu dengan mengunjungi Bagian Organisasi Pemkot Jogyakarta merupakan langkah awal kolaborasi antara Kota Sukabumi dan Jogyakarta dalam hal penataan lembaga masing-masing Pemerintah.
Saya ikut serta dalam rombongan Pemerintah Kota Sukabumi. Tidak sedikit beberapa catatan yang telah saya simpulkan selama dalam perjalanan yang memakan waktu hampir tujuh belas jam.
Secara makro, dapat dikatakan, karena dua kota ini merupakan wilayah urban memiliki kesamaan dalam hal pengelolaan sektor-sektor unggulan antara lain perdagangan, jasa, dan pendidikan. Kota Jogyakarta dapat dikatakan lebih urban dari Kota Sukabumi, hampir 90% dari 14 Kecamatan di kota tersebut telah dikategorikan wilayah perkotaan dengan berbagai varian demografi pendukungnya.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Jogyakarta sebesar 1,2 miliar rupiah dihasilkan dari sektor unggulan, jasa , perdagangan, dan pariwisata. Harus diakui, PAD kota tersebut dapat dikatakan sebesar empat kali lipat PAD Kota Sukabumi. Jika melihat rasio PAD kedua kota dapat disimpulkan, besar atau kecilnya PAD ini ditentukan oleh seberapa besar sektor unggulan dijadikan komoditas pendongkrak penambah PAD.
Sejak dua dekade terakhir, beberapa tahun sebelum reformasi, Pemerintah Kota Madya Jogyakarta telah memfokuskan pembangunan baik infrastruktur atau sumber daya manusia dengan mengembangkan program dan kegiatan yang dapat menjadi penyangga pariwisata. Sebetulnya, destinasi wisata sendiri tidak sepenuhnya dimiliki oleh kota ini, tetapi Jogyakarta lebih difokuskan untuk "mewadahi" atau menampung para wisatawan domestik dan manca negara yang telah mengunjungi obyek wisata di luar Kota Jogyakarta.
Tidak heran, Pemerintah Kota Jogyakarta telah banyak mendorong lahirnya industri kreatif baik di bidang kuliner, penganan, oleh-oleh, dan desain. Pemerintah dan masyarakat Kota Jogyakarta secara keseluruhan telah berhasil melakukan branding atau menyajikan simbol khas kota tersebut kepada pengunjung.
Bagi setiap kota di provinsi manapun keberadaan jalan raya, alun-alun, pusat kuliner, dan perbelanjaan bukan hal aneh. Tetapi Jogyakarta dapat menjadikan Malioboro sebagai destinasi para pengunjung. Bayangkan, bukan kah kita juga sebagai orang Sukabumi telah terbiasa berjalan di Jalan Raya? Tetapi, mengapa Malioboro seolah memiliki daya hipnotis yang menarik pengunjung seolah jika tidak mengunjungi Malioboro untuk apa ke Jogyakarta?
Sejarah panjang Malioboro memang telah menjadi salah satu pemantik lahirnya branding jalan ini yang telah identik dengan Jogyakarta. Pengunjung juga tidak akan memerdulikan meskipun harus berdesak-desakkan dengan orang-orang tetap saja Malioboro harus dikunjungi.
Syarat utama sebuah jalan dapat menjadi branding yang identik dengan sebuah kota tidak hanya ditentukan oleh lebar dan panjang jalan yang mumpuni, juga ditentukan oleh akar historis jalan teraebut. Kota Sukabumi sebetulnya memiliki jalan yang dapat menjadi branding kota, misalnya Jalan A. Yani. Selain berada di pusat kota, beberapa waktu lalu (sampai tahun 1990-an), jalan ini masih disebut sebagai Jalan Raya oleh masyarakat. Bahkan selalu dijadikan tujuan orang-orang dari perkampungan. Saya pun demikian, dulu sering mengatakan: bade ameng ka jalan raya (mau main ke jalan raya). Penggunaan istilah memang merupakan salah satu cara menemukan branding sebuah kota atau jalan.
Terus terang, Malioboro pada tahun 2018 kemarin dengan tahun 2016, dua tahun lalu telah jauh berbeda. Setahun lalu, Malioboro telah disulap penataannya agar lebih ramah kepada para pengunjung. Saya dapat menyebutkan efek penataan wilayah urban yang digagas oleh Kang Emil saat menjabat Wali Kota Bandung telah menghasilkan efek domino bagi wilayah lain. Pedestrian Malioboro sangat lebar hal ini menjadikan para pengunjung lebih leluasa berjalan dan bertransaksi dengan para pedagang. Ukurannya lebih besar daripada badan jalan. Strategi ini cukup ampuh untuk mencegah para pemilik kendaraan memarkir kendaraan di bahu jalan. Kendaraan pun dipaksa agar tetap terus melaju.
Pelajaran berharga lainnya dari Jogyakarta adalah tentang penggalian potensi komunitas dan masyarakat. Artinya pembangunan komunitas (community development) dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung branding wilayah perkotaan. Menyadari begitu penting Penggalian potensi dan sumberdaya ini pada akhirnya telah dijadikan program unggulan Kang Emil pascapilkada 2018. Hal yang sama sudah tentu harus diikuti juga oleh kota dan kabupaten yang ada di Jawa Barat.
Menghasilkan branding, simbol utama sebuah kota tidak bersifat alakadarnya saja melainkan membutuhkan narasi besar yang saling berkaitan antara satu entitas dengan entitas lainnya. Tujuan utama darinya adalah penemuan kembali identitas sebuah kota, identitas azali atau asli yang dimiliki secara khas oleh sebuah kota. Pemerintah dan masyarakat Kota Sukabumi memang harus lebih memfokuskan pada penemuan kembali branding dan simbol azali kota ini dari sekadar menciptakan hal-hal baru yang justru akan menjauhkan kita dari identitas dan jati diri azali kota.
Jogyakarta dan beberapa kota lain sama sekali tidak menciptakan branding dan simbol baru dalam memunculkan jati dirinya. Mereka tidak merasa gengsi atau malu menyebutkan gudeg sebagai identitas kotanya. Bukankah gudeg hanya merupakan makanan tradisional? Memang tidak mudah bagi sebuah kota melahirkan konsensus bersama dalam memunculkan branding dan jati diri kotanya hal ini disebabkan oleh terlalu banyak entitas yang diunggulkan apalagi jika entitas branding tersebut dikatakan sebagai hal paling baru. Lebih tidak elok lagi, jika pencarian identitas, branding, dan jati diri Sukabumi diawali dengan menghilangkan elemen azali sebuah kota lalu memunculkan elemen yang diadopsi dari budaya orang lain, budaya yang tidak pernah memiliki pertalian organis dengan diri warga Sukabumi.
Desember 2018, Perjalanan Pulang dari Jogyakarta- Sukabumi...
-- Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Jogya Sukabumi"