Bueuk

BUEUK: SIMBOL KEBIJAKSANAAN DARI BALAIKOTA

Oleh: Kang Warsa

 

Konsep tulisan ini telah saya pikirkan selama dua bulan terakhir saat untuk pertama kali demi mengamati atap atau suhunan Balaikota Sukabumi dihiasi oleh ornament art-deco. Saya pernah berpikir untuk mengurungkan tulisan seperti ini, namun saat menjadi salah seorang pemateri dalam acara Sosialisasi Teknis Penulisan Karya Ilmiah yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah beberapa hari lalu, secara pribadi saya mengatakan kepada peserta: "kita harus menuliskan hal-hal yang memang belum pernah ditulis secara khusus oleh orang lain". Lebih jelasnya, kita sebagai warga Kota Sukabumi harus benar-benar menuliskan apa yang dekat dengan diri kita dulu.

 

Sehari lalu, obrolan saya jeung Kang Punjul Saepul Hayat, Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kota Sukabumi memang mengarah ke hal yang sama. Dalam obrolan singkat tersebut keluar sebuah simpulan sederhana: kasukabumian baik dalam bentuk karya tulis, seni terapan, dan bidang lainnya memang harus memunculkan hal-hal yang sebetulnya memang sangat dekat dengan kita begitu lama namun belum tersentuh, terlihat, dan didengar oleh khalayak. Saya memandang perlu sekali bagi para penulis dan insan kreatif menggali hal-hal esensial kasukabumian terlebih terhadap folklor atau cerita rakyat yang berkembang namun sudah jarang dibahasakan lagi, dalam tradisi Sunda disebutkan "geus jarang disungsi, langka disaba, tara diriksa."

 

Ornamen Art-Deco berbentuk patung dengan ukiran burung hantu atau "bueuk" terpampang dengan jelas di bagian pinggir atap atau suhunan Balaikota Sukabumi. Ukiran ikan Julung menghiasi bagian ujung atap atas dan bawah pada kayu yang tampak meruncing jika dilihat dari kejauhan. Pertanyaan yang muncul dalam benak diri saya saat melihat patung burung hantu tersebut adalah: kenapa burung hantu? Kenapa ikan Julung dijadikan ornament Balaikota Sukabumi oleh sang arsitek bangunan ini? 

 

Jawaban terhadap pertanyaan di atas sudah tentu dapat bersifat kelakar atau dapat juga lebih filosofis dan esensial dengan penjabaran berpuluh kalimat. Maksudnya begini, jawaban sederhana kenapa bueuk dan ikan julung-julung dijadikan ornament Balaikota disebabkan oleh beberapa hal; pertama, jauh sebelum wilayah ini menjadi lebih ramai, populasi burung hantu dan ikan julung jauh lebih banyak dari sekarang. Secara filosofis, jumlah populasi burung hantu dan ikan julung yang banyak tersebut menjadi indikator lingkungan alam masih terawat, udara bersih, dan iklim yang sejuk. Hal ini sebanding dengan banyaknya populasi kunang-kunang di sebuah wilayah menjadi indikator minimnya polusi udara di wilayah tersebut. Saat ini, kita sudah jarang mendengar suara burung hantu, melihat ikan julung beriring di selokan, apalagi melihat kunang-kunang berkedip saat "wanci harieum beungeut" / menjelang isya. Artinya, tingkat polusi di wilayah kita saat ini telah mengalami peningkatan atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

 

Memang harus diakui, dalam tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Sunda, keberadaan bueuk sering diidentikkan dengan persoalan tabu. Suara burung hantu sering diartikan sedang berlangsung kejadian atau peristiwa jelek. Bahasan menjadi lebih meluas lagi, karena bueuk disebut burung hantu maka ditafsirkan lagi bahwa keberadaannya diikuti oleh datangnya hantu, arwah penasaran, dan hal menyeramkan lainnya. Mirip dengan suara 'manuk uncuing' yang membawa kabar kematian seseorang. Dalam hal ini, apa yang telah diceritakan oleh para leluhur kita di Tatar Sunda memang harus dinegasikan secara bijak, bukan ditangkap secara kasat mata atau saujratna. Menjadikan burung hantu sebagai sosok menakutkan dilakukan oleh orang tua dahulu memiliki maksud agar burung tersebut tidak diganggu keberadaannya. Penyebutan burung hantu pun memang disebabkan oleh pola hidup burung tersebut lebih banyak melakukan aktivitas di malam hari. Sepertinya, jika melihat secara kontekstual, manusia modern yang mengalami deviasi pola hidup (tetap melakukan aktivitas sampai larut malam) justru lebih tepat disebut manusia hantu daripada Sang Bueuk. Paling tidak, orang yang biasa begadang dipanggil Si Bueuk oleh teman-temannya di kampung.

 

Bagaimanapun juga, bukan manusia yang takut terhadap burung hantu justru para binatang lah secara naluriah menjauhi kebisingan yang diciptakan oleh manusia. Sebagai contoh, kenapa kunang-kunang sudah jarang kita lihat? Selain dipengaruhi oleh tingkat polusi juga disebabkan oleh semakin banyak lampu pijar yang dinyalakan. Dengan demikian alam pun menjawab secara langsung: manusia sudah kurang memerlukan lagi keindahan kedap-kedip kunang-kunang. Umar Kayam mengibaratkan kedap-kedipnya lampu dari kejauhan seperti kunang-kunang dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Alam selalu memberikan jawaban satu persatu dan runut terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh manusia. Sederhana, sekali lagi manusia dari orang dewasa hingga anak-anak kita memang sudah tidak memerlukan lagi kehadiran kunang-kunang dibandingkan kehadiran lampu-lampu disko yang berkelap-kelip meriah.

 

Dilihat dari perspektif sejarah, kenapa bueuk dijadikan ornament atap Balaikota Sukabumi tentu harus ditelusuri secara serius. Namun tetap saja hipotesa awal harus dimunculkan untuk memantik penelitian terhadap masalah ini secara lebih detail. Beberapa bulan lalu saya berbincang dengan Kang Egon, karena beliau lebih membidangi masalah kearsitekturan, ternyata tidak sedikit gedung dan bangunan di Sukabumi ini yang memiliki -simbol masa lalu, ditakuti oleh sebagian besar dari kita: Iluminasi, free-mason, masonry, teosofi, lebih seram lagi diembel-embeli dengan sebutan organisasi bawah tanah. Sangat wajar sekali di Sukabumi banyak ditemui -simbol ini mengingat diaspora para pengikut iluminasi ke berbagai pelosok saat rekonquista besar-besaran dilakukan oleh Bangsa Eropa. Kehadiran  iluminasi bukan hal yang harus kita takuti, ketakutan terbesar yang harus hadir dalam diri kita adalah ketika satwa-satwa seperti burung hantu, ikan julung beriring, dan kunang-kunang hanya terpampang pada gambar saja.

 

Mr. Knaud sebagai seorang arsitek Balaikota dan Mr. G.F. Rambonnet sebagai Wali Kota pertama Kota Praja ini patut diduga memang memiliki akses dan berhubungan baik dengan kelompok iluminasi yang berkembang di awal abad ke-20. Dalam tradisi masoniah, burung hantu identic dengan kecerdasan dan sikap bijak. Dalam mitologi Romawi Kuno, burung hantu merupakan kesayangan Minerva atau Athena dalam mitologi Yunani, seorang dewi kebijaksanaan, kesuburan, dan ilmu pengetahuan. Simbol OWL ini justru digemari oleh orang-orang Eropa. Simbol burung hantu ini pun terpampang secara implisit pada uang kertas Satu Dollar. Penyebaran  ini dimaksudkan sebagai informasi bahwa segala sesuatu dari hal kecil sampai besar diwarnai oleh "Kami". Dan sekali lagi, bagi saya hal ini bukan hal yang menakutkan.

 

Maka, dengan adanya ornament Art-Deco berbentuk burung hantu atau bueuk pada atap Balaikota Sukabumi mengajari kita bagaimana cara manusia, warga Kota Sukabumi dapat menghadirkan kembali suara merdu burung hantu di saat malam daripada harus menciptakan gemuruh suara mesin sepeda motor yang meraung-raung. Hal lainnya, karena burung hantu merupakan binatang kesayangan Dewi Minerva, seorang Dewi Kebijaksanaan, memiliki pesan agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Sukabumi, kebijakan yang keluar dari Balaikota Sukabumi merupakan aturan main yang benar-benar bijak dan dirasakan oleh masyarakat Kota Sukabumi secara utuh. Gedung megah bernama Balaikota ini merupakan ibu kandung yang harus melahirkan kebijakan yang bijak.

--
Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Bueuk"