Pembatasan Sosial dan Bantuan Sosial

Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa kota dan kabupaten dipandang dapat melandaikan kurva penularan virus korona. Hal tersebut menjadi salah satu sebab, sejak  6 Mei 2020, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil langkah penerapan PSBB di seluruh kota dan kabupaten.

Meskipun kasus positif Covid-19 secara nasional terus bertambah, misalnya data sampai 11 Mei 2020 menunjukkan penambahan sebanya 233 positif Covid-19, paling tidak pascapenerapan PSBB di provinsi dan kota-kota sebagai episentrum penyebaran virus korona, penambahan kasus positif ini dapat dikatakan lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum penerapan PSBB.

Prasyarat Keberhasilan PSBB

Keberhasilan penerapan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah ditentukan oleh beberapa hal: ketepatan waktu penerapannya; regulasi pemerintah bukan hanya tegas juga dapat dimengerti  oleh masyarakat; dan kepatuhan masyarakat selama penerapan PSBB.

Sebelum pembatasan sosial berskala besar diterapkan di beberapa daerah, pemerintah melakukan berbagai kajian meliputi; kajian epidemologi, dampak sosial, perekonomian, dan fitur kehidupan lainnya yang kemungkinan besar terdampak di tengah penerapan PSBB.

Kajian tersebut begitu penting dilakukan untuk menghasilkan data yang tepat  sebagai pijakan dalam mengeluarkan strategi penerapan PSBB. Bogor, Bekasi, dan Depok merupakan kota dan kabupaten yang paling awal disetujui oleh Kementerian Kesehatan  dalam menerapkan PSBB. 

Hasil kajian epidemologi menunjukkan kota-kota tersebut merupakan daerah penyebaran virus mengingat lokasinya sangat berdekatan  dengan episentrum Covid-19 secara nasional, DKI Jakarta. Jumlah kasus positif terkonfirmasi di DKI Jakarta mencapai 5.274 pertanggal 12 Mei 2020.

Selain tiga kota dan kabupaten  di atas, Kota Bandung juga merupakan episentrum penularan virus korona. Berdasarkan data dari situs web Pikobar Jawa Barat, lima besar kota dan kabupaten terkonfirmasi positif Covid-19 yaitu; Depok (287), Kota Bekasi (275), Kota Bandung (248), Kab Bogor (92), dan Kab. Bekasi (91).

Penularan virus korona di tiga kota yang telah lebih dulu menerapkan pembatasan sosial berskala besar memperlihatkan penurunan jumlah penularan harian. Bogor bertambah 1 kasus positif, Bekasi bertambah 2 kasus positif, dan Depok bertambah 7 kasus positif. Sementara itu, Kota Bandung menerapkan pembatasan sosial berskala besar bisa dikatakan lebih lambat dari tiga daerah tadi, penambahan kasus positif  Covid-19 harian masih menunjukkan jumlah yang tinggi, pada 11 Mei 2020, terkonfirmasi sebanyak 25 orang dinyatakan positif Covid-19.

Penerapan pembatasan sosial berskala besar secara serentak di kota dan kabupaten se-Jawa Barat pada 6 Mei 2020, bersamaan dengan persiapan umat Islam menyambut perayaan Idul Fitri. Pemprov Jawa Barat, termasuk Pemerintah Kota Sukabumi, telah melakukan sosialisasi dan edukasi baik melaui media informasi atau orang perorang agar kebijakan PSBB benar-benar dipatuhi oleh masyarakat.

Pengetatan arus keluar masuk  di perbatasan Kota dan Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kebijakan awal sebelum penerapan PSBB. Pemakaian masker oleh warga saat memasuki pusat kota diterapkan oleh Pemerintah Kota Sukabumi. Sementara itu, setelah PSBB resmi dinyatakan berlaku di Provinsi Jawa Barat, sejumlah kebijakan dikeluarkan oleh Pemkot Sukabumi antara lain; pengetatan jumlah penumpang angkutan perkotaan, ojeg daring  hanya diperkenankan menarik barang bawaan tanpa penumpang, kendaraan roda dua boleh menarik satu orang penumpang dengan syarat masih satu alamat domisili.

Kebijakan lain yang telah diterapkan oleh Pemkot Sukabumi, untuk menjamin keberlangsungan aktivitas perekonomian, pertokoan, pasar swalayan, pasar tradisional, dan warung-warung tetap dibolehkan beroperasi dengan memerhatikan waktu yang telah ditentukan. 

Ada semacam anomali yang terjadi, penerapan pembatasan sosial berskala besar ini seperti kurang dipatuhi oleh masyarakat. Di  hari pertama saja, kerumuman dan antrian orang-orang di pusat perbelanjaan masih bisa kita saksikan. Kebijakan susulan yang diterapkan oleh Pemkot Sukabumi yaitu menutup Jl Ahmad Yani untuk setiap jenis kendaraan disikapi oleh warga dengan tetap melakukan aktivitas di sepanjang jalan, bahkan lebih intensif dari sebelumnya.

Beberapa pihak merasa khawatir, termasuk pemerintah sendiri, bahwa penerapan pembatasan sosial berskala besar di kota dan kabupaten se-Jawa Barat dinilai masih perlu pembenahan agar benar-benar dimengerti secara jelas oleh masyarakat. Meskipun aturan yang diterapkan menuntut kepatuhan dari semua pihak, walakin telah tentu saja antara kebijaan dengan kenyataan tampak kontradikif. Dapat dikatakan, mengelola kepatuhan publik dan pemberdayaan sosial dalam satu waktu yang sama adalah hal rumit bagi kita.

Meskipun demikian, penerapan PSBB dan kebijakan yang menyertainya meruapan hal baik yang harus mendapatkan dukungan dari semua pihak dalam rangka menangani penyebaran virus korona. Dukungan tersebut dapat dibuktikan dengan partisipasi publik, menumbuhkan solidaritas, dan responsif terhadap peristiwa selama pandemi.

Pembatasan Sosial dan Program Sosial

Penerapan pembatasan sosial berskala besar sebagai sebuah kebijakan harus disertai program sosial yang bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk selama PSBB, terlebih pada bidang ekonomi. 

Kita tentu saja sangat tidak mengharapkan penerapan PSBB di Jawa Barat justru menimbulkan hal tidak baik, seperti kelaparan, kekurangan pasokan pangan, distribusi barang tersendat, informasi bohong yang dapat menimbulkan panic buying masyarakat. Kerumunan konsumen di salah satu toko pakaian di Kota Sukabumi beberapa hari lalu sebagai bentuk panic buying disebabkan oleh informasi bohong bahwa selama penerapan PSBB seluruh pertokoan dan pusat perekonomian akan ditutup.

Program sosial yang telah dikeluarkan oleh Pemkot Sukabumi di antaranya; melakukan alokasi anggaran untuk jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian. Alokasi anggaran untuk bantuan masyarakat miskin dan miskin baru, dana sebesar Rp. 10 milyar akan didistribusikan pada minggu pertama penerapan PSBB. Anggaran penanganan dan pemulihan UMKM terdampak Covid-19 dialokasikan sebesar Rp. 1,3 milyar. Pengalokasian anggaran untuk program-program sosial dan ekonomi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemeritah selama pandemi. Dengan kata lain, pembatasan sosial tanpa bantuan sosial tidak akan berjalan efektif.

Sejak pandemi Covid-19 diumumkan sebagai darurat kesehatan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, awalnya sempat dipandang hal biasa dan tidak terlalu dianggap serius oleh warga negara. Namun, penambahan kasus positif yang tidak dapat dihindari dari hari ke hari mulai berdampak pada setiap fitur kehidupan terutama perekonomian. 

Kelompok usaha kecil menengah, jasa transportasi, pariwisata, jasa travel, perhotelan, dan bidang-bidang informal lainnya tergerus gelombang Covid-19. Bukan hanya dialami oleh negara ini saja, ini merupakan krisis multi dimensi  terburuk bahkan jika dibandingkan dengan krisis moneter yang menerjang dunia di tahun 1998 sekalipun. 

Pemerintah telah berusaha menghindari dampak terburuk Covid-19 terhadap perekonomian masyarakat menengah bawah dengan mengeluarkan jaring pengaman sosial dan perekonomian. Keberhasilan program ini ditentukan oleh akurasi data, siapa yang berhak menerima bantuan. Sampai saat ini, tidak dapat dimungkiri, kita masih tampak tertatih-tatih menghasilkan data yang valid dalam setiap distribusi bantuan kepada kelompok menangah bawah. 

Kesalahan distribusi bantuan masih terjadi di berbagai daerah, orang yang seharusnya menerima bantuan malah tidak menerimanya, sementara mereka yang tergolong orang mapan malahan menerima bantuan. Tak ayal, permasalahan data ini kerap menjadi sumber munculnya gejolak baru di masyarakat. Eskalasinya memang tidak meluas, namun ketidaktepatan distribusi bantuan ini harus benar-benar dapat diminimalisir. Masalah invalid-nya data ini menunjukkan ketidaksinkronan antara data awal dengan data yang diperbaharui melalui pelibatan langsung pemerintah kelurahan hingga ke tingkat RT. 

Kesulitan terbesar dalam proses sinkronisasi data yang harus terus diperbaharui dengan data lama terletak pada sumber daya manusia dan piranti yang digunakannya. Kenapa data lama selalu muncul dalam proses pembaharuan? Hal ini bisa terjadi karena data memang tidak diperbaharui secara berkala. Apalagi proses pembaharuan data kemiskinan lama dan kemiskinan baru selama pandemi, selain waktu begitu mendesak, juga harus sinkron dengan besaran alokasi anggaran yang dikeluarkan, tentu saja hal ini bukan persoalan mudah.

Sikap iri tentu saja sangat wajar diperlihatkan oleh masyarakat yang seharusnya menerima bantuan malah seolah terabaikan. Dari pengalaman seperti ini, solidaritas tumbuh di dalam diri masyarakat perkotaan dengan menggalang bantuan yang akan disalurkan kepada kelas menengah bawah yang tidak tersentuh jaring pengaman sosial pemerintah. Empati yang tumbuh di masyarakat menjadi sinyal baik bangsa ini akan tetap tegar selama pandemi meskipun diterjang badai krisis multi dimensi akibat Covid-19. 

Yang dibutuhkan oleh kita selama penerapan pembatasan sosial berskala besar bukan sekadar kepatuhan kita terhadap aturan juga bisa menumbukan nilai kemanusiaan dalam diri kita.
--
Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Pembatasan Sosial dan Bantuan Sosial"